Semua Bab Ibu, Aku Mau Ayah: Bab 91 - Bab 100
140 Bab
Bab 91. Kesepakatan
Vernon batal melangkah meninggalkan meja. Dia kembali duduk dan memandang pada Cahyo. "Silakan," kata Vernon. "Kenapa Pak Vernon masih mau peduli padaku?" tanya Cahyo dengan pandangan yang susah digambarkan. Entah dia marah, atau kecewa, mungkin juga rasa tidak nyaman. "Kita sudah lama bekerja bersama. Pak Cahyo bahkan lebih lama bekerja sebelum aku pegang perusahaan yang Papa serahkan. Pak Cahyo berjasa sangat banyak untuk perusahaan dan juga untuk banyak kehidupan. Itu ga mungkin aku pungkiri. Kesalahan yang terjadi, aku ga mau mengungkitnya. Masalahnya, hidup masih berjalan, Pak. "Apa Pak Cahyo ingin mengakhiri semua dengan situasi ini? Bapak siap menghadap Tuhan dengan kondisi kayak gini? Jawaban apa yang Pak Cahyo berikan saat Dia bertanya tentang apa yang Pak Cahyo buat dalam hidup? Bukan bagaimana mengawalinya, tetapi seperti apa mengakhirinya. Maaf, bukan aku mau menghakimi atau apa, tapi ...." "Oke, aku terima. Aku akan ke Bali. Apa yang harus aku siapkan?" Cahyo makin ta
Baca selengkapnya
Bab 92. Aku Berhasil!
Arloji di tangan Adisti menunjukkan pukul sembilan pagi. Satu jam lagi. Ya, satu jam lagi Adisti akan mempertanggungjawabkan penelitian dari karya tulisnya di depan dewan penguji. Ini puncak dari semua usaha akademiknya selama hampir empat tahun. Rasanya begitu menegangkan. Hampir setiap sekian menit Adisti akan melirik ke arah tangan kirinya, sudah berjalan berapa menit waktu berlalu. "Minum kopi dulu, makan gorengan biar tenang. Wajah kayak orang lagi sembunyi dari kejaran tentara di medan perang." Ernita yang ada di sebelah Adisti menyenggol lengan temannya itu. "Aduh, sakit tahu," sahut Adisti. Dia mengusuk lengan kanannya. "Kayaknya kalau ada penyemangat, bagus ini. Gimana caranya, ya?" Ernita mengernyit dan memicingkan mata. Dia mencari ide agar membuat ketegangan Adisti berkurang. Ting! Suara notif masuk di ponsel Adisti. Adisti tidak memperhatikan karena fokus dengan catatan yang ada di tangannya. Ernita yang menengok ke ponsel tak jauh darinya. Dan matanya melebar, wajahn
Baca selengkapnya
Bab 93. Tawa Dikejar Tangis
Adisti dengan cepat melangkah masuk ke kamar Meity. Di dalam ada seorang tenaga medis yang sedang mengurus Meity. Dan ... langkah Adisti terhenti. Tangan dokter wanita itu menarik selimut yang Meity pakai hingga menutupi kepalanya. "Nggak! Tunggu!" teriak Adisti. Dia seperti melompat mendekati ranjang, menarik lagi selimut agar terbuka. Adisti mendorong dokter itu dan mendekat di sisi Meity. "Ibu, Ibu! Ini Disti. Aku berhasil, Bu. Aku selesai sidang. Aku akan jadi sarjana seperti cita-cita Ibu. Ibu, buka mata, Bu! Lihat aku!" Adisti memegang pipi Meity, lalu pindah ke matanya, kembali mengusap pipi Meity dan mengoyang-goyang wajahnya agar Meity mau bangun. "Bu, bangun, Bu! Aku lulus, nilaiku A. Aku dapat nilai terbaik. Ibu harus bangun dan peluk aku! Ibu!!!" Adisti mengguncang-guncang bahu Meity. Tangis Adisti meledak. Tubuhnya sedikit gemetar. Dia memeluk Meity kuat-kuat. Ernita melangkah mendekati Adisti. Dia menyentuh bahu sahabatnya dengan mata yang juga sudah basah. "Dis ...
Baca selengkapnya
Bab 94. Vernon, Pulang!
Ernita memandang Adisti dengan rasa gemas. Andai saja Adisti sedang tidak berduka, Ernita akan langsung getok kepala temannya itu. Atau dia akan tonjok lagi lengannya sampai menjerit. "Hei, ini rumah udah jadi milik kamu, Dis! Ibu Mei angkat kamu anak. Udah pasti yang dia punya buat kamu!" Keras dan tegas kata-kata itu. Sayangnya, itu hanya berkelana di kepala Ernita. "Dis, ga usah mikir itu dulu. Bu Mei juga baru kita makamkan. Tenangkan diri dulu, Oke? Anak-anak kos semua juga sedih. Yang lain dipikir nanti dulu, Dis." Itu yang Ernnita ucapkan. Dia akan tunggu saat yang tepat, ketika Adisti sudah melewati masa duka. "Ya, kamu benar, Er. Kenapa aku seegois itu? Mikir diri sendiri. Anak-anak kos juga mereka sangat kehilangan. Bukan hanya aku. Apalagi yang tinggal di sini sampai mau lulus." Adisti menghela napas. Dia redam semua kemelut di dadanya. Dia harus bisa menenangkan diri seperti yang Ernita katakan. "Jadi, kalau kamu mau istirahat, tidur. Kurasa itu akan baik. Aku temani
Baca selengkapnya
Bab 95. Tidak Menemukan Kesepakatan
Ini yang Vernon tidak mau terjadi. Bukan. Vernon belum siap jika harus menceritakan tentang Adisti dengan situasi ini. Sayangnya, waktu tidak memihak pada Vernon. Dia berjalan semaunya dan tampaknya ingin membuat Vernon harus bersitegang dengan kedua orang tuanya. "Papa, kasih tahu Vernon. Anakmu yang satu ini memang paling senang ribut sama aku." Savitri menoleh pada suaminya. Varen terlihat sedikit pucat. Dia menahan denyutan yang menusuk-nusuk di kepalanya. Seharusnya dia segera tidur, tapi berita Vernon memaksa dia tetap bangun dan mengurus masalah itu. "Pa, percaya sama aku. Adisti wanita yang baik. Dia sangat mengerti aku. Dia pasti bisa mendampingi aku di masa depan." Vernon mencoba memberi pengertian pada Varen. "Berapa lama kamu kenal dia? Bagaimana bisa kamu begitu yakin dia pilihan yang tepat? Lalu, dia tinggal dengan ibu angkat? Di mana orang tuanya? Ada yang tidak jelas dengan latar belakangnya, bukan?" Varen memaksa bicara meski kepalanya makin terasa berat, seperti d
Baca selengkapnya
Bab 96. Menghadapi Cibiran di Sekitar
"Maaf, Pak Vernon, saya tidak tahu harus bicara apa." Akhirnya Cahyo bersuara lagi. "Apa aku salah ngomong, Pak?' ujar Vernon. "Bukan. Sebenarnya, saya malu. Setelah semua yang saya lakukan, Pak Vernon masih peduli seperti ini. Dan, Pak Varen juga ... sesekali masih menghubungi saya, menanyakan kabar. Jujur, saya merasa sangat malu." Nada suara Cahyo lebih berat, seperti agak ragu dia mengucapkannya. "Sungguh? Papa masih komunikasi dengan Pak Cahyo?" Vernon cukup kaget dengan pernyataan itu. "Ya, Pak. Saya janji, di Bali akan jadi tonggak baru hidup saya. Terima kasih mau meyakinkan saya memulai lagi semuanya. Tidak ada kata terlambat. Saya akan lakukan yang terbaik," kata Cahyo dengan rasa haru. "Senang mendengarnya, Pak. Sukses dengan pernikahannya, juga pekerjaan baru di sana. Kita pasti akan bertemu lagi." Vernon tersenyum lega mendengar itu. "Terima kasih sekali lagi," kata Cahyo lagi. Lalu dia menambahkan, "Adisti wanita yang baik. Dia pasti akan bisa mendampingi Pak Vernon
Baca selengkapnya
Bab 97. Just Look At Me, We Will Be Fine
Adisti menoleh cepat ke arah ruangan sebelah. Lestia bahkan sampai keluar ruangan karena teriakan keras Hanny. Dan payahnya teriakan itu dibalas dengan teriakan lainnya. "Kak Hanny jangan sok baik, deh. Udah kemakan sama lirikan sok manja dan wajah melow-nya, tuh! Untung aja dia cerdas, kalau nggak, sudah didepak dari minggu pertama kerja!" Sahutan itu tidak kalah keras dengan suara Hanny. Lestia berjalan cepat menemui para pegawai di sana. Adisti tidak bergerak. Dia memilih diam dan tidak mau ikut ribut. Tapi perasaannya mengatakan semua kericuhan itu karena dirinya. "Kalian ini kenapa?! Pagi-pagi sudah ribut!" seru Lestia dengan nada tegas. Dua orang yang beradu argumen itu tidak ada yang menyahut. Mereka berdiri menatap pada Lestia, lalu saling melirik dengan tatapan sama-sama kesal. "Aku tahu apa yang sedang kalian perdebatkan di sini. Apapun itu, aku tidak mau jadi alasan kalian tidak bisa bekerja sama dengan baik. Kita satu divisi dan satu ruangan. Jadi tolong, bersikap dewa
Baca selengkapnya
Bab 98. Pandangan Tajam Big Big Bos
Vernon memegang tangan Adisti kuat dan melangkah dengan cepat keluar kantor. "Pak, ada apa?" tanya Adisti. Dia penasaran kabar apa yang Vernon barusan dapat dari kakaknya. "Papa masuk rumah sakit. Aku harus ke sana. Mama masih di luar kota," kata Vernon sambil mempercepat menuju mobil di tempat parkir. "Pak, saya ga bisa ikut. Ini urusan keluarga Pak Vernon." Adisti menolak pergi dengan Vernon. Vernon melepas tangan Adisti dan membuka pintu mobil bagian depan, sisi sebelah kursi sopir. "Masuk," perintah Vernon. "Mas, please ...." Adisti menghiba. "Papa akan jadi papa kamu. Kamu harus kenal dia. Kamu harus menunjukkan kamu care dengan yang terjadi." Vernon bicara tegas. Adisti terdiam. Vernon benar. Adisti pun tahu soal itu. Masalahnya Adisti belum diperkenalkan kepada orang tua Vernon. Apakah ini saat yang tepat? "Mas, aku rasa ...." "Masuk, Adisti. Aku harus cepat pergi," sela Vernon. Adisti tidak meneruskan ucapannya. Berdebat tidak ada gunanya. Vernon harus segera berangk
Baca selengkapnya
Bab 99. Kemarahan dan Tuduhan
Varen menatap Adisti seakan ingin menghafal setiap bagian wajah wanita muda di depannya. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, Varen mangamati. "Saya asli dari Semarang, Pak. Saya ke Malang enam tahun yang lalu. Orang tua saya masih di Semarang." Dengan dada berdebar, Adisti mengungkapkan satu sisi hidupnya yang selama ini sudah dia simpan rapat-rapat. "Semarang? Semarang mana?" Varen mengejar. "Pa, ngapain tanya Semarang? Dia udah tinggal di Malang sini. Tanya di Malang tinggal di mana, itu lebih afdol." Vernon menyahut. "Kamu ga usah ikut campur. Aku mau bicara dengan Adistya, bukan kamu." Varen mengalihkan pandangan tajam pada Vernon. Virni yang duduk dan memperhatikan mereka kembali terkikik. Tidak menyangka, ayah dan adiknya bisa jadi lucu begitu tingkahnya gara-gara pacar baru Vernon. "Maaf, Pak, saya Adisti, bukan Adistya. Adistya itu nama ibu saya." Adisti meluruskan sebutan Varen yang salah. "Benarkah? Dia ibumu?" Varen kembali menoleh pada Adisti. "Iya, Pak." Adisti me
Baca selengkapnya
Bab 100. Sampai Kapanpun Aku Hanya Akan Cinta Kamu
Mendengar pertanyaan Adisti, Vernon mengulum senyum di ujung bibirnya. Tangannya meraih jemari Adisti dan memandang dengan lembut pada dua bola mata bening kekasih hatinya. "Sayangku, Matahariku ... Aku mengerti yang kamu rasa. Aku minta maaf, Mama masih belum bisa menerima kamu. Sabar, ya?" Hati Adisti makin tak bisa berdetak normal. Perlakuan Vernon yang begitu manis, membuat dia merasa sangat istimewa. Kalau selama ini dia menilai diri sangat buruk, karena masa lalunya, semua itu luntur. Vernon melihat Adisti dengan hati, melihat utuh, dan menerima apa adanya. Itu sungguh luar biasa. "Tetapi, Mas, hubungan harus direstui orang tua. Jika tidak, ke depan akan terus ada hambatan. Aku ga mau ...." "Sayangku, Matahariku ...." Vernon menyela ucapan Adisti. Setiap Vernon mengucapkan kata-kata romantis, hati Adisti berdesir, dia merasa seperti tokoh utama dalam sebuah sinetron saja. "Percaya padaku. Orang tuaku akhirnya akan mengerti. Mereka perlu waktu mengenal kamu. Oke? Jika mereka
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
89101112
...
14
DMCA.com Protection Status