Semua Bab Pesan Nyasar Dari Sahabatku: Bab 41 - Bab 50
119 Bab
41
BAGIAN 41KISRUH           “Ri, ceritakan pada Mama. Ada apa sebenarnya?” Mama melepaskan peluknya. Wanita yang memiliki wajah oval mirip denganku tersebut berkaca-kaca kedua bola matanya.          “Ma, kita bicarakan pelan-pelan, ya,” lirihku.          Perempuan berusia senja tersebut mengangguk pelan. Dia menuntunku kembali duduk ke sofa. Sementara itu, aku melempar pandang ke arah Mbak Naja. Wanita baik hati bertubuh kurus tersebut langsung berdiri dan mengajak anak-anak buat main di luar. Dia seakan paham dengan apa yang aku maksud.          “Alexa, Ica, ayo main di luar sama Tante Naja. Kita nonton Coco Melon,” kata Mbak Naja sembari menggiring dua bocah tersebut.       &n
Baca selengkapnya
42
BAGIAN 42SEBUAH KECURIGAAN           “Ma, bapaknya almarhum Wahyu itu disetir oleh istri keduanya—”          “Mama nggak peduli! Anak itu akan menjadi bumerang buat kita, Ri. Sudah cukup kamu membawa Nadia ke dalam rumah tanggamu yang sekarang telah hancur. Jangan sampai anaknya lagi yang membuatmu hancur buat kedua kalinya!” Mama bangkit dari duduknya. Wanita tua yang memiliki mata sendu itu tampak geram bukan kepalang.          Buru-buru aku ikut bangkit dan menahan lengan kurus Mama. “Ma, dia masih kecil. Aku hanya kasihan dengannya.”          “Masa bodoh! Kamu coba berkaca, Ri. Adakah yang kasihan kepadamu selain keluargamu sendiri?”          Da
Baca selengkapnya
43
BAGIAN 43POV INDRIKEBENCIAN TERHADAPNYA Setahun lalu ….                   “In, Mama udah dianterin makanan?”          Baru saja aku duduk di depan televisi untuk menikmati acara talk show kesayangan, Bang Tama malah menanyakan perihal yang paling aku benci di muka bumi ini. Mama. Ya, selalu saja orang itu yang muncul setiap harinya dalam obrolan kami. Bisakah sehari saja suamiku tidak menyebut nama itu? Bikin muak!          Aku menarik napas dalam sambil mengerling ke arah Bang Tama. “Belum,” jawabku sedikit ketus.          “In, udah jam berapa ini? Kan, kamu udah masak. Anterin, gih. Kasihan Mama sama Papa kalau belum makan sampai jam segini.”
Baca selengkapnya
44
BAGIAN 44POV INDRIKUPEGANG KARTU AS-MU!           “Jadi … kamu tidak setuju ya, In?” tanya Mama dengan suara lirih.          “Terserah Mama saja. Silakan pakai hati nurani Mama sebagai orangtua.” Aku mendengus. Bangkit dari kursi dan buru-buru menyambar tangan Mama.          “Aku pulang, Ma. Pekerjaan di rumah masih banyak yang menumpuk.”          “Makasih, In, buat lauknya.” Hanya itu yang Mama katakan. Padahal, dia tahu aku sedang merajuk. Orangtua macam apa dia?          “Iya. Sama-sama. Riri mungkin seharusnya bisa lebih sering ke sini, Ma. Jangan hanya tahunya minta bagian warisan saja.” Geram sekali, akhirnya keluar juga u
Baca selengkapnya
45
BAGIAN 45POV INDRITERTANGKAP BASAH           “Ayo, Wil. Kita buntuti mereka,” kataku kepada Wilda sembari buru-buru keluar dari mobil setelah Hendra dan Nadia berjalan menjauh dari parkiran menuju ke pintu masuk mall.          “Jadi, itu siapa, sih?” tanya Wilda kebingungan.          “Dia suami iparku. Adik bungsunya Bang Tama. Tapi yang cewek itu bukan iparku. Melainkan simpanannya.”          “Hah?” Muka Wilda berubah merah. Dia kaget. Matanya sampai membelalak besar.          “Udah, ayo keluar. Nanti kita kehilangan jejak mereka!” Cepat aku membuka pintu mobil milik Wilda dan merapatkan jaket jins yang kukenakan. Tak lupa, sebuah kac
Baca selengkapnya
46
BAGIAN46HANCUR LEBUR                   “Nggak ada apa-apa kok, Mbak,” jawabku kepada Mbak Indri. Entah mengapa, aku jadi enggan untuk menceritakan hal ini ke ipar nomor satuku tersebut.          Mbak Indri yang siang itu mengenakan stelan piyama rumahan berbahan katun dengan warna pastel bermotif abstrak tersebut memicingkan matanya. Dia mengibaskan rambut panjangnya yang diberi bando kain berwarna senada dengan piyama. “Yakin nggak ada apa-apa, Ri? Tapi, aku kok mikirnya kamu lagi ada sesuatu, ya?”          Pertanyaan Mbak Indri yang kedengarannya penuh selidik itu sontak membuatku tertegun. Dia kan, selama ini tidak pernah mau peduli kepadaku. Aku datang ke sini dia seperti kerap menghindar. Jarang mau mengajak ngobrol atau bercengkrama lama
Baca selengkapnya
47
47TERJUNGKALNYA PENGKHIANAT           Taksi yang kupesan untuk memulangkan Alexa, nyatanya tak pernah melakukan tugas tersebut. Mobil putih yang dikendarai seorang sopir pria bertubuh kekar itu malah membawa Papa yang pingsan menuju rumah sakit terdekat. Aku dan Mama saling beradu tangis di dalam mobil. Kami terus merapalkan doa dan harapan agar Papa bisa diselamatkan. Hatiku yang telah hancur lebur tak terkirakan ini pun terus meminta kepada Allah agar Papa tetap hidup serta panjang umur.          Mobil yang kupesan memang cepat sekali jalannya. Tak sampai tujuh menit, kami telah sampai di depan pintu IGD rumah sakit umum daerah yang siang itu tampak ramai sekali orang yang duduk di bangku depannya. Aku agak resah. Takut bila ruang IGD penuh oleh pasien.          “Kuat ya, Pa. Kita sudah sampai IGD,
Baca selengkapnya
48
48POV TAMAKUPILIH JALAN TERAKHIR           Raung ambulans masih terngiang-ngiang di telinga. Bahkan hingga jenazah Papa sudah selesai dimakamkan di pemakaman keluarga yang lokasinya tak jauh dari rumah. Perasaan nelangsa begitu melekat di jiwa maupun raga. Aku memang hampir kepala lima, tetapi kehilangan seorang ayah bukanlah hal mudah bagiku. Terlebih, Papa adalah sosok pria baik yang penyayang. Dekat dengan keluarga dan selalu mengorbankan apa pun demi kami anak-anaknya.          Trauma kehilangan itu tentu membuatku begitu sangat terguncang. Saat malam tiba dan semakin beranjak larut, kekosongan hati ini semakin nyata adanya. Apalagi ketika aku telah masuk ke kamar dan hanya berdua saja dengan Indri yang sedari siang tak kuajak berbicara sepatah kata pun. Jangankan bertukar kalimat, memandangnya pun aku begitu sakit. Ya, hatiku benar-benar hancur
Baca selengkapnya
49
BAGIAN49PENGAKUAN SANG IPAR           “Ri, maafkan aku jika selama ini mungkin sikapku membuat kamu ataupun Mama tidak suka.” Mbak Sherly, perempuan 37 tahun yang memiliki seorang putri remaja itu membuka percakapan saat kami hanya berdua di ruang tengah. Tak ada siapa pun selain kami di sini. Semua orang telah berangkat ke peraduan dan jatuh lelap dalam mimpi-mimpi mereka. Termasuk Mama. Aku bersyukur bahwa beliau akhirnya bisa beristirahat setelah hampir seharian hanya menangis dan berkali-kali jatuh pingsan.          Aku mengulas senyum kepada wanita di hadapanku tersebut. Bukan senyum bahagia, melainkan penuh getir. Enam belas tahun dia menikah dengan Bang Edo, baru kali inilah iparku tersebut mau berkomunikasi seintens sekarang. Dia bahkan tak sungkan buat menggenggam jemari ini erat.        &n
Baca selengkapnya
50
BAGIAN 50MAAF DARI MAMA “Minta maaf kamu! Cepat! Cium kaki mamaku!”Teriakan itu membuat aku yang tertidur di kasur lantai tepat di bawah ranjang Mama, langsung bangkit dan membelalakkan mata besar-besar. Aku kaget bukan kepalang. Rasanya, aku baru saja terlelap beberapa jam lamanya setelah berbicara ngalor-ngidul bersama Mbak Sherly.“Ri, suara apa itu?” Mama ikut terbangun. Beliau yang tertidur di tepi ranjang sebelah kiri, langsung terduduk.Kutatap wajah beliau dari keremangan. Mata tua Mama masih terlihat sembab. Wajahnya juga tampak kuyu dan masih mengantuk.“Tolong! Siapa pun tolong aku! Suamiku sudah gila!” Pekikkan itu makin membuat kami terperanjat. Aku bersipandang dengan Mama. Mata kami sama-sama menaruh ketakutan.“Ri, itu suara Indri dan Tama sepertinya!” Mama turun dari tempat tidur. Berdiri dan terlihat agak oleng. Secepat kilat aku bangkit dari kasur tipis
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status