Semua Bab Life Hates Me: Bab 31 - Bab 40
120 Bab
Bab 31
Sebuah bangunan bertingkat 3 berdiri di depanku. Gedung tempat tinggal itu adalah rumah Victor. Aku menelan ludahku sebelum melangkah memasuki rumahnya. Begitu masuk, aku disambut oleh ibunya dengan ramah."Halo~ Temannya Victor, ya?" sapa wanita berumur 40-an tahun itu."Iya, Tante," jawabku sambil tersenyum ramah."Yuk langsung naik saja. Victor dan yang lainnya sudah menunggu di lantai 2," ajaknya sambil memberikan isyarat tangan yang menyuruhku untuk mengikutinya.Aku pun melangkah mengikuti ibunya Victor. Sambil berjalan, aku melihat-lihat telepon pintar keluaran terbaru yang terpajang di dalam etalase kaca. Ya, keluarga Victor menjalankan bisnis konter HP yang memiliki beberapa cabang di dalam kota ini."Kalau kamu mau beli, Tante akan kasih kamu diskon karena kamu temannya Victor," ujar ibunya Victor yang mengambil kesempatan untuk promosi saat menyadari aku melihat-lihat telepon pintar yang dijual oleh konter HP-nya.Dengan cepat aku
Baca selengkapnya
Bab 32
2 hari telah berlalu sejak aku kerja kelompok di rumah Victor. Aku turun ke sekolah pagi-pagi sebelum bel masukan berbunyi dan gerbang ditutup. Saat memasuki ruangan kelasku, aku mendapatkan tatapan sinis dari lima siswi yang menongkrong di meja guru.Kuabaikan tatapan sinis dari geng Celestine dan berjalan menuju tempat dudukku. Aku sudah terbiasa mendapatkan tatapan sinis mereka, terutama Celestine, dia pasti dengki denganku karena aku sekelompok dengan orang yang dia sukai; Victor.Sesampainya di mejaku, aku menurunkan ranselku di atas kursi lalu mengeluarkan sepotong tisu untuk membersihkan permukaan mejaku. Lagi-lagi mereka mencoret mejaku dengan spidol.Aku menggosokkan benda putih tipis ini ke permukaan mejaku. Sambil menghapus coretan spidol itu, aku membatin, 'Kalau aku melaporkan mereka ke pak Yere lagi, apa kali ini mereka akan dihukum? Atau hanya akan diberi peringatan saja?'Akhirnya permukaan mejaku bersih mengilap lagi. Semua coretan spidol
Baca selengkapnya
Bab 33
Jam istirahat, seperti biasa, aku memakan bekalku di dalam kelas. Makan sendirian di ruangan yang sepi ini sudah menjadi rutinitas bagiku. Selain itu, belakangan ini aku lebih suka menyendiri agar tidak mendapatkan perhatian dari orang lain. Kusuap sesendok nasi ke dalam mulutku dan mengunyahnya. Kunikmati nasi dan tempe bacem yang dimasak oleh mama dengan lahap. Walaupun makanan ini hanyalah masakan yang sederhana, bagiku masakan mama tetap nomor 1. Tak lama kemudian, seseorang memasuki ruangan ini sehingga aku jadi tidak sendirian lagi. Orang yang baru saja memasuki kelas adalah Victor. Dia berjalan dengan cepat menuju tempat duduknya yang berada tepat di depanku. Kelihatannya dia seperti sedang terburu-buru. Aku mengabaikan siswa yang sedang mencari sesuatu di dalam laci mejanya dan lanjut memakan bekalku. Namun, aku tidak bisa terus mengabaikannya karena tiba-tiba dia berbicara kepadaku. "Tadi kamu ada lihat orang ambil sesuatu dari dalam laciku k
Baca selengkapnya
Bab 34
Pulang sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah karena hari ini adalah jadwal piketku. Aku tetap tinggal di dalam kelas bersama dengan beberapa murid lainnya yang juga piket hari ini. Kami membagi tugas agar kewajiban ini bisa lebih cepat selesai."Freya, coba lihat ini," panggil seseorang.Aku pun menghentikan aktivitasku dan menoleh ke arah sumber suara. Kudapati Stephen, siswa yang terkenal nakal seangkatan kami berdiri di depan papan tulis. Tangan kanannya menunjuk ke arah papan tulis di sampingnya.Kulihat apa yang dia tunjuk dengan jari telunjuknya. Terdapat coretan dengan tulisan yang seperti ceker ayam di papan tulis. 'Freya cupu, bodoh, lemah,' dan semacamnya. Itulah isi coretan yang ditujukan kepadaku.Aku menggenggam erat sapu di tanganku dan menatap tajam Stephen. 'Bukannya membersihkan papan tulis, dia malah mencoret-coret papan tulis dan mengolok-olok aku.'"Stephen, jangan begitu. Buang-buang tinta spidol saja," tegur seorang sisw
Baca selengkapnya
Bab 35
Di rumah, aku dan mama duduk saling berhadapan di ruang tamu. Kutundukkan kepalaku dan memandang kedua tanganku yang bertengger di atas pangkuanku. Aku tidak berani melihat wajah mama."Kenapa tadi kamu lama betul pulangnya?" tanya mama menginterogasiku."Aku konseling ke ruang BK sehabis piket," jawabku dengan suara kecil."Konseling? Memangnya kamu ada masalah apa di sekolah?" Mama bertanya kali. Kali ini suaranya tidak sekeras sebelumnya."Aku dibuli," jawabku singkat sambil mengepalkan tanganku dengan erat.Mama terdiam setelah mendengar jawaban dariku. Karena tak kunjung mendapatkan balasan darinya, aku memberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku dan menatap mukanya. Tidak ada tanda-tanda amarah pada wajahnya."Begitu, ya," ucapnya.Mama bangkit dari kursi dan melangkah pergi meninggalkanku begitu saja. Kupikir dia akan mengomeliku atau bertanya lebih lanjut, ternyata tidak. Aku pun sempat berharap kalau dia akan menanyakan kea
Baca selengkapnya
Bab 36
2 hari kemudian, tibalah hari Senin. Aku menjalani rutinitasku seperti biasa; mandi, sarapan, pergi ke sekolah, membersihkan mejaku, dan upacara bendera. Kupikir kali ini aku tidak akan sesak napas lagi, ternyata tidak.Kuangkat tangan kananku dan menggosok-gosok dadaku yang terasa sesak. Napasku yang teratur perlahan jadi berat karena kesulitan bernapas. Kepalaku pun mulai pusing, mungkin karena kekurangan oksigen."Kamu kenapa, Freya? Sakit lagi?" tanya seorang siswi yang berdiri di samping kiriku."Iya ...," jawabku dengan lesu.Kudengar Celestine dan anggota gengnya mengataiku dari belakang. "Halah, palingan dia pura-pura sakit lagi."Aku mengerutkan alisku dan mengernyitkan mataku. Bukan karena dikatai oleh geng Celestine, melainkan karena sesak napasku semakin parah. Aku berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan mulutku karena bernapas menggunakan hidung saja sudah tidak cukup bagiku."Ayo ke UKS," ajak siswi itu samb
Baca selengkapnya
Bab 37
Setelah upacara bendera berakhir, keluarlah aku dari UKS dan masuk ke kelas. Untung saja tidak ada yang menyadari kalau mataku sembab karena menangis, atau teman sekelasku berpura-pura tidak menyadarinya dan tidak menyinggungnya.Aku duduk di kursiku dan mengeluarkan buku pelajaran Bahasa Indonesia dari dalam ranselku. Kubuka buku latihanku dan membaca ulang syairku dalam hati. Perasaan yang tercurah ke dalam karya tulis ini masih membekas di hatiku.'Meringkuk dalam kebencian bagaikan gaya.' Itulah yang akhir-akhir ini kulakukan. Aku membenci geng Celestine, membenci ibu kandungku sendiri, dan bahkan membenci diriku sendiri.Kubaca lanjutan dari syair yang kutulis minggu lalu. 'Berhenti membenci dan jadilah bahagia.'Aku memejamkan kedua mataku dan menutup buku latihanku. Sebuah hembusan napas panjang terselip keluar dari mulutku. 'Itu akan sulit untuk diwujudkan. Entah kenapa membenci seseorang lebih mudah daripada berdamai dengannya.'Karena ked
Baca selengkapnya
Bab 38
Jam istirahat pun tiba. Maryam mengikuti bu Herlina ke ruang guru untuk membahas perbuatannya yang memalsukan nilaiku. Kupandang gadis berkuncir dua yang berjalan mengekori bu Herlina sambil tersenyum miring. 'Mampus kamu, Maryam.'Setelah sosok kedua perempuan itu lenyap di balik pintu, aku mengalihkan pandanganku ke ranselku. Kukeluarkan sebuah kotak makan berwarna ungu dari dalam ranselku dan memakan bekalku dengan lahap.Saat aku sedang memakan bekalku, tiba-tiba seorang guru memasuki ruangan ini. Guru tersebut adalah pak Yeremia. Dia bercelingak-celinguk, seperti mencari seseorang. Kemudian, mata kami pun saling bertemu."Freya, dimana Celestine dan kawan-kawannya?" tanya pak Yeremia kepadaku karena hanya ada aku seorang diri di dalam ruangan ini."Sepertinya mereka lagi di kantin, Pak; kalau Maryam mungkin masih di ruang guru," jawabku.Pak Yeremia ber oh ria dan membalasku. "Kalau mereka sudah kembali, beri tahu mereka ke ruangan saya, ya."
Baca selengkapnya
Bab 39
Aku berada di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, kalau saja ruangan ini tidak dibagi menjadi beberapa bagian lagi untuk dijadikan jamban. Kukernyitkan mataku dan menutup hidungku karena tidak tahan dengan bau pesing di tempat ini. Ya, saat ini aku berada di dalam WC.Tiba-tiba seseorang menampar keras tembok yang berada di belakangku. Terdengar bunyi yang nyaring saat telapak tangan orang yang menyeretku ke sini menghantam dinding. Siswi berbadan besar itu mengurungku di antara lengannya sehingga aku tidak bisa kabur."Kamu 'kan yang membuat kami dipanggil ke ruang BK?" tanya Celestine yang berdiri tepat di hadapanku.Jarak kami sangat berdekatan, terutama wajah kami. Bau napasnya menyerbak masuk ke hidungku sehingga membuatku memutar mataku. 'Ah, bau banget. Dia habis makan apa sih? Jengkol? Atau petai?'"Woi, jangan diam saja, jawab dong!" desak salah satu anggota gengnya yang berdiri di belakangnya."Iya, kemarin aku melaporkan kalian ke pak
Baca selengkapnya
Bab 40
Keesokan harinya, pagi-pagi aku turun ke sekolah seperti biasa. Hari ini kudapati mejaku bersih mengilap, tidak ada terlihat coretan spidol di atas permukaan mejaku. Aku pun merasa heran. 'Tumben mereka tidak mencoret mejaku lagi.'Kuedarkan pandanganku ke sekitar dan mencari keberadaan siswi-siswi yang sering merundungku. Tak kudapati sosok mereka di dalam ruangan ini, bahkan seorang pun dari mereka tidak tampak batang hidungnya.Aku menurunkan ranselku ke atas kursiku lalu mendudukkan diriku. Kutengok jam dinding yang menunjukkan pukul 07.11 pagi. 'Tumben jam segini mereka masih belum datang. Masa sih mereka tidak turun gara-gara takut karena kugertak kemarin?'Bukan hanya aku saja yang heran kenapa geng Celestine masih tidak terlihat sosoknya sampai sekarang, teman-teman sekelas yang lain pun heran. Mereka saling bertanya kepada satu sama lain tentang kelima siswi yang sering merundungku."Celestine dan kawan-kawannya kok tidak kelihatan, ya? Biasanya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status