All Chapters of Ibu, Aku Mau Ayah: Chapter 101 - Chapter 110
140 Chapters
Bab 101. Pertemuan Tak Diharapkan
Adisti tak bisa percaya rasanya melihat pria itu, yang selama ini dia anggap mati. Dia berdiri mematung seolah tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. "Ternyata aku benar. Ini kamu. Adistiku yang manis dan cantik. Jadi, kamu sekarang di Surabaya? Wow, terang saja. Kamu seperti hilang dari peredaran semesta. Senang bertemu, Adisti. Dan kamu ..." Pria itu maju selangkah. "... semakin manis. Apa kamu ga rindu sama Om?" Dada Adisti bergejolak luar biasa. Ini pertemuan yang tak dia harapkan. Tidak pernah sama sekali. "Kamu terpesona? Ga nyangka kita bertemu di sini? Ini juga kejutan buatku, Manisku." Senyum pria itu melebar. Senyum yang susah dijabarkan. Adisti tidak bisa berkata-kata. Dia segera berbalik dan berjalan dengan cepat menjauh. Dia meletakkan mangkuk yang dia pegang di meja, lalu keluar dari ruangan itu. Kamar kecil yang dia tuju. Sepertinya di situasi ini, tempat itu yang paling tepat untuknya bersembunyi. Di bilik paling ujung, Adisti berdiri bersandar pada dinding sambi
Read more
Bab 102. Maafkan, Tapi Saya Cinta Pak Vernon
Adisti sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia mengalihkan kegelisahannya dengan membuka berkas yang dia bawa di dalam folder. Meskipun sebenarnya itu tidak ada gunanya. Beberapa menit berikut, Vernon kembali dan duduk di sisinya. Acara segera berlangsung lagi. "Thank God. Tinggal sesi penutupan. Setelah ini pulang. Fine, kurasa aman." Dalam hati Adisti merasa lega. Hingga acara usai, memang tidak tampak lagi batang hidung Ramon. Vernon mengajak Adisti dan kedua pegawainya meninggalkan ruangan besar itu, terus keluar hotel menuju ke tempat parkir. Mereka masuk ke dalam mobil lalu segera kendaraan Vernon berlalu dari sana. "Bagaimana? Kalian siap beraksi? Tiga minggu lagi expo di buka di Malang. Sangat cukup waktunya kita mengatur semuanya." Vernon berkata sambil tetap memperhatikan jalanan. "Siap, Pak. Saya excited banget." Anton tampak bersemangat. Pembicaraan di antara pria itu berlanjut. Adisti memilih diam, menempelkan tubuh ke belakang, dia pejamkan mata, seolah-olah tidur
Read more
Bab 103. Pembelaan Vernon
Suasana di ruangan itu semakin tegang. Semua mata melihat pada Savitri dan Adisti yang berhadapan. Tatapan Savitri jelas penuh kebencian pada Adisti. Sedang Adisti, dengan hati berdebar tidak karuan, memberanikan diri memandang Savitri. "Kamu dengar baik-baik, ya? Orang itu harus sadar diri di mana tempatnya. Aku peringatkan kamu, jika kamu masih terus mengejar anakku, aku ga akan segan-segan membuat perhitungan denganmu. Camkan itu!" Mata Savitri menyala dengan amarah membara memandang Adisti. Lestia dan Hanny sangat gusar dengan kejadian itu. Mereka ingin melakukan sesuatu, tapi mereka sedang menghadapi ibunda dari pimpinan perusahaan. "Terima kasih, Bu. Saya akan mengingat yang Ibu katakan. Tetapi saya minta maaf, saya tidak mungkin mundur dan melepaskan Pak Vernon." Dengan suara gemetar Adisti menjawab. "Kurang ajar!" Savitri maju dengan tangan terangkat. Dia siap menampar pipi mulus Adisti. Hanny secepat kilat maju dan menghadang Savitri, hingga tangan wanita itu jatuh ke kep
Read more
Bab 104. Bingkisan dari Om Kumis
Duduk berdua berhadapan dengan Vernon. Gemuruh di hati Adisti tak bisa dicegah. Mata bagus dan kuat itu begitu lekat menghujam manik indah bening milik Adisti. "Aku minta maaf untuk kejadian pagi ini di kantor. Aku sangat marah sama Mama. Aku ga nyangka dia bisa berbuat seperti itu. Aku sungguh-sungguh minta maaf," ucap Vernon serius. Pandangan matanya menyiratkan dia sedih bercampur marah. Adisti tersenyum, manis. Dia mengulurkan tangan dan memegang jemari Vernon. Vernon kaget Adisti melakukan itu. Mata Vernon melebar dan makin kuat memandang Adisti. "Mas, aku bisa mengerti mengapa Ibu Savitri berbuat begitu. Dia ibu yang melahirkan dan membesarkan seorang anak yang tampan, cerdas, berjiwa pemimpin, dan penuh tanggung jawab. Tentu dia mau anaknya mendapatkan wanita terbaik. Aku memang ga bisa dibilang orang yang pantas di sisi Mas," kata Adisti. "Kamu bicara apa?" Vernon mengerutkan kening. Dia eratkan genggaman tangannya, seakan mau berkata dia tidak suka dengan pernyataan Adisti
Read more
Bab 105. Surat Tanda Cinta
Tangan Adisti sedikit gemetar saat membaca tulisan Meity. Surat itu tidak panjang, ditulis dengan tangan. Bentuk tulisannya tidak begitu rapi. Jelas, Meity memaksa menuangkan pesan di sana dalam kondisi fisiknya yang lemah. Dengan hati berdetak, Adisti mulai membaca. 'Teruntuk putriku, Anugerah sangat istimewa saat Tuhan mengantarkan kamu di depanku. Membawamu pulang dan ikut menanti kehadiran Cia ke dunia ini, juga berkat tak terhingga buatku. Adisti, terima kasih telah hadir dakam hidupku. Aku merasa begitu berarti sebab bisa mendampingimu hingga saat terakhir aku mengembuskan napasku. Aku memang tidak lagi bersama denganmu dan Cia. Tetapi cintaku tidak akan pernah layu dan usang. Bahagialah, bersemangatlah. Ada saat-saat terbaik menunggu di hari depan. Aku tidak punya apapun untuk aku tinggalkan. Rawatlah rumah kos tempat tinggal kita. Semua berkas dan surat aku serahkan padamu. Ini milikmu. Bukan benda berharga. Hanya kenangan bahwa kita telah menikmati kebersamaan di sana. S
Read more
Bab 106. Dia Bukan Anak Om
Mata Adisti terbelalak lebar. Dadanya seketika bergemuruh. Tangannya terasa dingin dan mulai gemetar. "Om Kumis!" Felicia segera memanggil pria itu. Senyum gadis kecil itu ramah dan ceria. "Hai, masih ingat Om?" Pria berkumis tipis itu sedikit merunduk dan mengusuk kepala Felicia. "Iya. Kan Om yang kasih banyak hadiah buat aku. Aku mau beli es krim. Ini ibuku, Om." Felicia memegang lengan Adisti bermaksud mengenalkan ibunya pada pria itu. "Ibu kamu cantik. Seperti kamu." Pria itu tersenyum lagi. Adisti berbalik, tidak menghiraukan si pria berkumis. Dia bicara pada pelayan toko, menunjuk es krim yang dia pesan, lalu bergeser ke kasir untuk segera membayar. Dia sedikit menarik tangan Felicia agar mengikutinya. Dia dan Felicia harus segera keluar dari toko itu. Adisti merasa ada masalah akan mendekat dengan kedatangan pria itu dalam hidupnya. "Kita pulang sekarang. Oke?" Adisti berkata dengan nada tajam pada Felicia. "Oke," ujar Felicia sedikit bingung. Karena ibunya tidak lagi gem
Read more
Bab 107. Ayah Atau Papa?
"Kak Hanny!" Adisti kesal dengan yang Hanny ucapkan. Situasi itu sangat perlu buat Adisti mendapat pandangan orang lain bagaimana dia harus bersikap. "Adisti, ini bukan hanya masalah kamu dan Cia akhirnya. Pak Vernon harus tahu. Yang paling bagus buat kamu, bilang sama Pak Bos. Jujur. Paham?" Hanny memberikan alasannya. Adisti terdiam. Betulkah? Vernon perlu tahu soal ini? Jangan sampai kedatangan Ramon akan membuat masalah juga untuk hubungannya dengan Vernon. "Aduh, Cantik, Sayangku ..." Hanny melanjutkan karena Adisti tidak bereaksi. "Gini, ya? Kalau dari awal kamu ga mau terbuka, akan jadi ga baik di waktu yang akan datang. Lebih baik terus terang. Percaya aku, deh, Pak Bos tampan kita itu, pasti tahu harus bertindak apa." "Hhmmm ...." Adisti mendesah, resah. "Hei, Cinta, aku harus lanjut kerja. Dengar pesanku, jangan ditunda, segera ambil waktu bicara sama Pak Bos." Hanny sekali lagi berpesan, lalu dia menutup telpon. "Oke. Mau tidak mau, cepat atau lambat Mas Vey akan tahu.
Read more
Bab 108. Vernon dan Ramon
Adisti tersentak. Ramon merayunya? Dengan cepat Adisti menarik tangannya dan memundurkan tubuh agar lebih menjaga jarak dengan Ramon. Ramon tersenyum di ujung bibirnya. Adisti menolak dia. Tapi Ramon tidak terkejut. "Aku tahu, kamu pasti belum bisa memaafkan aku, Cantikku. Aku mengerti, sangat mengerti." Ramon melipat jemarinya, menyatu, lalu menopang dagunya. "Soal keluargaku, ya ... kalau kamu bilang kesalahan, saat itu memang. Tapi kesalahan yang manis, bukan?" Adisti menghela napas. Sangat tidak enak mendengar kata-kata Ramon. Adisti merasa wajah dan telinganya panas. "Sekarang semua sudah berbeda. Istri dan kedua anakku ..." Ramon memandang lebih lekat pada kedua mata Adisti. Sedangkan Adisti membalas tatapan Ramon dengan tajam tanda tidak suka. "... mereka pergi untuk selamanya. Kecelakaan merenggut nyawa mereka." Ada nada sedih terurai dari suara Ramon. Adisti melebarkan matanya. Benarkah itu? Ramon kehilangan keluarganya? "Sudah hampir dua tahun aku sendirian. Dan di saat
Read more
Bab 109. Penolakan Savitri Terjadi Lagi
Hari Sabtu datang. Dengan penuh semangat Vernon menjemput Felicia dan Adisti. Seperti janjinya, Vernon akan mengajak mereka berjalan-jalan. Dia akan buat Felicia sebahagia mungkin. Felicia harus melekat dengannya, sehingga meskipun dia tahu Ramon adalah ayah kandungnya, hati gadis cantik itu tidak akan beralih. Dia akan tetap memilih Vernon. "Sudah siap?" Vernon berdiri di depan pintu, melihat ke ruang tamu. Felicia mengangguk dengan senyum lebar. "Udah. Tunggu Ibu, dikit lagi pasti selesai." "Ibu dandan, ya? Biar cantik, biar Ayah tambah sayang," ucap Vernon. "Haa ... haa .... Ibu sama Ayah pacaran! Kayak yang di sinetron!" Felicia tertawa lepas. Tepat di belakang Felicia muncul Adisti. "Apa? Cia bilang apa?" Adisti kaget juga mendengar celotehan Felicia. "Iya, kan? Aku bener! Haa ... haa ...." Makin keras Felicia tertawa. Vernon ikut ngakak melihat tingkah Felicia. Adisti mesem sambil melirik ke arah Vernon. Perjalanan hari itu dimulai. Vernon membawa Felicia dan Adisti ke a
Read more
Bab 110. Aku Mau Ayah Ini Saja
Mata Virni beralih ke Adisti dan Felicia. Masih tidak percaya rasanya, Adisti sudah punya anak sebesar itu? Siapa sebenarnya Adisti? Dan Vernon begitu akrab dengan gadis kecil yang cantik itu, yang terus saja menggelayut di sisi Vernon. "Oke. Aku mau kita bicara, secepatnya. Aku takut ...." Virni tidak melanjutkan kalimatnya. Dia segera berbalik dan mengejar Savitri yang terdengar memanggilnya lagi. Adisti maju dua langkah dan memegang lengan Vernon. Hatinya mulai pedih dan merasa ciut. "Mas, Mas yakin masih mau lanjut sama aku?" Suara sendu yang terdengar dari kata-kata Adisti. "Tentu saja. Kamu pikir aku akan mundur gara-gara semua ini?" Vernon menggenggam tangan Adisti. Adisti merasa campur aduk di hatinya. Ada keraguan, tapi di sisi lain dia tahu, mendapatkan pria seperti Vernon adalah anugerah tiada tara. Jika dia mau menunggu yang lain, mungkinkah akan ada lagi? "Ayah, kenapa Oma itu marah-marah? Ayah punya salah sama dia?" Felicia menarik ujung baju Vernon. "Sayang, Ayah
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status