Semua Bab Keris Bunga Bangkai: Bab 181 - Bab 190
197 Bab
181 - Penghukuman
Di tengah kekalutan itu, Arifin sempat melihat ekspresi putus asa di wajah Bayantika. Baru di sana dia menyadari akan nasib satu orang lagi prajurit khusus kalongrolas yang tewas diterkam genderuwo.  “Wisnu!!!” teriaknya.  Dan seketika itu juga, tubuhnya dihempas begitu keras oleh tamparan satu ekor genderuwo. Arifin terpental membentur satu batang pohon. Setelah sempat membunuh satu ekor genderuwo, Rangkahasa menoleh ke sekelilingnya. Hampir semuanya tak sadarkan diri tergeletak di sana. Arifin sendiri baru saja mencoba bangkit setelah menerima satu serangan yang mengenainya. Satu-satunya alasan dari empat genderuwo itu belum membunuh para prajurit itu karena perhatian mereka masih terpancing oleh kebengisan Rangkahasa membunuh beberapa teman mereka. Sementara itu, Bayantika bersimpuh terlihat begitu putus asa mendapati kondisi tragis prajur
Baca selengkapnya
182 - Keraguan
Hanya ketika Bayantika sudah melihat ketakutan dan keputusasaan dari mata merah genderuwo itu, baru dia memenggal kepalanya dengan begitu kasar.  “Arsa, Naleindra, segera periksa kondisi yang lainnya,” seru Bayantika.  “Mereka masih hidup, Senopati!” sahut Arifin yang ternyata lebih dulu memeriksa kondisi mereka. “Tapi aku ragu mereka masih bisa bergerak setelah ini,” lanjutnya menyangsikan.  Mendengar penjelasan itu, Bayantika berbalik ke arah selatan seperti bersiap-siap menantikan sesuatu.  “Masih ada satu rombongan genderuwo yang mengejarku. Kita tak punya pilihan lain selain bertahan di sini. Jika ada yang ingin pergi untuk menyelamatkan diri, maka pergilah. Aku tak akan keberatan dengan pilihan itu,” jelas Bayantika.  “Yang benar saja. Apa Tuan Senopati ing
Baca selengkapnya
183 - Rasa Bersalah
Bentrokan pun terjadi di tengah-tengah belantara hutan perbatasan tersebut. Ini kali pertamanya bagi Marajaya melakukan pertempuran di tengah hutan seperti itu. Di depan, Rangkahasa dan Arifin sudah membantai para genderuwo yang sebelumnya berjatuhan terkena serangan panah para prajurit bantuan. Para pasukan tameng dan tombak andalan Panglima Danadyaksa pun sudah sampai berbaris mengelilingi para prajurit khusus Kalongrolas yang terluka.  “Kalian tetaplah di sana, jaga para prajurit itu!” seru Bayantika memberikan arahan.  Sisanya, langsung menghadang para genderuwo itu secara langsung dengan panah dan pedang mereka. Kekisruhan pun terjadi di tengah-tengah hutan tersebut. Namun sekarang, genderuwo itu mulai kocar-kacir sejak kedatangan pasukan bantuan itu. Serangan panah senantiasa mengganggu mereka, membuat tubuh mereka yang besar menjadi sasaran empuk para pema
Baca selengkapnya
184 - Kemunculan Adji Antharwa
Menjelang tengah malam, mereka sampai juga di perbatasan Desa Luwung Ijo. Mereka terpaksa bertahan agak jauh dari desa tersebut. Setidaknya, para prajurit itu membantu mendirikan tenda untuk para pasukan khusus yang dipimpin Senopati Bayantika di sebuah dasar tebing, agak berjarak dari perkemahan pasukan Danadyaksa.  “Senopati!” sahut sorang prajurit datang menghampiri bersama empat orang temannya.  “Aryo? Jali dan Andra juga? Apa Panglima Tarendra juga yang menyuruh kalian ke sini?” tanya Bayantika.  Tiga orang yang namanya disebutkan oleh Bayantika itu adalah tiga orang prajurit tambahan yang dulu diberikan oleh Panglima Tarendra pada Bayantika. Mereka sudah ikut membantunya sejak peperangan di Ujung Kandis sebelumnya, dan sepertinya mereka baru datang bersamaan dengan Dharma.  “Ini ada dua orang lagi, Jaka dan Mulyon
Baca selengkapnya
185 - Bukan Perkara Sepele
Keesokannya, Panglima Danadyaksa bersama Panglima Adji Antharwa berniat untuk kembali menguasai Benteng Kalaweji. Namun sekarang Danadyaksa nampak disibukkan oleh Bayantika yang sepertinya bersikeras untuk ikut. Padahal, Danadyaksa ingin mereka beristirahat saja di perkemahan tersebut mengingat apa yang sudah mereka alami sebelumnya. “Jangan memaksakan diri begitu, Bayantika. Bisa-bisa Tarendra memarahiku jika dia tahu aku masih ngotot menggunakan mereka di saat kondisi mereka seperti itu,” jelas Danadyaksa. “Kenapa bawa-bawa Panglima Tarendra? Mereka kan awalnya prajurit di bawah kepemimpinanmu juga,” sanggah Bayantika. “Ya bagus. Kalau begitu suruh mereka tetap di sini untuk menjaga desa ini. Itu perintah dariku,” balas Danadyaksa sedikit ketus, tak mau lagi meladeni sanggahan temannya itu. “Baiklah, Panglima!” sahut Bayantika sedikit menundukkan pandangannya. Menjelang siang, semua prajurit itu pun beranjak pergi menuju Benteng Kalaweji. Mereka membiarkan tenda-tenda di perkem
Baca selengkapnya
186 - Persiapan Untuk Skenario Terburuk
Daiva langsung terdiam, karena dia pun sedikit risih dan takut juga dengan dugaan seperti itu. Dia sadar, menuduh seorang Panglima Perang berkhianat bukanlah hal main-main. Apa lagi jika yang dituduh itu adalah seorang Adji Antharwa, orang yang sudah lama membaktikan diri sejak masa pemerintahan Raja Aryasatya.  “Aku juga tak tahu dasar dari tuduhan ini. Tapi yang melaporkan ini adalah prajurit terakhir yang selamat dari tragedi Benteng Kalaweji itu. Lagi pula, apa Senopati tak merasa aneh?” tutup Daiva memancing rasa curiga dalam diri Bayantika.  Mau tak mau, Bayantika pun mulai memikirkan hal tersebut lebih serius. Bagaimana pun, dia juga merasakan keanehan tersebut.  “Sebenarnya, aku juga agak terkejut saat pertama kali menemukan beliau berada di perkemahan ini. Ceritanya, beliau kabur dari benteng dan seminggu sendirian bertahan di dalam hutan,” balas Bay
Baca selengkapnya
187 - Prajurit Khusus Penyidik
Saat ini, Arifin, Rangkahasa beserta Dharma masih berada di tenda darurat yang berlokasi di bawah tebing di perbatasan desa. Mereka masih beristirahat setelah bergantian berpatroli semalaman. Selebihnya, hanya ada enam prajurit khusus lainnya yang masih bisa diandalkan. Selain itu, ada juga lima orang anggota baru yang dipilih langsung oleh Panglima Tarendra yang datang sehari sebelumnya.  “Aku rasa kita perlu menyusul Panglima Danadyaksa ke Benteng Kalaweji. Tapi empat orang anggota kita tak mungkin bisa ikut saat ini. Kalau kita pergi, harus ada juga yang tinggal untuk menjaga mereka dari serangan dedemit dan para roh jahat di malam hari,” jelas Bayantika.  “Kalau begitu, biar anggota baru ini saja yang menjaga keempat orang itu,” sahut Naleindra mengusulkan.  Namun Bayantika menggelengkan kepala nampak tak begitu yakin dengan usulan tersebut. 
Baca selengkapnya
188 - Jurus Serba Guna
Sedikit agak jauh dari perbatasan desa, di dasar sebuah curug yang tak terlalu tinggi, terdapat sebuah lubuk yang cukup luas di bawahnya. Di sana, Arifin seperti mulai terjebak oleh sifat kekanak-kanakan Dharma. Mereka ribut saling adu kebolehan dalam seni melempar batu, melihat siapa yang paling banyak bisa membuat pantulan di atas permukaan air sungai.   Ide awalnya hanya untuk berendam dan membersihkan diri dari semua darah yang mengering di tubuh dan pakaian mereka. Namun sekarang, hanya Rangakahasa seorang yang sibuk membersihkan pakaian-pakaian kedua orang itu.   Karena saking kesalnya dengan keributan yang mereka ciptakan, Rangkahasa tak sengaja sedikit menyobek celana Dharma.     “Ups!?” gumamnya melongo melihat jahitan dari bagian selangkangan celana Dharma yang sobek olehnya.     Dia pun menyudahinya dan langsung menjemur celana tersebut di atas batu. Begitu juga d
Baca selengkapnya
189 - Kembali Jadi Pengintai
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann
Baca selengkapnya
190 - Sikap Dingin Adji Antharwa
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.  “Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.  “Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.  “Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.  Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.  “Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
151617181920
DMCA.com Protection Status