Semua Bab Bastard Sister: Bab 21 - Bab 30
41 Bab
21
BAGIAN 21              Aku terkejut bukan main saat tiba di kantor polisi. Pak Candra ternyata sudah ditunggu oleh dua orang lawyer alias kuasa hukum yang masing-masing mengenakan jas hitam rapi. Pak Frengky dan Pak Daud namanya. Sama-sama sudah dewasa kalau tak mau dibilang tua. Berusia sekitar 40 tahunan dengan tampak seram. Namun, saat kami berkenalan, Pak Frengky yang botak berkumis tebal dan Pak Daud yang berpotongan rapi tapi mengenakan kalung emas tebal tersebut nyatanya sangat ramah.              “Tenang Mbak Sisi. Kami akan membantu Mbak untuk menyelesaikan kasus ini.” Pak Frengky menebar janjinya saat kami baru saja tiba di depan pintu bagian pengaduan ditreskrimum. Aku yang sebenarnya tercengang luar biasa, hanya bisa mengangguk saat itu.          &nb
Baca selengkapnya
22
BAGIAN 22              “Jangan marah, Si. Aku hanya bercanda, lho,” kata Pak Candra lagi saat aku tak kunjung menjawab omongannya.              “Hm, iya.” Aku juga bingung mau jawab apa. Ya, sudahlah. Mau bercanda atau tidak, yang pastinya aku sudah tak betah dan ingin segera sampai.              “Kita mau makan dulu, nggak?” tanyanya kepadaku lagi.              “Nggak usah, Pak. Aku mau lekas sampai saja. Biar si Lintang bisa ke tempat kerjanya.”              “Aku temanin di rumah sakit kalau begitu.”         &nb
Baca selengkapnya
23
BAGIAN 23              Usai makan es kacang merah dan kebab yang dibelikan oleh Lintang, cowok itu pamit undur diri. Katanya mau kasih pakan lele dulu di rumahnya.              “Eh, kamu jangan lupa masuk kerja, Tang. Nanti dipecat sama bosmu, lho,” ujarku saat mengantarnya ke depan pintu ruangan.              “Iya, Si. Makasih ya, udah ngingetin,” jawabnya sambil tersenyum lebar.              “Tadi berapa belanjaan semua? Aku mau ganti. Buat kamu beli bensin,” kataku sambil merogoh beberapa lembar uang yang kupunya, yang dari tadi sudah kusiapkan dalam saku celana jin.              &ldquo
Baca selengkapnya
24
BAGIAN 24              “Bu, saya izin bawa Sisi ke kantor polisi dulu.” Pak Candra yang baru datang lima menit lalu dan sempat berbincang ringan dengan Mama serta Lintang tersebut, meminta izin kepada Mama sambil mencium tangannya dengan takzim. Jangan bilang ini adalah salah satu strategi agar mamaku jadi luluh dan menyetujui aku dengannya? Tidak akan! Aku pokoknya tidak akan mau sama Pak Candra, titik.              “Iya, Nak Candra. Tolong jaga Sisi, ya. Tolong juga, jangan buat Iren dihukum berat. Cukup kasih efek jera. Kalau bisa, saya minta tolong supaya dia pulang ke pangkuan saya.”              Dadaku nyeri lagi kala mendengar ucapan Mama barusan. Masih saja ternyata. Tetap di pikirannya itu Iren dan Iren.    
Baca selengkapnya
25
BAGIAN 25              “Sisi, sudah,” ujar Pak Candra sembari menarik pelan tanganku untuk menjauh dari tubuh Andika yang mukanya telah babak belur.              Aku yang terengah-engah sebab sehabis meluapkan ledakan emosi, hanya bisa pasrah saat digiring mundur. Baiklah, kurasa sudah cukup.              “Tenang, Mbak Sisi. Akan kita hukum seberat mungkin laki-laki kurang ajar itu,” tambah Pak Frengky yang kini tak lagi memakai jas kerennya, melainkan kaus berkerah warna merah yang menyala.              Pak Candra dan Pak Frengky sama-sama membawaku untuk duduk tak jauh dari Pak Daud yang tengah asyik sendiri memainkan ponsel layar sentuhnya. Aku tak banyak melawan kali i
Baca selengkapnya
26
BAGIAN 26              Aku dan Pak Candra pulang menuju rumah sakit setelah puas hatiku mengamuki pasangan zinah yang tak lain adalah Iren-Andika. Beberapa menit pertama di mobil, kami berdua tak saling bicara. Hanya hening yang menyilimuti. Syukurlah, aku juga tengah tak mood untuk banyak bicara. Pikiranku masih agak kacau.              Mobil tiba-tiba menepi. Aku agak kaget. Kulihat ternyata Pak Candra menghentikan kendaraan mewahnya tepat di bawah rindangnya pohon-pohon. Jalan Pattimura, pikirku. Wilayah perkantoran yang apabila malam hari memang sepi. Banyak pula lampu-lampu jalanan yang mati, sehingga suasana di sini agak gelap. Aku jadi merinding. Ngapain Pak Candra berhenti?              “Pak, ada apa?” tanyaku dengan perasaan yang mulai tak enak.
Baca selengkapnya
27
BAGIAN 27              Setelah diperiksa oleh dokter, Mama akhirnya diperbolhekan untuk pulang hari ini juga. Aku sangat bersyukur, sebab tak harus berlama-lama izin bekerja lagi. Bagaimana pun aku tak enak hati. Apalagi adminku, si Mauris, sudah beberapa kali menelepon bertanya ini dan itu tentang barang masuk atau keluar. Ya, memang ini sudah tanggung jawabku. Salah sendiri mengapa aku izin di waktu yang tepat. Tak tepat bagi kantor, ya.              Pagi ini aku sengaja menelepon Lintang, seperti pesan yang dia katakan tadi malam. Tak menunggu lama, lelaki itu pun langsung tiba di rumah sakit.              “Aku pinjam mobil sama si bos. Kita antar Mama ke rumah pakai mobil itu ya, Si,” kata Lintang sambil membantu membereskan barang-barang Mama yang unt
Baca selengkapnya
28
BAGIAN 28              “Sisi!” Terdengar suara teriakan Lintang dari arah belakang, bersusulan dengan bunyi derap langkahnya yang mengejar.              Aku yang menangis dan sudah hendak pulang tersebut, terpaksa menoleh. Lintang semakin cepat mengejar dan akhirnya tiba tepat di depan tubuhku.              Pluk! Tubuhnya tiba-tiba saja memelukku. Erat. Aku termangu. Kenapa Lintang sampai begini kepadaku?              “Si, jangan menangis lagi. Aku tidak mau melihatmu sedih,” ujarnya sambil mengusap-usap rambutku.              Aku yang semula tergugu akibat perilaku Mama, kini berusaha untuk menghenti
Baca selengkapnya
29
BAGIAN 29              Ini janggal, pikirku. Mama pingsan, lalu dengan secepat kilat terbangun gara-gara ucapanku barusan. Seperti disetting.              “Iya, tapi kita pulang dulu ke rumah. Lintang, tolong antar kami ke rumahku. Daerah Sirih Merah. Perumahan Adiaksa Tiga, blok D nomor 15.” Aku langsung memberikan instruksi kepada Lintang setelah Mama kubantu untuk duduk. Wajah Mama tampak memerah. Seperti marah. Lihatlah. Bisa-bisanya dari pingsan, jadi seperti orang normal begitu. Bukankah dia sudah membohongiku?              Lintang yang semula membantuku untuk memijat Mama, kini langsung ambil langkah dan duduk kembali dengan tubuh tegak di depan kemudi. Mama yang tadinya kurangkul, tiba-tiba beringsut menjauh dariku. Aneh, pikirku. &nbs
Baca selengkapnya
30
BAGIAN 30              Aku sama sekali tak tahu bakal dibawa ke mana oleh Lintang. Tanpa sadar, lelaki itu sudah masuk ke komplek perumahan mewah di daerah Permata Indah, yang lokasinya sekitar hanya dua kilometer saja dari daerah Mutiara—tempatnya pak bos.              Mobil Lintang lalu menepi ke sebuah rumah dengan cat warna putih yang tampak modern plus mewah dari depan sini. Bangunannya memang tak bertingkat, tapi terlihat lumayan besar dengan halaman yang lega dan taman yang indah. Bagus sekali rumah bosnya, pikirku. Seseorang dari dalam sana membukakan pagar baja sehingga Lintang dapat memasukan mobil Fortuner yang katanya juga milik bosnya tersebut.              “Kita sudah sampai,” kata Lintang sembari parkir di car port yang beratap kanopi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status