All Chapters of Dendam dan Rahasia Tuan Muda: Chapter 51 - Chapter 60
205 Chapters
Kematian
“Bagaimana kamu bisa tahu dia akan putus sekolah?”“Saat aku ke toilet, aku melihat guru pria itu mengancamnya.” Adhira menjawab tenang.“Dan apa kamu menyesal sudah melihat kejadian itu?”Adhira terkekeh. “Aku lebih menyesal terjebak di antah berantah ini bersama manusia setengah es batu sepertimu.”Ervan menjelit ke arah Adhira yang masih bersandar di balik pohon. Seekor ular melata pelan dari balik dahan yang tengah ditiduri Adhira. Menyadari derikan halus tadi, Adhira langsung mematung. Bibirnya melengkung hingga ke dagu.“Da…ffin… selamatkan aku….” Adhira berucap tanpa bergerak.Ervan meraih sebatang ranting dari sekitar pohon. Dengan cekatan dia menepis ular yang berjarak tiga inchi dari kepala Adhira itu. Reptil berbisa itu melayang ke udara, membebaskan Adhira dari gigitan beracunnya.Adhira menghela napasnya lega. Dia sentak bangkit dari tempatny
Read more
Ponsel Baru
Tahun ajaran baru dimulai. Berita tentang kematian Semias Defras perlahan-lahan surut. Tidak ada yang menyelidikinya lagi setelah pelaku pembunuhan membuat pengakuan itu. Meski terlihat kasus ini terjadi begitu gampang, polisi juga tidak bisa berbuat banyak. Setiap kejadian yang terjadi akan tenggelam setelah menemukan orang yang bisa dijadikan kambing hitam. Semua memiliki spekulasi, tapi pada akhirnya tidak berujung pada bukti yang sahih. Kematian itu terlihat sia-sia. Semias baru akan mengajukan kerja sama atas proyek senilai 300 miliar dari keluarga Refendra. Atas kejadian yang menimpanya, proyek besar tadi gagal.“Daffin,” desis Adhira yang kini duduk tepat di belakangnya, “nanti siang temani ke toko sepatu ya.”Ervan menoleh ke belakang dengan ekspresi seram. “Kenapa?”“Apa maksudnya kenapa? Ya tidak ada apa-apa,” jawab Adhira.“Kalau begitu, tidak mau.” Ervan menjawab singkat.Adhir
Read more
Chori Chori Chupke Chupke
Upacara pagi itu mulai lebih awal dari biasanya. Hal ini membuat Adhira kembali harus berdiri di barisan murid bengal. Bukan karena dia terlambat. Hari itu ia lupa membawa dasi dan topi upacaranya. Dan peraturan di SMA Equator bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng.Patroli yang dilakukan Pak Heno selalu dapat memangsa buronan seperti Adhira. Si jenius matematika itu tak jemu-jemu melanggar peraturan yang sudah jelas terukir di setiap dinding gedung.Kiara ikut berbaris bersama mereka pada upacara kali ini karena sekarang dia sudah resmi menjadi anak SMA. Adiknya berdiri di depan seraya menyaksikan Adhira yang seperti narapidana yang tengah menunggu waktu eksekusi. Ada dua orang lagi di samping Adhira yang juga turun melakukan pelanggaran yang mirip.Murid bertubuh jangkung itu melirik sambil tersenyum polos pada Adhira.“Kamu kenapa bisa di sini….”Tanpa perlu dijawab Adhira langsung mengerti. Ternyata ada kesalahan yang leb
Read more
Tabrak Lari
 Setelah mengelilingi tiga mal dan puluhan deret toko, Kiara menemukan bando yang diinginkannya. Adhira hanya bisa menggerutu sepanjang perjalanan.“Sudah ketemu lum, Ki?”“Sudah nih! Bagus tidak?”Bando yang dipakai Kiara terlihat pas melingkari kening hingga pelipisnya.“Cari begini saja sampai harus keliling mall tiga jam.” Adhira belum berhenti mengoceh. Bahkan kain berserat mikro itu tidak ada bedanya dengan bando yang selama ini dipakai Kiara untuk berlari.“Biarin.” Kiara menyimpan benda tadi ke tasnya bagai menyimpan benda berharga. Sebetulnya bando itu pun sudah dilihatnya sejak pertama kali ke toko yang mereka masuki pertama kali. Tapi karena Kiara ingin melihat yang lain, alhasil tiga mal pun terlampaui. Baru akhirnya dia memilih bando yang pertama.Ini akan jadi pengalaman pertama dan terakhir Adhira menemani Kiara berbelanja, ikrarnya dalam hati.Hari menjelang
Read more
Hukuman
Awan hitam merundungi Adhira. Dia bahkan segan untuk pulang. Rumah itu bukan lagi rumahnya bahkan sejak pertengkaran sengit dengan Om Willian. Adhira tak lagi bisa menjumpai Kiara sejak kecelakaan tersebut. Paman dan bibinya melarang keras pertemuan mereka. Seakan kebencian mereka pada Adhira kembali tersulut.Mereka tidak mengusir Adhira dari rumah itu. Tidak pula berbicara pada Adhira. Ada dinding tak tampak yang memisahkan Adhira dengan keluarga Osman itu.Adhira menghilang dari sekolah selama tiga hari. Kuswan meneleponnya, tapi tak mendapat balasan. Dia mencarinya di rumah dan tak menemukan siapa-siapa. Berita kecelakaan baru sampai ke sekolah di hari keempat. Adhira masuk dengan penampakan kusut masai. Dia terlihat tidak makan dan tidur seminggu ini.Kuswan mendekatinya dengan gamang. Bahkan dia tak lagi bersuara saat menyerahkan tugas kelompok itu pada Adhira.“Kalau kamu tidak meneleponku waktu itu, mungkin dia tidak akan berakhir begini,&rd
Read more
Pembalasan
Ervan melanjutkan ritual hukuman hingga matahari sudah kembali muncul dari balik awan. Kuswan berlarian dengan berbotol-botol minuman. Saat mendekati mereka, Adhira sudah tak lagi di tempatnya. Ervan berjalan tergopoh kembali ke kelasnya. Raut dinginnya tak luput sedikit pun dari wajahnya. Kuswan hanya memandangi Ervan heran.“Kalian bertengkar lagi?” tanya Kuswan. “Maafkan aku, harusnya aku tidak memintamu mengerjakan tugas Adhira.”Sepanjang sisa pelajaran, Ervan hanya diam sambil sesekali menatap ke bangku barisan belakang yang tak berpenghuni itu. Mungkin berharap Adhira segera kembali, meskipun temannya itu tidak akan muncul hingga akhir pelajaran.“Kamu dari mana?” bisik Kuswan.“Berak,” jawab Adhira asal. Dia membereskan buku yang masih berserakan di atas meja tanpa suara. Ada buku catatan pelajaran yang hari ini terangkum dalam buku tadi.“Aku sudah bantu catat materi hari ini. Kamu jang
Read more
Anak Panti
Gerimis masih belum lekang dari pandangannya. Adhira mengusap wajahnya yang penuh dengan memar kebiruan. Dia duduk dan menunggu rasa sakit itu sirna. Namun selama apa pun dia menunggu, tubuhnya tetap tak bisa pulih seperti sedia kala. Dia melangkah tertatih mendekati ruas jalan yang kini lebih lengang. Namun beberapa meter setelah berjalan, tubuhnya kembali ambruk.Adhira mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ketika uluran tangan datang padanya. Siswa laki-laki bermata hitam dan berwajah tirus itu tersenyum ramah padanya. Dia Lodra Refendra dengan payung biru berdiri separuh membungkuk di hadapan Adhira. Dengan segera dia memindahkan Adhira ke tempat duduk di terminal bus.“Kamu kenapa, Dhi?” Lodra mengeluarkan sapu tangan dari kantongnya dan mengelap wajah Adhira yang masih basah oleh air hujan. Entah sudah berapa banyak air yang menerpanya hari ini. Mungkin lumut akan melapisi kulitnya tak lama lagi.“Aku tidak apa-apa,”
Read more
Undangan kedua
Ujian tengah semester berlangsung lebih khidmat dari biasanya. Entah mengapa, tidak ada murid yang berdesah kecewa pada saat Bu Tamara menyatakan waktu mengerjakan ujian telah usai. Lembar jawaban mereka digeser ke depan untuk kemudian diperiksa. Seluruh murid tampaknya berhasil melalui seluruh soal dengan baik. Bahkan Kuswan yang selalu mendapat nilai paling rendah pun bisa memperoleh angka yang jauh dari garis kelulusan.“Baik, ujian mid kali ini nilai kalian sangat memuaskan, pertahankan. Saya harap di ujian semester depan bisa lebih baik.” Bu Tamara berucap sambil melangkah keluar kelas.“Makasih ya,” bisik Kuswan. Dia seperti hendak mengecup tangan Adhira. Hal tadi membuat Adhira sontak menarik tangannya dari Kuswan. “Soalnya sama persis.”Adhira mengernyit sambil mengedipkan mata. Saat jam pelajaran kosong menjelang, Ervan menghampirinya. Tidak biasanya orang seperti Ervan berjalan ke meja belakang di jam istirahat.
Read more
Papa!
Marmut bercorak putih kekuningan bermunculan dari balik pohon merbau berakar lebar itu. Laila mengelus salah satunya penuh semangat. Dia menyodorkan potongan wortel untuk mereka. Kini tubuhnya sudah dikelilingi puluhan marmut.“Lili!” seru Adhira turun mengejarnya memasuki kawasan hutan. “Apa yang kamu lakukan?”Adhira bernapas tersengal setelah dari tadi berkeliling bangunan panti mencari gadis kecil itu.“Papa!” Laila berdiri di antara marmut-marmut sambil menandak-nandak.Sambil menghela napasnya Adhira melangkah mendekati Laila. “Lain kali jangan jalan jauh-jauh.”Adhira mengamati kantung yang berisi potongan wortel yang tengah dibagikan ke para marmut itu. Pantas saja makan siang mereka hari ini tidak ada wortel. Semua persediaan wortel sudah diselundupkan Laila untuk hewan kecil ini.“Kamu jangan panggil aku papa lagi. Aku bukan papamu.”“Papa!” Laila terlih
Read more
Wili
“Kalian baik-baik saja?”Dia tentu saja tak lupa dengan jantung Adhira yang hampir melompat dari kerangka rusuknya. Jika saja Ervan terlambat sedetik, entah berita apa yang akan diumbar dalam majalah pencinta lingkungan itu? Itu pun kalau ada yang tahu dan menemukan mereka dalam belantara ini. Barangkali jiwa mereka saja tak akan bisa membangunkan kekhawatiran orang-orang. Tapi Ervan tidak sama dengan orang-orang itu. Dia memperhatikan setiap jengkal pori-pori wajah Laila dan Adhira. Dia bahkan menggunakan jemarinya yang selalu bersih dari kotoran itu dan disekanya potongan daun kering yang masih terjerembab di leher Adhira.Hewan peliharaan tadi teronggok bersama hadiah kecil yang sedari tadi disuguhkan oleh Ervan. Bercak darah masih tertinggal di seragam beraroma lavender itu. Adhira segan membersihkannya karena pasti akan sulit melakukan hal itu.“Aku? Ya.” Adhira menelan ludahnya yang kental. Ketakutan belum seluruhnya menyingkir. &ld
Read more
PREV
1
...
45678
...
21
DMCA.com Protection Status