"Apa yang sedang kamu lamunkan?" Suara bariton Dean yang tiba-tiba terdengar, berhasil menyadarkan Jennar dari lamunannya. Dengan raut wajahnya yang berubah cemberut, Jennar melirik sinis ke arah Dean. “Menurutmu?” balasnya ketus. “Saya nggak punya kemampuan untuk membaca pikiranmu, Jennar,” jawab Dean, tanpa melepas sedikit pun ‘topeng’ senyumannya yang ramah itu dari wajah tampannya. Di sisi lain, Jennar tampak semakin mendengus kesal. “Kamu emang nggak kepikiran dengan syarat yang dikasih orang tua kita?!” tukasnya jengkel. Dean tidak menjawab. Pria itu hanya melirik sesaat, sebelum akhirnya kembali menyapa para tamu yang mulai menghampiri mereka lagi. Dengan sedikit memiringkan tubuhnya dan mendekati daun telinga Jennar, Dean berbisik sepelan mungkin. “Senyum,” bisiknya. “Masalah lain, pikirkan nanti.” Mendengar ucapan Dean yang terdengar seperti sebuah perintah, diam-diam Jennar menghembuskan napasnya kasar, sebelum akhirnya menunjukkan sikap profesionalnya dengan mengulas se
Baca selengkapnya