(Semua yang ada di dalam cerita ini tidak ada hubungannya dengan dunia nyata, alias fiksi.)
~
~
~
Lima belas hari setelah kejadian di Secundus F6, lima belas menit sebelum jadwal pemeriksaan siang Lizo dilaksanakan, telepon yang ada di ruangan dokter berdering. Bersamaan dengan itu, menyala sebuah lampu tanda terjadi situasi emergensi di ruangan tempat Lizo dirawat. Menyaksikan itu, bulu kuduk Megan langsung berdiri.
“Megan, siap-siap...” ujar seniornya tenang.
Pip! Ia menekan satu tombol untuk tersambung dengan telepon tersebut.
“Ada ap-“
“Dokter, gawat! Tiba-tiba pasien mengalami pendarahan dari panca inderanya!” teriak seorang perawat dengan kencang sampai-sampai Megan bisa mendengarnya. Sang dokter pun langsung berdiri dan bergegas menuju ruangan pasien. Megan ikut menyusul di belakangnya.
“Cepat panggil tim tujuh!”
“Baik, dokter!”
Pip.. pip.. pip…!
Terimakasih telah membaca chapter <#19 Penyakit Lizo> ini. Ingat, ini cerita fiksi, alias tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Sampai jumpa di chapter selanjutnya! (Kritik dan saran sangat diapresiasi)
Aku masih mengingat dengan jelas ingatan pertamaku. Saat itu, tubuhku terasa sangat amat ringan, seperti sedang melayang. Ketika membuka mata, pandanganku perlahan-lahan menjadi jernih seiring dengan suara-suara yang semakin terdengar jelas di telingaku. Saat mataku kubuka sepenuhnya, barulah aku menyadari kalau ada dinding-dinding kaca yang mengelilingiku. Dari balik dinding cekung yang transparan itu, aku melihat empat orang dewasa sedang menatap ke arahku. Dua di antaranya mengenakan pakaian yang seragam, sedangkan dua yang lainnya tidak. "Dia membuka matanya!" ujar seorang lain yang mengenakan pakaian berwarna cerah. Beliau lah orang yang selanjutnya aku sebut sebagai ibu, sementara seorang yang lain kusebut sebagai ayah. Berdiri tepat di samping ibu, beliau hanya menunjukkan senyum hangatnya. Kemudian, aku merasa sangat lelah. Aku pun kembali tertidur. . . . "I..bu, i, bu." "..bu! bu..!" teriak Da
-Lantai 132, reaktor pendingin V- Cssshhhh…! Telinganya masih belum terbiasa dengan bunyi yang keluar dari pipa-pipa besar itu. Sembari berjalan mengikuti rombongan, ia menoleh ke kiri dan kanan, memperhatikan setiap isi ruangan dengan seksama sampai-sampai tidak menyadari kalau rombongan telah berhenti. Duk! “Ah, maaf…” ujar Dan pada orang yang ada di depannya. Lelaki berambut agak pirang itu menoleh ke arahnya dan hanya mengangguk tersenyum. “Baiklah,” ujar satu orang lainnya yang berdiri menghadap rombongan di bagian paling depan. “Hari ini kita sudahi pengenalan bagian-bagian dari sistemnya. Selanjutnya, penutup dari komandan divisi kelima kita, Komandan Hollen. Waktu dan tempat dipersilahkan.” Tap... tap... tap... Terlihat sepatu monk strap hitam yang familiar di matanya. Kemudian langkah kaki itu terhenti tepat di depan barisan yang paling tengah. Matanya memperhatikan satu per satu pes
"Tapi… bagaimana cara membukanya?" tanya Dan yang melihat pintu tanpa gagang lagi. Area sekitar pintu sudah ia periksa, tapi tidak ada tombol apapun yang ia temukan. "Ruangan tertius benar-benar membingungkan... " gumamnya menghela napas. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membatalkan rencana dadakannya itu. Namun, ketika hendak membuka pintu keluar, ia teringat akan suatu hal. Gawat! Aku tidak tahu cara mengembalikan rak bukunya! *** Drap.. drap.. drap…! “Huff… Huff…” “Dan? Lama sekali baru sampai?” tanya Mister Hollen yang sudah duduk di kursi utama ruang makan. Karena butuh waktu setengah jam untuk mengetahui cara menutup rak bukunya! “I-iya, dad. Aku keramas dulu tadi…” jawab Dan yang masih ngos-ngosan. “Ah, ibu!” sahutnya pada sang ibu yang tersenyum ke arahnya. Sudah lama sekali kita tidak makan bertiga bersama! Tapi… “Ibu sedang merasa kurang sehat? Wajah ibu terl
-Blok H7, Primus, Lantai 138- Bruk! "Huff…" Sepertinya ini yang terakhir… pikir Dan setelah meletakkan satu buah dus besar di lantai depan ruangannya. "Apa anda yakin untuk meletakkan barang-barangnya disini, tuan muda?" tanya seorang pria yang bekerja dibawah perintah ayah tirinya. "I, iya." jawab Dan. Ia masih tidak terbiasa dipanggil sebagai tuan muda oleh siapapun selain Tebi. "Baiklah. Tujuh kardus sudah selesai dipindahkan. Sebelum saya undur diri, tuan besar menitipkan kami untuk memberikan ini kepada anda." lanjut pria itu tanpa bergerak sama sekali dari berdirinya. "Eh? Menitipkan ap-" Din din! Sebuah sekuter model terbaru diantar sampai ke depan pintu ruangannya. Dan dan para tetangga yang menyaksikan itu ternga-nga. "Silahkan letakkan kedua telapak tangan anda di sini, tuan." ujar petugas yang mengantar sekuternya. Dan pun mengikuti. "Silahkan genggam masing-masing s
Subjek 3 yang telah dikremasi tanggal 20 itu… Benar-benar adalah ayah ya…. Kedua tangan dan kakinya yang gemetaran. Ia jatuh berlutut membelakangi rak buku yang baru saja tertutup itu. Pikirannya campur aduk. Ia berusaha memastikan kembali kalimat terakhir dalam laporan tersebut yang sempat dibaca olehnya sebelum meninggalkan ruangan. Pukul 06.06 malam, jenazah dikremasi bersama dengan jenazah sang istri sesuai dengan permintaan terakhir Alm. Neva Olana. "A-aahh… akh…" suaranya tercekat. Pandangannya memburam. Matanya berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak, seakan-akan ada sebuah beban yang mengekang di sekelilingnya. Di benaknya, ia menyesal. Mengapa dia tidak memberanikan diri untuk turun menghampiri ayah dan ibunya saat itu? Mengapa dia tidak mengunjungi tempat itu ketika ia memiliki waktu? Mengapa ia bersikap dingin setiap kali bertemu dengan ibunya? Mengapa ia tidak meminta ibunya untuk menceritakan apa yang selama ini dikhawatirkan olehnya? Sebenarnya kenapa ayah bisa ada di sit
-Lantai 30, Kediaman Brown- Kricing… kricing… Bunyi mainan bayi yang digerak-gerakkannya ke kanan dan ke kiri. Melihat tawa dari cucu keduanya tersebut, hatinya menjadi terasa sejuk, seperti ketika berdiri di pesisir pantai dan melihat tenggelamnya matahari di ufuk barat. “Ah… aku berasa lebih muda sepuluh tahun…” gumamnya. 'Nyonya, 86 hari lagi anda akan merayakan ulang tahun anda yang keenam puluh delapan." ujar salah seorang asisten rumah tangganya. "Nima berisik! Mulutmu mau dibisukan ya?" "Eh? Ti, tidak nyonya! Tidak mau!" teriak Nima panik. Ditutupinya rahang buatannya itu dengan telapak tangan yang buatan juga. Ya, Nima adalah seorang AMAH. Dia telah bekerja untuk keluarga Brown, sebagai asisten pribadi Sharon Brown, sejak masih berusia remaja. Namun, sewaktu didiagnosis mengidap kanker paru-paru di usia keempat puluhnya, Sharon langsung membiayainya melakukan operasi menjadi seorang AMAH. "Hahaha! Aku hanya ber
Dari kejauhan, Rosa terus mengikuti manusia hologram itu secara diam-diam. Ia masih tidak percaya kalau yang dilihat dengan kedua matanya itu sejatinya adalah seorang manusia asli. Yaah… tapi mengingat teknologi sekarang, tidak mustahil juga sih…. Ah, dia berjalan lagi! Manusia hologram itu berbelok dan masuk ke sebuah ruangan. Toilet umum, demikian tulisan yang terdapat pada papan di atas pintunya. Dia bisa ke toilet? batin Rosa yang memutuskan untuk menunggu di luar ruangan. Ia membayangkan akan jadi seperti apa hasil ekskresi dari tubuh hologram itu. "Halo?" terdengar suara dari dalam, sepertinya itu suara manusia tersebut. "Aku lagi di lantai 86-, eh maksudku, avatar-ku sedang di lantai 86." lanjut suara itu. Merasa memiliki kesempatan yang bagus, Rosa pun berjalan masuk dan berpura-pura hendak ke toilet juga. Tap… tap… Baru dua langkah memasuki ruangan, kedua pasi mata langsung bertatapan. Eh... dia… Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Gawat!!! Rosa langsung berbalik da
-Lantai 146, Kawah Pemurnian- Jgrek! Drrkkk…. Untung saja di jalan ketemu ini tadi… batin Rosa yang mendorong sebuah troli belanjaan yang ia temukan di tempat pembuangan sampah dekat ruangannya. Terbentang selimut bergambar kartun seorang anak kecil perempuan dengan teman beruangnya pada bagian atas troli. Orang-orangpun tidak ada yang curiga kalau isi dari troli itu adalah seorang jenazah yang sudah dikafani. Namun, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, tetap saja baunya akan tercium juga. Pip pip..! Pip pip..! Pip pip..! Alarm berbunyi begitu troli memasuki ruangan. Bersamaan dengan itu, dua orang AMAH yang entah berasal darimana telah muncul di sebelah kanan dan kiri troli. Satu dari mereka merendahkan tubuhnya dan menggerakkan kepalanya dari atas ke bawah, sedangkan satu yang lainnya tetap berdiri dan menggerakkan kepalanya dari kiri ke kanan. Cimottt!!!! teriaknya yang mulai panik dalam hati. “Tenanglah. Itu hanya pemeriksaan biasa.” jawab suara tanpa raga. Walau kamu bilang