BAGIAN 26
Aku dan Pak Candra pulang menuju rumah sakit setelah puas hatiku mengamuki pasangan zinah yang tak lain adalah Iren-Andika. Beberapa menit pertama di mobil, kami berdua tak saling bicara. Hanya hening yang menyilimuti. Syukurlah, aku juga tengah tak mood untuk banyak bicara. Pikiranku masih agak kacau.
Mobil tiba-tiba menepi. Aku agak kaget. Kulihat ternyata Pak Candra menghentikan kendaraan mewahnya tepat di bawah rindangnya pohon-pohon. Jalan Pattimura, pikirku. Wilayah perkantoran yang apabila malam hari memang sepi. Banyak pula lampu-lampu jalanan yang mati, sehingga suasana di sini agak gelap. Aku jadi merinding. Ngapain Pak Candra berhenti?
“Pak, ada apa?” tanyaku dengan perasaan yang mulai tak enak.
BAGIAN 27 Setelah diperiksa oleh dokter, Mama akhirnya diperbolhekan untuk pulang hari ini juga. Aku sangat bersyukur, sebab tak harus berlama-lama izin bekerja lagi. Bagaimana pun aku tak enak hati. Apalagi adminku, si Mauris, sudah beberapa kali menelepon bertanya ini dan itu tentang barang masuk atau keluar. Ya, memang ini sudah tanggung jawabku. Salah sendiri mengapa aku izin di waktu yang tepat. Tak tepat bagi kantor, ya. Pagi ini aku sengaja menelepon Lintang, seperti pesan yang dia katakan tadi malam. Tak menunggu lama, lelaki itu pun langsung tiba di rumah sakit. “Aku pinjam mobil sama si bos. Kita antar Mama ke rumah pakai mobil itu ya, Si,” kata Lintang sambil membantu membereskan barang-barang Mama yang unt
BAGIAN 28 “Sisi!” Terdengar suara teriakan Lintang dari arah belakang, bersusulan dengan bunyi derap langkahnya yang mengejar. Aku yang menangis dan sudah hendak pulang tersebut, terpaksa menoleh. Lintang semakin cepat mengejar dan akhirnya tiba tepat di depan tubuhku. Pluk! Tubuhnya tiba-tiba saja memelukku. Erat. Aku termangu. Kenapa Lintang sampai begini kepadaku? “Si, jangan menangis lagi. Aku tidak mau melihatmu sedih,” ujarnya sambil mengusap-usap rambutku. Aku yang semula tergugu akibat perilaku Mama, kini berusaha untuk menghenti
BAGIAN 29 Ini janggal, pikirku. Mama pingsan, lalu dengan secepat kilat terbangun gara-gara ucapanku barusan. Seperti disetting. “Iya, tapi kita pulang dulu ke rumah. Lintang, tolong antar kami ke rumahku. Daerah Sirih Merah. Perumahan Adiaksa Tiga, blok D nomor 15.” Aku langsung memberikan instruksi kepada Lintang setelah Mama kubantu untuk duduk. Wajah Mama tampak memerah. Seperti marah. Lihatlah. Bisa-bisanya dari pingsan, jadi seperti orang normal begitu. Bukankah dia sudah membohongiku? Lintang yang semula membantuku untuk memijat Mama, kini langsung ambil langkah dan duduk kembali dengan tubuh tegak di depan kemudi. Mama yang tadinya kurangkul, tiba-tiba beringsut menjauh dariku. Aneh, pikirku.&nbs
BAGIAN 30 Aku sama sekali tak tahu bakal dibawa ke mana oleh Lintang. Tanpa sadar, lelaki itu sudah masuk ke komplek perumahan mewah di daerah Permata Indah, yang lokasinya sekitar hanya dua kilometer saja dari daerah Mutiara—tempatnya pak bos. Mobil Lintang lalu menepi ke sebuah rumah dengan cat warna putih yang tampak modern plus mewah dari depan sini. Bangunannya memang tak bertingkat, tapi terlihat lumayan besar dengan halaman yang lega dan taman yang indah. Bagus sekali rumah bosnya, pikirku. Seseorang dari dalam sana membukakan pagar baja sehingga Lintang dapat memasukan mobil Fortuner yang katanya juga milik bosnya tersebut. “Kita sudah sampai,” kata Lintang sembari parkir di car port yang beratap kanopi
BAGIAN 31 “Lintang ini juga anak broken home sejak kecil, Si. Figur ayah dari kecil memang tidak melekat di hatinya. Namun, dia ini orangnya setia. Cerai juga karena diselingkuhi oleh mantan istrinya. Masalah mendua, kamu sih tidak perlu khawatir.” Mami melanjutkan ucapannya. Membuat hatiku semakin pilu bak teriris oleh sembilu. Bahkan Lintang tidak pernah menceritakan perihal itu kepadaku. Benar-benar keterlaluan dia! Suasana jadi hening. Aku yang tak mampu berkata, Lintang yang juga tak kunjung membuka suara, membuat atmosfer tegang menyelimuti ruangan. Rasanya aku ingin segera keluar dari rumah ini. Benar-benar hatiku sudah dikecewakan oleh Lintang. “Minuman datang.” Sebuah suara memecah kebisuan. Aku y
BAGIAN 32 Kedekatan antara aku dan keluarga Lintang, tak kusangka bakal bisa terjalin dengan erat dan dalam waktu yang cukup singkat. Siang hingga sore menjelang petang aku main di rumahnya. Berbagi cerita macam-macam kepada Mami dan Alana. Mereka berdua sangat menyenangkan. Cepat akrab dan jika diajak bicara pun sangat nyambung. Hari itu juga, aku resmi menjadi pacar Lintang. Aku rasanya ingin tertawa bila mengingat umur kami yang tak lagi muda, tapi masih memproklamirkan diri sebagai sepasang kekasih. Saat aku protes, Lintang malah berkilah di mobil ketika perjalanan pulang menuju rumahku. “Lho, kita kan pacaran untuk segera menikah.”&nb
BAGIAN 33 Para tetangga, pihak kepolisian, dan tim nakes dari rumah sakit bersama ambulansnya pun tiba di rumah beberapa saat setelah penemuan jasad Mama. Aku masih tak percaya, bahwa pertengkaran tadi siang adalah saat terakhirku bersama beliau. Terlalu cepat, pikirku. Bahkan tak kudapatkan sedikit pun firasat akan kematian beliau yang sangat tragis. Air mataku membanjiri ketika tubuh Mama harus dibawa ke rumah sakit untuk menjalani otopsi. Tubuhku menggigil. Gemetar hebat. Rasanya kakiku sudah tak lagi berpijak ke bumi. “Sisi, sabar ya, Si. Jangan menangis terus. Kasihan mamamu,” ujar Bu Lastri, tetangga depan rumah sembari mendekap erat tubuhku di ruang tamu. Para tetangga lain tengah membacakan yasin di seluruh pe
BAGIAN 34 Sekitar dua puluh menit kemudian, pintu kamarku tiba-tiba saja diketuk. Sementara itu, air mataku belum juga mau surut. Kepala ini sampai pening. Pelipisku rasanya sakit luar biasa dan hidung pun mampet sampai menambah sesak di dada. Kupaksakan diri untuk bangkit dari rebah. Mendatangi pintu dan membuka kuncinya, berharap itu adalah Lintang. “Sisi!” Pak Candra. Lelaki itu langsung mendekapku dengan sangat erat di hadapan para pentakziah yang masih duduk melantai di atas tikar plastik yang dibentang sepanjang ruangan. Aku terhenyak. Tak mampu untuk melepaskan diri dari dekap lelaki itu. Padahal, hatiku sungguh keberatan. Aku