All Chapters of Perjanjian Leluhur: Chapter 361 - Chapter 370

Tinumbala adalah pendekar sakti dari kota Dublek. Pendekar terkaya juga. Uang jadi agama terbesar di kota ini. Tinumbala digadang-gadang akan menjadi perdana menteri karena kekuatannya dalam bercinta. Malam itu ia bercinta secara nonstop di rumah besar di lereng bukit, padahal di daerah lembah musibah besar terjadi. "Semestinya ombak menghancurkan rumah itu," kata Ben Ren. "Tiada sedikit pun manfaat dari kemegahannya." Rumah itu milik Tinumbala dan menjadi persinggahan terkenal bagi wisatawan lokal maupun asing. Di rumah itu terdapat restoran dengan resep hidangan dan perempuan penghibur dari berbagai ras manusia. Satu-satunya rumah bordir yang menyediakan perempuan dari dunia berbeda, bangsa siluman pun ada. "Aku kira rumah itu cukup untuk menampung anak-anak di distrik Utara," kata Bramantana. "Aku bersama Fredy Erlangga, Gagak Jantan dan Ben Ren mengevakuasi anak-anak dari rumah penduduk, mereka pasti sangat ketakutan dan kelaparan." Bramantana dan kawan-kawan segera berpen

Sembilan Tabib Suci terkejut mendengar ramuan berkhasiatnya dicampur ekstrak buah bintaro dan apel pantai. Mereka segera menghentikan pertarungan, dan duduk bersemedi berusaha menetralkan aliran darah yang mulai terasa menyengat. Bukan gelegak cinta, tapi rasa sakit laksana ribuan jarum menusuk setiap pembuluh darah. "Bagiku gampang sekali membunuh kalian," kata Cakra. "Kalian tokoh sakti tidak berdaya karena minum ramuan yang dihidangkan pelayan Tinumbala. Aku ingin kalian merasakan bagaimana rasanya mati oleh ramuan sendiri." Cakra pergi ke dalam rumah membantu pendekar botuna membersihkan mayat yang bergeletakkan. Kota teraman di jazirah bentala menjadi ladang pembantaian tokoh serakah. Ironis sekali. Mereka membuangnya ke dalam goa di kaki bukit, terakhir mereka mengangkut mayat sembilan tabib sakti yang tewas mengenaskan, setelah itu Cakra meruntuhkan dinding karang dengan ajian Grebek Nyawa sehingga mulut goa tertutup rapat. Kemudian Cakra memanggil Romadara yang berada di

Romadara jengkel dengan mulut ember pendekar botuna, ia menyambut kedatangan Cakra di depan tenda induk dengan layangan protes. Ada beberapa tenda lagi di sekitar untuk istirahat ratusan relawan. "Seharusnya kau buang pendekar botuna dari circle mu. Mereka membahayakan kita." "Mereka tidak membahayakan siapapun," bela Cakra sambil duduk di atas permadani di dekat Bramantana dan Fredy Erlangga. "Aku memerintahkan Ranggaslawi untuk berkicau, dan pelayan itu masuk perangkap." Romadara terpukau. "Aku tidak mengerti strategimu." Cakra melindungi mereka dengan tabir misteri sehingga tidak dapat diterawang oleh siapapun, ia juga dapat mengetahui lebih dini bahaya yang mengancam. "Aku mendeteksi pelayan menghubungi istana Dublek lalu aku alihkan sehingga ia laporan padaku. Aku ingin menyelidiki keberadaan ketua lama. Ia ada di pesanggrahan leluhur istana Dublek, sedang meditasi untuk memulihkan energi roh yang hilang selama di gerbang siksa." "Pengaruhnya apa bagi kita?" "Ketua lama ti

Hari sudah senja, mereka kemalaman kalau meneruskan perjalanan ke kotaraja, dan pasti tidak kebagian penginapan. Kerajaan Barat ramai dikunjungi pelancong dari luar, bahkan banyak yang tidur di taman kota karena penginapan penuh di akhir pekan. Kotaraja adalah kota yang tak pernah mati, siang malam ingar-bingar dengan segala pertunjukan. "Maaf, Tuan," kata penerima tamu cantik jelita. "Rumah singgah sudah dipesan puteri mahkota." Cakra heran tidak ada prajurit berjaga-jaga di sekitar rumah singgah, sebagaimana protokoler kedatangan keluarga istana. "Apakah kau tidak berdusta?" tanya Cakra. "Aku tidak melihat prajurit mengamankan rumah singgah." Pelayan penerima tamu diam. Cakra curiga mereka adalah tokoh istana yang menyamar. "Aku mengerti," kata Cakra. "Kalian adalah pengawal istana. Apakah liburan puteri mahkota bersifat rahasia sehingga kalian perlu menyamar?" Situasi di kerajaan Barat sangat kondusif, pernah terjadi pergerakan tapi sifatnya hanya situasiona

Komandan prajurit bengong. "Bukankah tuan tadi ada di dangau?" "Kau tak perlu tahu aku ada di mana," sahut Cakra dingin. "Ratumu ceroboh sekali. Mengundang permaisuri dan selir pangeran Nusa Kencana tanpa pengamanan yang memadai." "Kami sudah melakukan pengamanan ekstra ketat, tuan," kata komandan prajurit. "Kami harap tuan tidak berbicara sembarangan." "Ekstra ketat apa?" sergah Cakra keki. "Sepasang Pengemis Gila ini sengaja ingin mengalihkan perhatian kalian. Ia maling dari kota Dublek. Ia hanya punya gin kang tanpa ilmu kesaktian memadai." Cakra sempat tertipu dengan ilmu gin kang mereka yang sangat tinggi. Ia ingat di kota Dublek perguruan bela diri mengajarkan ilmu secara terpisah, kemudian disalurkan sesuai struktur tulang mereka. "Maksud tuan mengalihkan perhatian dari apa?" "Di rumah singgah sekarang lagi ramai pertarungan antara tamu undangan dengan sepuluh biksu palsu. Jangan bertanya dari mana aku tahu, itu sebuah kebodohan." "Semua pegawai di rumah singgah ad