All Chapters of Keris Bunga Bangkai: Chapter 171 - Chapter 180
197 Chapters
171 - Ketakutan Danadyaksa
Rangkahasa dan Arifin pun terdiam, tak juga bisa memikirkan solusi soal resiko tersebut. Selama ini mereka justru menggunakan kondisi itu untuk menebar ancaman pada pasukan musuh. Sekarang mereka mulai sadar bahwa itu pun isa menjadi resiko yang mengancam mereka.“Aku jadi ingat. Dulu saat pertama kali Indra dan Dharma berhasil menemukanku, itu juga karena mereka mengikuti jejak bangkai para dedemit yang aku bantai,” jelas Rangkahasa.“Tapi aku pikir, tempat ini cukup aman. Karena kita sama sekali tak meninggalkan jejak bangkai dedemit untuk ke sini,” sahut Bayantika. “Mungkin kita bisa melakukan hal yang sama di kemudian hari. Kita bisa menjauh dari jejak yang kita tinggalkan saat mencari tempat persembunyian di siang hari. Tentu itu juga tak sepenuhnya aman,” lanjutnya menyampaikan solusinya.“Kalau di kondisi aman, kita tak perlu mempermasalahkan itu. Tapi dalam kondisi perang seperti ini, kita jadi tak bisa menetap di satu tempat terlalu lama juga,” balas Arifin.“Selama kita tak
Read more
172 - Gelimpangan Mayat Tanpa Kepala
Malam itu, Bayantika menginstruksikan pasukannya untuk pindah ke bagian hutan di sebelah selatan dari posisi perkemahan prajurit Danadyaksa. Prajurit khusus itu berpencar dalam dua kelompok untuk mengamankan area tersebut, baik dari kemungkinan mata-mata musuh, maupun dari kedatangan para dedemit.Angin yang berhembus dari arah selatan membawa terbang suara riuh dan keributan dari para dedemit yang mereka bantai. Danadyaksa yang sudah kadung ngeri dengan keberadaan mereka menjadi semakin ketakutan.“Ada apa, Panglima? Sepertinya Panglima terlihat gelisah,” tanya Danuwendra, satu orang Senopati yang masih menemaninya di depan tenda.“Aku hanya sedikit kedinginan,” jawab Danadyaksa, sedikit mengusap-usap bahunya.Setelah itu dia pergi mendekat ke arah api unggun dan bergabung dengan sebagian prajurit yang berkumpul di sana. Setidaknya, gelak tawa dari candaan prajurit itu bisa menyamarkan suara kegaduhan para dedemit yang masih terdengar oleh Danadyaksa.Para prajurit itu nampak abai, k
Read more
173 - Tragedi Di Benteng Kalaweji
Bayantika memeriksa kondisi satu mayat dengan seksama. Dia memperhatikan kondisi leher mayat yang terpenggal. Leher itu hancur begitu kasar, tak terlihat seperti dipenggal dengan bilah pedang. Namun dia cukup ragu, mengingat mayat tersebut sudah berumur beberapa hari yang lewat.Mereka terus berjalan pelan memasuki benteng tersebut. Benar-benar tak ada seorang pun di sana. Hanya ada beberapa burung gagak nampak abai mematuk bangkai dari mayat-mayat yang berserakan. Ramainya buruk gagak itu menandakan kalau tempat itu benar-benar sudah ditelantarkan beberapa hari.Hampir di seluruh sudut benteng, ada mayat bergelimpangan. Kondisi mereka semua sama tanpa kepala. Sudah cukup jauh mereka memeriksa tempat itu, mereka masih tak menemukan satu pun kepala dari prajurit-prajurit tersebut.Bayantika pun membagi pasukan itu dengan berpasang-pasangan, untuk memeriksa seluruh bagian benteng.“Segera periksa semua ruangan!” serunya.Mereka pun langsung berpencar memeriksa seluruh ruangan di lantai
Read more
174 - Beban Seorang Pemimpin
Terlalu banyak hal yang sulit dicerna oleh Bayantika saat ini. Bendera Kerajaan Telunggung yang berkibar, mayat-mayat bergelimpangan tanpa kepala, serta keberadaan lusinan Genderuwo. Dia menjadi bingung, siapa sebenarnya yang menyerang benteng itu lebih dulu, dan siapa sebenarnya yang membantai para prajurit itu.     “Hal yang paling mungkin untuk aku cerna saat ini, kemungkinan benteng ini diserang lebih dulu oleh prajurit dari Telunggung. Baru kemudian para genderuwo itu mendatangi tempat ini dan memakan kepala para prajurit yang telah mati,” jelas Bayantika mencoba merasionalisasi keadaan tempat itu.     “Masalahnya, sejauh ini kita hanya menemukan prajurit Kerajaan Majaya saja yang tewas,” sanggah Arifin.     “Mungkin saja mereka sudah lebih dulu menelantarkan benteng ini sebelum kedatangan para genderuwo ini,” balas Rangkahasa.     Bayantika ke
Read more
175 - Serangan Genderuwo
Bayantika bergegas menghampirinya, berharap dia bisa menggali informasi yang lebih banyak dari satu orang prajurit itu. Hanya saja kondisi prajurit itu begitu lemah setengah sadar, karena sudah cukup lama terkurung di dalam penjara. Tak ada yang tahu pasti sudah berapa lama dia terkurung sendirian di dalam sana.  “Hey, sadarlah!” seru Diandra, prajurit pertama yang membantunya keluar dari penjara tersebut.  Dia terus menepuk-nepuk pipi prajurit itu pelan. Meski prajurit itu terlihat memberikan reaksi, dia nampak begitu tak berdaya hanya untuk berbicara. Bibirnya begitu kering dan tatapanya juga sayu. Nyaris tak ada hasrat hidup terpancar dari matanya.  “Gen, genderuwo...” sahutnya lirih, berusaha memberitahu mereka soal apa yang terjadi pada benteng tersebut.  Tentu Bayantika tak juga terlalu kaget dengan
Read more
176 - Terkepung
Pikir mereka, dedemit seperti genderuwo hanya akan keluar di saat gelap saja. Namun sekarang benteng itu sudah diserbu oleh lusinan genderuwo ketika hari baru beranjak sore. Memang cuaca saat itu tak juga begitu terik, dengan awan cukup tebal walau belum ada juga hujan yang turun. Seakan hari berjalan terasa begitu cepat, padahal malam belum akan datang dalam waktu dekat. Namun suasana di Benteng Kalaweji sudah begitu suram dengan kedatangan mereka.  “Itu pasti dedemit yang tadi membawa temannya datang ke sini,” gumam Ekawira dengan ekspresi wajahnya yang masih pucat dan jari-jari tangan yang menggigil memegangi kepalanya.  Saat perhatiannya teralihkan oleh barisan para genderuwo yang bertengger di pagar benteng, satu dari tiga genderuwo yang menyibukkan Rangkahsa di koridor lantai dua itu merangkak menyerang Ekawira. Rangkahasa mengayunkan p
Read more
177 - Keputusan Ekawira
Para genderuwo terus mendekati mereka seperti mengintimidasi Bayantika dan para Prajurit Khusus Kalongrolas yang dipimpinnya. Nahas mereka bergemetaran dengan bibir yang ternganga karena ukuran taring mereka yang panjang dan besar. Mereka terus mendekat sedikit membungkuk dengan aura yang mencekam, dengan tatap mata merah yang seakan menyala-nyala. Semua prajurit itu bergerak mundur menyeret kaki mereka, nampak begitu waspada dengan kedua tangan memegangi pedang yang terhunus ke depan. Bayantika yang berada paling depan, mulai mengkhawatirkan para prajurit di belakangnya. “Bagaimana sekarang, Tuan Senopati?” tanya Arifin berbisik yang saat ini berada paling dekat denganya. Namun Bayantika diam saja, belum bisa memberikan solusi karena masih memikirkan semua peluang dan resiko yang ada saat ini. Lagi pula, dia sadar dua orang prajuritnya tidak dalam kondisi bisa ikut bertarung karena sedang memapah satu prajurit yang baru mereka selamatkan. Sementara dia juga masih meragukan kondis
Read more
178 - Pengorbanan Seorang Ksatria
Beberapa saat kemudian, dia berhasil menyayat lengan dua genderuwo itu beberapa kali, membuat mereka sedikit menjauh. Bayantika pun menoleh ke arah Arifin, dan langsung datang membantunya menghadapi satu genderuwo yang menyibukkannya. Bayantika menebas kepalanya dari belakang. Sejurus kemudian Arifin melancarkan serangan kombinasi yang begitu cepat, menyayat tendon otot di bawah lutut dan paha di kedua kaki dari genderuwo itu dengan dua kerambitnya. Baru kemudian Bayantika menikamkan pedangnya beberapa kali pada bagian pundak genderuwo itu dari belakang sembari bergelantungan di punggungnya. Sementara itu, Arifin masih terus menusukkan dua kerambitnya ke tubuh Genderuwo itu bertubi-tubi dari depan. “Senopati, awas!” teriak Arifin mengingatkan. Bayantika menoleh ke kirinya, dan satu mulut genderuwo menganga begitu lebar hendak menerkam kepalanya dari arah samping. Bayantika segera mencabut pedangnya dan menahan terkaman itu dengan pedang tersebut. Dia terdorong jatuh dan genderuwo
Read more
179 - Menjadi Umpan
Tak ada lagi yang menahan, Daiva pun ikut bergabung dengan yang lainnya menghadapi para genderuwo itu. Ketika dia memiliki kesempatan untuk mendekati Senopati Bayantika, Daiva segera memberitahukan soal nasib dari prajurit yang hendak mereka selamatkan itu. Bayantika menoleh sesaat ke belakang dan mendapati prajurit itu sudah tergeletak tak lagi bernyawa, dengan perut basah bersimbah darah. “Aku akan mencoba memancing perhatian mereka. Segera ajak yang lainnya untuk pergi lewat pagar benteng,” seru Bayantika berbisik memberikan instruksi pada Daiva. Sejurus kemudian, mereka kembali berpencar. Daiva pergi mendekati rekan-rekannya yan lain. Sementara itu, Bayantika datang membantu Rangkahasa untuk menghadapi para genderuwo di dekat gerbang benteng. Setelah mendapatkan sedikit kesempatan, dia pun berbisik meminta bantuan Rangkahasa untuk memancing perhatian para genderuwo itu keluar dari benteng. “Kita harus mengalihkan perhatian mereka agar yang lain bisa pergi,” terang Bayantika.
Read more
180 - Patahnya Sayap Para Kelelawar
Sementara itu, orang-orang misterius yang ada dalam rombongan para genderuwo itu menyadari pergerakan Rangkahasa dan Bayantika. Namun mereka tetap berjalan dengan santai seperti tak begitu peduli.“Saprol, apa itu dua orang pendekar yang kemarin malam membunuh teman-temanmu?” tanya si perempuan misterius yang berambut gimbal berantakan seperti rambut nenek-nenek, namun dengan paras yang terlihat masih begitu mulus dan cantik.“Aku tak begitu yakin, Nyi. Jarak mereka terlalu jauh,” jawab satu genderuwo dengan suara berat dan serak, yang berjalan bersama rombongan manusia misterius tersebut.“Maaf, Nyi Lorong. Menurutku, dilihat dari pakaiannya, salah satu dari mereka adalah seorang prajurit berpangkat dari Kerajaan Marajaya. Mungkin mereka adalah prajurit mata-mata yang datang untuk memeriksa kondisi Benteng Kalaweji,” sahut salah seorang prajurit Telunggung yang ada bersama mereka.“Itu berarti, setidaknya Marajaya juga sudah mengirim pasukannya ke sini. Mungkin saja mereka saat ini b
Read more
PREV
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status