Semua Bab Cundhamani (Panah Api): Bab 11 - Bab 20
228 Bab
11. Ketua Prajurit Pemanah
Sepasang kekasih duduk berhimpitan di sebuah batu besar di tepi sungai. Di belakangnya dua ekor kuda tak peduli dengan kemesraan tuannya yang baru saja menjalin cinta. Jenar dengan manjanya bersandar pada dada Arya. Mendengarkan syahdu gemericik air sungai di bawah bayang-bayang ranting pohon akasia. “Ceritakan padaku seperti apa Desa Girijajar, Arya!” bisik Jenar di bawah dagu kekasihnya. “Mengapa kau ingin tahu? Apa kau ingin aku bawa pulang menemui Ibu?” goda Arya dengan seuntai senyum terpampang di bibirnya. “Suatu saat aku pasti akan kau bawa kan? Ibumu seperti apa? Ah, mendengar kata ‘ibu’ aku jadi teringat mendiang Ibuku,” rengek Jenar begitu manja. Ia sama sekali berbeda dengan Jenar tadi malam dan beberapa masa yang lalu. “Pertanyaan mana yang harus aku jawab lebih dulu? Hmm?” Arya menjentik ujung hidung Jenar dengan gemas. Perilaku Jenar yang selalu menanyakan banyak hal seperti awal mereka jumpa rupanya memang tabiat asli gadis ini. “Mengapa kau selalu menyebalkan, Arya
Baca selengkapnya
12. Tantangan
“Ya, Arya. Sudah kuputuskan dan sudah disetujui. Kau sekarang bertugas sebagai Ketua Prajurit Pemanah,” ucap Ki Bayanaka mantap. Seluruh prajurit pemanah bertepuk tangan meski sebelumnya saling pandang. Arya Nandika hanya mampu menelan ludah. Ia tatap sekelilingnya, dipenuhi oleh senyum dan sorai yang dipaksakan. Beberapa prajurit di belakang saling berbisik. Sebentar lagi pasti ada yang akan mencemooh. Mungkin menunggu Ki Bayanaka meninggalkan tempat ini. “Baik, silahkan lanjutkan latihan kalian,” seru Ki Bayanaka disusul dengan langkah para prajurit meninggalkan mereka berdua. “Raden, mohon ikuti hamba. Raden sudah resmi menjadi prajurit Astagina. Akan hamba jelaskan tugas dan tanggung jawab Raden. Pakaian Raden juga harus diganti,” bisik Ki Astagina. “Apa yang kau rencanakan, Ki?” Arya masih tak bisa menerima penobatan dirinya. Pasti akan banyak pertentangan antara prajurit senior. “Ampuni hamba, Raden. Hamba sama sekali tak punya niat buruk. Ini semua demi kebaikan dan keselama
Baca selengkapnya
13. Pengakuan
“Kau! Silahkan pilih dari sekarang, kau ingin bangkaimu dibakar atau ditanam?” bentak Arya sambil menghunus anak panahnya ke arah pria yang kini segera menghentikan tawanya. Seluruh prajurit panah seketika terdiam. Beberapa di antara mereka saling pandang. Pria yang mengolok-olok ibu dari Arya tadi sempat terdiam, namun ia melanjutkan lagi tawanya. Di susul rekan-rekan yang berada di dekatnya. “Lihatlah, dia merajuk! Aku tak ingin dibakar atau di tanam, aku hanya ingin tidur di samping Ibumu!” Tawa pria itu semakin keras. Begitupun prajurit lainnya. Hanya ada beberapa prajurit yang menyadari bahwa ketua baru mereka sudah tersulut amarah. Arya tak kuasa lagi menahan energi yang muncul dari dalam tubuhnya. Energi besar yang hadir seiring dengan memuncaknya amarah itu kini tanpa disadari sudah terkumpul di tangan kanannya. Tarikan tali busur itu menjadi begitu mantap dan bertenaga. Tak ada getaran yang biasa terjadi di lengan kiri. Sesaat sebelum dilepaskan, ujung runcing anak panah i
Baca selengkapnya
14. Memilih Kuda
“Jenar! Kau tahu apa yang terjadi hari ini di arena latih panah?” seru Ki Bayanaka sesaat setelah tiba di muka pintu rumahnya. “Ada apa, Ayahanda? Apa sesuatu terjadi pada Arya?” Jenar segera menghambur dari dalam rumah. Ia dapati ayahandanya tengah menaiki lima anak tangga untuk sampai di pendopo rumah. “Cundhamani, Jenar! Arya mengeluarkan Cundhamani!” Wajah Ki Bayanaka begitu bahagia. Tak tampak sedikitpun senggurat kesedihan karena kehilangan toya andalannya. “Benarkah?” “Ya, seluruh arena latih sekarang sudah menjadi abu. Bahkan toyaku sudah tak ada wujudnya lagi. Kalau saja Ayah tak menangkisnya, mungkin anak panah api itu sudah membakar separuh prajurit panah!” pria tua itu masih begitu antusias menceritakan kehebatan Arya pada putrinya. “Lalu dimana Arya sekarang, Ayahanda?” tanya Jenar. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah rumah panggung yang tak terlalu tinggi itu. Juga sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumah-rumah serupa para abdi istana. “Oh, Ayah lupa mengataka
Baca selengkapnya
15. Aswabrama
“Hah? Apa kau tak salah bicara?” “Tidak, Tuan. Ki Bayanaka yang meminta hamba untuk membawakan kuda-kuda pilihan ini. Mereka semua punya keistimewaan. Itu sebab mereka yang akan memilih tuannya.” Pria itu memberikan kode pada kedua rekannya agar menyusun barisan kuda sedemikian rupa agar kuda-kuda itu dapat melihat Arya. “Aku hanya perlu berdiri di sini?” tanya Arya memastikan. “Betul, Tuan.” Tujuh ekor kuda pilihan itu berbaris rapi menghadap Arya Nandika. Tiga orang yang membawa mereka tadi segera mundur dan melepas tali kekang agar kuda-kuda itu dapat bergerak bebas. Semua kuda itu begitu gagah, tubuhnya kekar, dengan kaki-kaki yang kuat. Akan sangat beruntung bagi Arya untuk memiliki salah satunya. Arya melipat kedua tangannya di dada. Ia menunggu dengan sabar kuda mana yang akan memilihnya. Dan bagaimana cara kuda memilihnya pun ia tak paham. Beberapa kuda mematung, satu ekor tampak bosan dan ingin pergi dari tempat itu. Arya memandang pria pengurus kuda dengan penuh tanya. P
Baca selengkapnya
16. Prajurit Pendamping
“Apa yang kau lakukan Sakuntala? Tampilanmu begitu berubah?” seru Ki Bayanaka setelah melihat Senopati Sakuntala menanggalkan pakaian kebesarannya. Pemuda itu kini layaknya seorang prajurit biasa yang umumnya akan ditugaskan maju lebih dulu di medan perang. “Kalau kau tak mau memberitahu, biar aku sendiri yang mencari tahu siapa sebenarnya anak itu.” Sakuntala tersenyum kecut. Senyum yang membuat gurunya semakin mengerti mengapa pemuda itu bisa dengan cepat menjadi Senopati sekaligus tangan kanan Patih Waradhana. Dua jabatan yang umumnya saling bersaing dan menjatuhkan. “Kau menyamar jadi prajurit?” “Benar!” Tanpa menunggu persetujuan, Sakuntala segera bergegas meninggalkan tempatnya berbincang dengan Ki Bayanaka. Setengah berlari, ia menuju hanggar pasukan panah. Menunggu kedatangan Arya yang kini masih bercengkrama dengan tunggangan barunya. Ki Bayanaka terpekur sendiri. Ini lah sebab ia tak percaya Sakuntala datang hanya untuk mengunjunginya. Ia pasti punya misi tertentu. Dan s
Baca selengkapnya
17. Rencana Sakuntala
Rintik hujan terasa seperti beban kerinduan yang tak kuasa lagi Jenar pikul. Hanya dua hari sejak cumbu di tepi sungai berlalu, namun rindunya sudah begitu menggunung. Titik-titik air itu beberapa menerpa wajah cantiknya yang menyongsong udara di ambang jendela. Ia biarkan air itu meleleh turun sampai ke dagu. Lalu menetes ke jemarinya yang saling terjalin. “Arya, apakah kau tak rindu? Mengapa tak juga kau berkunjung?” rutuk Jenar dalam hati. Bumi yang tersiram air, tapi hatinya yang basah. Derap langkah kuda terdengar sayup-sayup dan berhenti setelah ringkikan singkat di bawah rumah. Jenar sebenarnya hendak berpaling. Namun ia merasa itu bukan Arya. Kekasihnya tak mungkin datang menunggangi kuda. Ia orang baru di istana dan baru saja menjabat sebagai Ketua saja, tak lebih. “Jenar! Ada yang mencarimu!” teriak Ki Bayanaka setelah mengetuk pintu kamar putrinya. Jenar dengan malas bangkit dari pembaringannya. Terpaksa ia tunda kesyahduan hati menyelami rindu diiringi rintik gerimis. “
Baca selengkapnya
18. Pembuktian Ki Bayanaka
“Aku tetap tak percaya dengan teorimu, Ki. Aku hanya Arya Nandika dari Desa Girijajar, seorang pandai besi anak Sanggageni dan Gantari. Aku dan keluargaku tak ada hubungan apa pun dengan Astagina!” bantah Arya. Pemuda itu membuang pandangannya ke pelataran rumah Ki Bayanaka. Ia tak sudi untuk terus membahas hal ini dengan orang tua kekasihnya. Kalau pun memang ibundanya adalah putri raja, lalu mengapa sampai mereka terpinggirkan ke Girijajar? Bahkan ia dan ayahandanya terpaksa menjadi prajurit dengan ancaman. “Hamba tahu ini sulit dipercaya, Raden. Bahkan kalau benar-benar ibundamu adalah satu-satunya keturunan Gusti Prabu Wirajaya yang masih hidup, kau ini sebenarnya Pangeran. Meski bukan dari garis Permaisuri, bisa jadi kau lah Putra Mahkota yang sah!” “Cukup, Ki Bayanaka! Aku rasa kau sudah terlalu lelah melatih ribuan prajurit itu setiap hari!” Bentakan Arya seketika membuat Ki Bayanaka menunduk hormat dan mundur dua langkah. Mungkin benar, ia sudah memberikan beban terlalu bera
Baca selengkapnya
19. Putra Mahkota
Ki Bayanaka tak bergeming. Ia melompat menyusul Arya yang sudah berdiri di pelataran rumah yang basah. Wajah pemuda itu dipenuhi tanda tanya. Ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh gurunya. Kalau saja dia tak sempat menangkis mungkin nasibnya akan sama dengan saat dihajar Patih Wardhana tempo hari. “Apa maksudmu, Ki?” tanya Arya. “Aku akan menghilangkan semua keraguan di hatimu, Arya!” Ki Bayanaka kembali menyerang. Kali ini tinjunya hampir saja mengenai wajah Arya. Pemuda itu berkelit dan terus menghidari serangan berikutnya. Ia tak akan membalas kalau belum mengerti untuk apa Ki Bayanaka menyerangnya. Semakin banyak menghindar, rupanya Arya semakin terpojok. Beberapa kali lengan mereka berdua saling beradu. Arya yakin Ki Bayanaka masih menahan diri. Tak mungkin ia bisa mengimbangi guru dari orang-orang besar ini. Sebuah tendangan meluncur deras ke arah dada Arya. Pemuda itu menangkis dengan sekuat tenaga. Tendangan yang dialiri tenaga dalam itu terasa begitu berat hingga Arya te
Baca selengkapnya
20. Berburu Bersama Sakuntala
Titik embun baru saja membias dan menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Arya bertolak dari kediaman Ki Bayanaka setelah perbincangan panjang semalam. Sebuah kenyataan pahit yang akan tetap ia simpan. Meski memupuk dendam untuk penguasa Astagina sekarang. Sentuhan lembut di bahhu disusul dengan pelukan kekasih dari belakang membuat Arya menghentikan langkahnya. Sungguh pagi yang berat, apa lagi dengan kerinduan yang belum tuntas. Semakin Arya ingin melangkah, maka pelukan Jenar semakin erat. Seperti seorang istri yang enggan melepas suaminya pergi ke medan perang. “Berjanjilah kau akan segera kembali,” ucap Jenar di punggung kekasihnya. Wajahya masih bersandar di sana. Arya tersenyum sambil mengusap lembut jemari gadis itu. “Jika diijinkan kembali, aku justru ingin membawamu mengunjungi ibundaku. Apa kau bersedia?” Wajah Jenar menghangat. Kebahagiaan segera terpancar dari senyumannya. Senyum penutup kegundahan karena harus berpisah lagi dengan kekasih hati. Ia merasa tak kuasa har
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
23
DMCA.com Protection Status