“Aku kira kamu tidak akan datang.”
Suara dalam dari pria yang tengah terduduk di kursi restoran ruang VIP selagi menatap ke arahnya membuat Jennar mendengus kesal.
Meski dalam mode kesal, Jennar memutuskan untuk mengubah caranya berbicara agar lebih formal. “Saya tidak pernah ingkar janji, Pak Dean” ujarnya, sengaja memberi penekanan khusus terhadap nama pria di hadapan.
Tanpa Jennar sadari, sudut bibir pria itu terangkat, membentuk sebuah senyuman saat melihat dirinya menumpahkan emosi selagi memotong daging di atas piring dengan begitu barbar. Pancaran mata pria bernetra zamrud itu menunjukkan rasa terhibur kala pandangannya mendarat pada bibir Jennar yang merengut menggemaskan.
Dengan tatapan lekat pada setiap gerakan gadis itu, Dean berujar, “Mengenai tawaran saya kemarin–”
“Anda bisa membicarakannya dengan agensi saya.” Jennar tersenyum, dalam hatinya bersorak penuh kemenangan. ‘Rasain!’ makinya. ‘Sudah ganti waktu seenak jidat, masih mau dapatin kerja sama? Enak aja!’ Jennar tidak berhenti menggerutu dalam hati. “Hari ini, kita berbincang mengenai satu sama lain saja, bagaimana?”
Sayangnya, reaksi pria di hadapan Jennar tidak sesuai harapan. Bukannya terlihat marah atau paling tidak memasang wajah tidak senang, Dean malah menatap gadis itu dengan tenang.
“Ini tidak sesuai pembicaraan kita kemarin,” ujar Dean. “Aku kemari untuk membahas kerja sama denganmu.”
Jennar menaikkan bahunya. “Saya tidak bisa menyetujui tawaran kerja sama tanpa adanya persetujuan agensi.” Sebuah senyuman tipis tersungging di wajah gadis tersebut seiring dia membatin, ‘Gila, Jennar. Pinter banget sih lo aktingnya!’
“Begitukah?” tanya Dean dengan pandangan datar. Kemudian, pria itu pun mengutak-utik ponselnya sebentar, membuat Jennar mengerutkan kening.
‘Apa yang dia lakukan?’ batin Jennar, sedikit tersinggung karena pria itu memilih untuk sibuk dengan ponselnya.
Tidak semua orang mendapatkan kesempatan makan dengannya, oke? Apa tidak bisa sedikit saja pria itu menghargai keberadaannya?!
Tepat ketika Jennar memikirkan hal tersebut, getaran dari dalam tasnya sendiri menarik perhatian gadis tersebut. Dia meraih ponselnya dan menatap layarnya hanya untuk berakhir dengan mata membesar.
‘Bu CEO?!’ batin Jennar, merasa terkejut lantaran pimpinan agensi turun tangan untuk menghubungi dirinya. Gadis itu kembali mengangkat pandangan dan menatap Dean, merasa tidak enak, tapi dia harus mengangkat panggilannya.
“Silakan,” ucap Dean dengan sebuah senyuman tipis penuh arti, tahu sang gadis tengah meminta izinnya.
Akhirnya, Jennar pun mengangkat telepon itu. “Halo? Ya?” Kening mulus gadis itu berkerut. “Tapi, Bu saya masih ada kontrak–” Maniknya terarah kepada Dean, entah kenapa memancarkan kekesalan. “Saya mengerti ….”
Setelah mematikan panggilan itu, Jennar melemparkan tatapan mematikan kepada Dean yang menyantap hidangannya dengan tenang. Pria itu seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja gadis itu bahas, atau paling tidak … dia sudah tahu apa yang telah terjadi.
Jennar menaruh ponselnya di atas meja. “Ibu Imelda? Serius?” Dia menatap pria itu dengan kesal. ”Seharusnya pembicaraan ini hanya antara kita saja.”
Pria itu menatap Jennar, dan berujar dengan tenang, “Kamu sendiri yang berkata perlu ada persetujuan agensimu, bukan?”
“Aku mengundangmu makan malam karena ingin berterima kasih, kenapa kamu malah memaksaku ke dalam sebuah kerja sama?” balas Jennar, merasa Dean sangat tidak tahu terima kasih.
Dean meletakkan alat makannya dan meneguk sedikit anggur dari dalam gelasnya. Dia menatap Jennar selagi berkata, “Dan aku menerima undanganmu karena mengira kita akan membicarakan kerja sama, kenapa kamu terus menolaknya?”
Mendengar balasan Dean, Jennar merasa kehabisan kata. ‘Ya ampun, muka ganteng, tapi kenapa sikapnya nyebelin kayak gini?! Cowok ganteng di dunia ini nggak ada yang bener apa?!’ geramnya seraya meraih gelas berisi anggur merah dan meneguknya cepat. ‘Emang cuma ada dua tipe cowok di dunia ini.’ Dia membanting gelasnya dan menancapkan pandangannya pada wajah rupawan Dean. ‘Kalau nggak baj*ngan, ya ho–! Eh ….’
“Jennar, kamu baik-baik saja?”
Suara Dean terngiang di telinga Jennar. Akan tetapi, entah kenapa pandangan gadis tersebut mulai membuyar.
“Aku ….”
Jennar ingin menjelaskan, tapi bibirnya terasa kelu. Pandangannya terarah pada gelas anggur yang kosong, lalu alisnya tertaut.
‘Anggur macam apa yang–’
Namun, sebelum Jennar bahkan bisa menyelesaikan ucapan batinnya, semuanya berubah menjadi gelap.
"Baby!" Tiba-tiba Athalla menghampiri Jennar sambil memeluk serta mencium pipinya."What the…" umpat Jennar reflek, sambil mengusap pipi menggunakan telapak tangannya."Lo…" ucapnya tertahan."Iya, ini aku. Apa kabar cantik?" balas Athalla sambil menarik kursi, kemudian duduk di samping Jennar.Lihatlah bagaimana sikap Athalla saat ini. Menjijikkan! Tidak tahu malu! Apa dia lupa kejadian minggu lalu?Kedatangan Athalla yang tiba-tiba, di luar prediksi Jennar. Bahkan saat ini Jennar bingung harus bereaksi seperti apa.Jennar menggeser kursinya sedikit menjauh. "Ngapain lo di sini??" tanya Jennar sinis."Jangan galak-galak. Kamu nggak kangen sama aku??" tanya Athalla sambil memasukan kerupuk yang dia ambil dari atas piring Jennar ke dalam mulutnya.Jennar berdecak kesal. "Lo sengaja nguntit gue, ya?" Mata Jennar menyipit penuh selidik.Tawa Athalla pecah. "Lucu banget sih kamu, baby." Athalla menjepit hidung mancung Jennar."Berhenti panggil gue dengan sebutan itu! Gue bukan pacar lo la
"Jen, Bu Irena minta kamu untuk makan siang bersamanya," Mery menyampaikan pesan manager yang meminta Jennar untuk makan siang di kantin Ganendra Beauty.Jennar yang tengah sibuk memainkan telepon genggamnya itu pun, lantas menghentikan aktivitasnya. "Sama Bu Imelda juga?" tanya Jennar sedikit mengernyitkan dahinya."Nggak tau. Bu Irena nggak bilang," jawab Mery jujur. "Ayo jangan sampai Bu Irena ngomel gara-gara kamu telat,"Jennar berdecak kesal, sambil memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. "Kamu lupa siapa saya??" sombong Jennar sambil menunjuk dirinya sendiri."Global Ambassador Ganendra Beauty!" jawab Mery penuh penghormatan. Bukan hormat dalam artian menghamba, namun lebih ke arah bercanda."Ayo!" ajak Jennar sambil merangkul Mery dan menyeretnya keluar dari ruangan rapat.Kantin Ganendra Beauty, berada di lantai tujuh. Daripada terlihat seperti kantin, tempat itu lebih terlihat seperti restoran hotel bintang lima, hanya saja beda di cara penyajiannya. Kantin Ganendra Beau
"Katanya konglomerat, kenapa nggak punya helikopter sekalian, sih?!" keluh Jennar.Pagi-pagi sekali Jennar diminta datang ke gedung Ganendra Beauty untuk meeting dengan para petinggi, dan managernya. Mengingat kesepakatan semalam yang tidak mengizinkan Jennar ataupun Dean membawa orang lain ke rumah, dengan terpaksa Jennar menyetir sendiri."Uh, boro-boro helikopter, pembantu aja nggak ada," gumam Jennar sendiri.Sebelum keluar dari dalam mobil, Jennar mengecek kembali penampilannya. Dia melakukan touch-up beberapa bagian termasuk mengganti warna lipstiknya menjadi warna merah menyala.Uh, lihatlah dirimu ini. Cantik sekali. Betapa beruntungnya kamu, Dean. Jennar terkekeh saat mendengar betapa konyol dirinya saat ini.Setelah dirasa cukup, Jennar keluar dari dalam mobil, dan masuk ke dalam gedung Ganendra Beauty. Kemewahan interior dari gedung Ganendra Beauty, membuat Jennar terpana beberapa detik, sebelum akhirnya menormalkan kembali ekspresi wajahnya.Ini kali pertama Jennar memasuk
“Bagaimana rasanya jadi pengantin baru?”Jennar merasa jengah dengan sikap Bima yang terus memberikan banyak pertanyaan padanya. Ditambah lagi dengan Dean yang tidak putus memandang Bima, seakan-akan memang sedang menantangnya.“Begitulah…” Jennar yang menyadari bahwa atmosfer di dalam ruangan terasa tidak enak, dia berusaha untuk menjawab secukupnya saja.Ayah Dean yang tampaknya paling bisa membaca situasi, berdeham dengan cukup keras. “Bagaimana dengan proyek kerja sama kalian?”Bima menganggukkan kepalanya, dan berujar dengan santai. “Semuanya masih dalam tahap perencanaan. Belum ada kata sepakat. Benar begitu, sepupu?” ujarnya sambil menatap Dean.“Belum sepakat?” Ayah Dean mengerutkan dahinya. “Bukannya kalian sudah membahas proyek ini dari tiga bulan yang lalu?”Bima menaikkan bahunya. “Ada beberapa hal yang belum ada titik temunya. Pembahasan selama ini, lebih banyak menguntungkan Dean ketimbang saya, om.”Jennar sampai bergidik karena atmosfer di dalam ruangan yang terasa men
"Kamu harus tanggung jawab!" Desis Jennar ketika Dean keluar dari kamar mandi.Dean yang tengah mengeringkan wajahnya itu pun, lantas berhenti sambil menatap Jennar dengan heran."Gara-gara jamu yang mommy kasih, mulutku sampai sekarang masih pahit. Itu juga kan salah kamu, kenapa tadi nggak berusaha ngelarang?" gerutu Jennar melampiaskan semua kekesalannya.Lagi-lagi Dean tidak merespon. Dia hanya menatap Jennar sekilas, kemudian pergi, keluar dari dalam kamar."Dosa apa gue, sampai-sampai bersuamikan manusia es kayak dia!" keluhnya, sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tidak lupa dia juga menyelimuti tubuhnya dengan selimut.Jennar yang hampir terlelap, kembali membuka matanya, saat suara bariton seseorang menyapa telinganya."Lemon tea hangat. Minumlah," titah Dean, sambil memberikan gelas kaca itu pada Jennar.Jennar menatap Dean, dan gelas yang ada di tangannya dengan heran."Minum!" perintah Dean kembali.Tanpa banyak tanya lagi, Jennar langsung meminum habis lemon te
“Deankara Ganendra!” Teriakan itu bergema nyaring di dalam ruang tidur mewah bernuansa modern. “Ini semua gara-gara kamu!” imbuh gadis bertubuh molek sembari menuding pria yang belum lama baru saja secara sah menyandang gelar sebagai suaminya. Sekarang, Jennar dan Dean berada di dalam ruang tidur dengan wajah kesulitan. Yang lebih parah, ruang tidur itu adalah ruang tidur yang berada di kediaman orang tua Dean! “Lain kali kalau ngomong tuh dipikir dulu!” bentak Jennar lagi membuat pelipis Dean berkedut. “Kalau bukan karena kamu seenaknya ngomong sama Bima tentang malam pertama, kamu kira kita akan terjebak di sini?!” Satu jam sebelumnya... “Berhubung ini malam pertama, nggak baik juga kalau kalian langsung pergi. Malam ini kalian nginep di sini saja, ya...” Dengan senyuman cerahnya, Ibunda Dean melayangkan tatapan penuh harap pada putra dan menantunya itu. Mendengar omongan Dean kepada Bima tadi, dia menjadi semakin semangat memastikan semuanya berjalan lancar untuk kedua pengantin