Semua Bab Petaka Lingerie Merah: Bab 21 - Bab 30
59 Bab
21
Bagian 21            Mobil Papa laju melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Membelah jalanan yang mulai sepi, sebab malam sudah semakin beranjak larut. Aku mencoba untuk tenang dan berpikiran positif. Mengenyahkan rasa was-was yang sempat hinggap. Ah, Papa pasti memiliki maksud yang baik. Begitu pikirku sepanjang jalan.            Jika aku terus mencurigai orang lain, lantas siapa lagi yang patut dipercaya? Selamanya aku bakalan tak bertemu dengan orang yang baik kalau prasangkaku selalu buruk. Memang, hidup di dunia ini penuh dengan misteri dan teka teki. Menikah dengan seorang yang awalnya kuduga berbaik hati, mana pernah kuduga bakal akhirnya serumit ini. Namun, aku yakin pasti masih ada orang baik di sekitarku dan Papa adalah salah satunya.            Kami akhirnya tiba di depan sebuah hot
Baca selengkapnya
22
Bagian 22            “P-pa-pa!” Aku berteriak sekencang mungkin.            “Huah!” Napasku tersengal-sengal. Mataku membuka selebar-lebarnya. Keringat bercucuran deras. Si*lan! Ternyata aku bermimpi buruk. Kulihat tubuhku. Masih berpakaian lengkap dengan kardigan dan kupluk yang Papa berikan tadi di parkiran. Kulihat ke arah jam di dinding. Pukul satu malam. Namun, semua mimpiku tadi terasa begitu sangat nyata. Bahkan, kini bulu kudukku merinding.            Segera aku membongkar kresek yang Papa berikan dan menaburkan seluruh isinya di atas kasur. Mataku membeliak besar. Benar, ternyata tak ada satu pun buku maupun kartu yang kulihat. Mimpiku bagai nyata. Tungkaiku jadi lemas dan gemetar.            Segera kus
Baca selengkapnya
23
Bagian 23            Aku langsung bergegas angkat kaki untuk kembali ke kamar 1202. Setibanya di dalam, bedcover dan sprei tadi kucampakkan ke atas kasur dengan sekenanya. Masih agak merinding, aku memaksakan diri untuk buru-buru melepas seluruh pakaian dan menyambar handuk yang berada di dalam lemari dekat pintu toilet.            Dingin, pikirku. Masih terlalu pagi buat mandi. Namun, bagaimana lagi. Ucapan Papa seperti masih terngiang-ngiang di kepala. Bahaya. Bahaya apa? Aku masih meraba-raba. Sesungguhnya apakah ada yang sedang disembunyikan oleh Papa dariku?            Buru-buru aku mandi dengan shower air hangat, padahal aku ingin sekali mencicipi berendam di dalam bathtub. Tidak waktu untuk itu, Gita. Aku harus segera menyelesaikan ritual bersih-bersih tubuh ini. Papa bilang waktuku cuma se
Baca selengkapnya
24
Bagian 24            “Pa, kita mau ke mana? Katanya mau pulang ke rumah orangtuaku?” Aku mencengkeram lengan Papa dengan erat. Kulepaskan kacamata dan topi kupluk yang sedari tadi terpasang di kepala serta wajah. Kupandangi Papa lekat-lekat dengan hati yang gamang. Mau dibawa ke mana diriku?            “Kita butuh liburan beberapa hari sebelum menghadapi pemeriksaan polisi. Kamu tenanglah, Gita. Aku tidak membawamu ke mana-mana, kecuali ke tempat yang baik.”            Namun, kali ini hatiku menolak. Ada perasaan tak enak yang tiba-tiba meliputi. Pasti ada yang tak beres dengan semua ini. Masalah foto dan buku tadi malam, apakah itu adalah … paspor dan KTP-el palsu?            “Papa! Papa sudah mema
Baca selengkapnya
25
Bagian 25            Aku terus dirangkul Papa dengan cengkeraman tangan yang erat menunju pintu keluar nomor tiga lantai dua yang terhubung ke garbarata. Seorang penjaga wanita berhijab meminta tiket kami dan dia mengambil bagian yang harus disobek.            “Jalan lebih cepat ya, Pak. Pesawat sudah menunggu,” katanya dengan terburu-buru.            Papa pun semakin cepat melangkah dengan cengkeraman yang kuat ke lenganku. Tak ada orang lagi yang menuju pesawat, sebab kami adalah penumpang terakhir.            “Papa! Lepaskan aku!” Aku masih berusaha untuk meringsek keluar dari cengkeramannya. Namun, tangan Papa begitu kuat untuk menahanku. Tubuhku terkesan diseret olehnya, sampai-sampai alas kaki yang kukenak
Baca selengkapnya
26
Bagian 26            Dalam hati aku terus berdoa pada Tuhan. Ya Tuhan, aku ingin bisa membuka mata. Tolong aku. Aku ingin melihat, di mana sekarang keberadaanku.            Ajaib, seketika mataku mulai ringan untuk dibuka. Perlahan-lahan, kelopakku mulai terbuka sedikit demi sedikit. Silau cahaya lampu yang terang benderang, membuatku buru-buru menutup mata lagi. Terang sekali, pikirku. Sampai pening kala aku sesaat melihatnya.            “Mas Irfan! Dia bangun! Anak ini tadi membuka matanya!” Suara perempuan itu berseru kencang. Nyaris membuat telingaku sakit sebab teriakannya yang sangat dekat tersebut.            Suara langkah kaki yang seperti orang berlari, terdengar semakin mendekat ke sini. Terasa sensasi seperti ran
Baca selengkapnya
27
Bagian 27PoV Haris            Masih sangat melekat di kepala bagaimana kenangan masa kecilku di sebuah panti asuhan yang merawat besalan hingga puluhan anak-anak tak berdosa yang telah ditinggalkan oleh orangtuanya. Ada yang tahu siapa nama kedua orangtuanya, ada pula yang tidak. Aku masuk ke golongan nomor dua. Sama sekali tidak tahu siapa kedua orangtua yang telah membuatku hadir ke dunia ini.            Bu Salwa, penjaga panti yang masih kuingat namanya sampai sekarang. Dia yang paling baik. Ramah dan tidak pernah marah. Senakal apa pun kami, dia paling-paling hanya memasang wajah masam saja. Selebihnya diam.            Dari beliau, aku tahu asal usulku. Aku masih sangat ingat. Waktu itu, di beranda panti yang dipenuhi anak-anak bermain, aku tengah di pangku olehnya. Usiaku masih empat
Baca selengkapnya
28
Bagian 28PoV Haris (Flashback masa lalu)            Hari-hari kujalani di rumah besar itu dengan perasaan yang tak lagi segembira dan sebangga dulu. Menjadi anak tunggal dari orang kaya raya, tak lantas membuatku jadi anak yang bahagia. Sepulang sekolah, aku harus kucing-kucingan dengan Mama. Agar bisa segera masuk ke kamarku dan mengurung diri di sana.            Namun, selalu saja ada cara bagi Mama untuk membuatku keluar kamar. Setelah keluar, apa yang akan dia lakukan? Semakin aku besar, semakin aneh juga tingkahnya. Banyak hal-hal tak senonoh yang belakangan dia lakukan dan tunjukkan kepadaku.            Mulai dari menyuruhku berjaga di depan pintu kamarnya, sementara dia dan pasangan lesb**nnya bermain di dalam sana sekaligus mengeluarkan suara-suara yang semula sangat kubenci. Tak h
Baca selengkapnya
29
Bagian 29PoV HarisKedatangan Adik Baru            Aku mulai terbiasa dengan hal-hal yang dulu kuanggap ganjil di rumah ini. Santai dan tak kujadikan beban pikiran. Masalah hal tabu itu, terus berlangsung sampai sekarang. Alih-alih stres dan depresi, aku jadi makin menikmati permainan yang disuguhkan secara cuma-cuma.            Sudut pandangku pun makin berubah. Aku sama sekali tak menganggap penyimpangan yang dilakukan Mama dan Papa sebagai suatu masalah besar. Malah, kurasa kalau aku telah meniru mereka. Ternyata, menjadi keduanya itu sangat menyenangkan. Membuat pikiranku bahagia, ringan, dan tentu saja ketagihan.            Papa pun semakin akrab denganku. Dia malah membelikan sebuah mobil saat aku naik kelas dua SMA. Sebuah mobil kijang berwarna silver yang sangat keren. Sampa
Baca selengkapnya
30
Bagian 30PoV Haris            “Aku ke dalam dulu. Sebentar lagi ada kelas.” Bagas bergegas turun dari mobil. Cepat-cepat kutahan dia.            “Gas, sebentar,” cegatku.            Lelaki yang telah turun dan hendak menutup pintu tersebut menoleh. “Apa?” tanyanya lagi.            “Sebentar,” jawabku sembari merogoh saku seragam putih SMA yang melekat di dadaku yang bidang. “Ambilah,” ucapku sembari menyodorkan selembar uang seratus ribu padanya.            Lelaki itu diam. Menatap sesaat ke arah tanganku, lalu beralih lagi ke wajahku. “Apa ini?”       
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status