All Chapters of Ibu, Aku Mau Ayah: Chapter 71 - Chapter 80
140 Chapters
Bab 71. Nenek Sakit
Degupan di dada Adisti semakin kuat. Vernon menghujamkan pandangannya pada mata Adisti. Adisti menjadi kikuk dan gelisah. Kalimat terakhir Vernon sangat tak terduga. Mengapa dia katakan itu? "Adisti ...." Vernon memandang Adisti dengan tatapan makin dalam. Adisti merasa panas dingin berhadapan dengan Vernon seperti itu. "Kamu tidak bisa menemukan motif yang mendasari Pak Cahyo melakukan semua ini padaku?" tanya Vernon. Adisti hanya menggelengkan kecil. Dia mencoba menebak, tapi tidak ingin asal menuduh orang. "Marah, dendam. Dia tidak terima aku memecatnya. Dan dia mencari cara agar aku hancur." Vernon mulai menjelaskan yang dia tahu. "Dia sengaja memata-matai Bu Rima?" tanya Adisti masih tidak yakin. "Apa dia harus turun sendiri? Dia bisa pakai tangan lain melakukannya. Dia terima beres, tujuannya tercapai," jawab Vernon. "Tapi ... ga masuk akal, deh, Pak. Pak Cahyo setega itu?" Pikiran Adisti terus bergelut. "Bapak yakin dari mana foto itu Pak Cahyo yang kirim?" Vernon kemba
Read more
Bab 72. Ungkapan Hati
Vernon maju beberapa langkah mendekat ke sisi ranjang. "Sebaiknya kita bawa ke dokter secepatnya. Ayo, aku bantu. Kita bopong ke mobil." "Iya, Pak. Terima kasih," sahut Lani. Pelan-pelan mereka mengangkat tubuh Meity dan membawa ke mobil. Adisti dan Vina muncul. Adisti sangat cemas melihat kondisi Meity memburuk. Kejadian ini sangat tidak terduga. Meity selama ini baik-baik saja tiba-tiba jatuh sakit. "Ibu, aku boleh ikut?" minta Felicia, saat Adisti sudah ikut masuk di dalam mobil. "Tidak, Sayang. Sudah mulai malam. Cia besok ke sekolah. Cia doakan Nenek di rumah, ya? Nanti tidur ditemani Kak Vina," jawab Adisti. "Oke," ucap Felicia lirih. Vina yang ada di samping Felicia mengusap kepala gadis kecil itu. Mobil Vernon meninggalkan rumah menuju ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, hati Adisti terus menyebut nama Meity dalam doa. Dia sakit Meity tidak seburuk yang Adisti pikirkan. Selama hampir setengah jam, setelah tiab di rumah sakit, dokter menangani Meity. Vernon, Adisti, dan
Read more
Bab 73. Vernon Telah Kembali
Adisti dan Lani berdiri bersebelahan, memandang pada Vernon dan Meity. Meity menghapus air matanya, lalu tersenyum. "Ibu Meity terlalu melow. Dia berterima kasih aku sudah membantunya sampai ke rumah sakit." Vernon dengan cepat memberi jawaban atas pertanyaan Adisti. Meity melirik pada Vernon. Vernon yang sedang memandang Meity, dengan isyarat kepala meminta Meity tidak berkata apapun mengenai apa yang mereka bicarakan. Meity sedikit melebarkan mata, kurang begitu paham dengan yang Vernon maksudkan. "Bu, saya pamit saja. Kalau ada yang perlu saya siapkan, atau apa, saya akan bawakan besok kemari," kata Vernon. "Bapak mau pulang?" tanya Adisti. "Ya, ada yang aku harus siapkan buat besok." Vernon menyalami Meity. Dia sedikit merendah, mendekatkan wajah pada Meity dan berbisik. "Bu, saya belum bicara apapun pada Adisti. Saya akan atur waktu yang paling baik." "Oh, oke," Meity manggut-manggut. Baru dia paham mengapa Vernon tidak menjawab pertanyaan Adisti sebelumnya. "Selamat malam
Read more
Bab 74. Vernon yang Membingungkan
Vernon tersenyum. Ah, anak buahnya merindukan kedatangannya ternyata. Vernon urung masuk ke ruangannya. Dia memilih menuju ke Divisi Marketing dan Promosi. Dia akan menyapa bawahannya dan tentu saja, dia akan melihat Adisti. Dia rindu tatapan dan senyum manis dari wanita cantik yang begitu istimewa untuknya. "Selamat pagi semua!" Vernon menyapa di depan pintu yang terbuka lebar. Semua yang ada di ruangan itu menatap pada Vernon. Arti tatapan mereka bermacam-macam. Mereka bahkan tidak menyapa sapaan Vernon. "Kalian siap bekerja?" Vernon melanjutkan dengan satu pertanyaan. "Pagi, Pak! Ya, siap!" Lestia yang lebih dulu kembali kepada kesadaran dan menjawab. "Aku tidak melihat Hanny dan Adisti. Mereka belum datang?" Vernon mengabsen pegawainya. "Selamat pagi, Pak." Suara manis itu terdengar dari belakang Vernon. Dengan cepat Vernon berbalik. Adisti berdiri lima langkah jaraknya dari Vernon. Dengan jeans putih, blues biru terang, berpadu renda putih, Adisti cantik sekali. Wajahnya ta
Read more
Bab 75. Pertanyaan Hanny
"Masa depan kita akan baik, kita akan jalani sama-sama. Dan, jangan khawatir apapun. Tuhan tetap menyertai. Oke?" Vernon kembali tersenyum. "Iya, Pak," sahut Adisti masih belum juga paham yang Vernon katakan. "Mana kunci motor?" Vernon mengulurkan tangan kanannya. "Eh, ya ... baiklah." Agak ragu, tapi Adisti melakukannya juga. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci motor lalu dia berikan pada Vernon. "Sampai nanti sore, di rumah sakit." Vernon memegang kunci motor Adisti. Adisti berdiri, dengan perasaan masih bingung dia meninggalkan ruangan Vernon. Dia melangkah menuju ruangannya, tapi tiba-tiba ada yang menarik lengannya dan menyeretnya sedikit minggir di belokan lorong. Adisti melihat siapa yang menariknya. "Kak Hanny?" "Kamu ada apa sama Pak Bos?" tanya Hanny. Dia tidak sabar ingin tahu mengapa Adisti bicara berdua. Hanny sedikit bisa mendengar saat Adisti dan Vernon bicara tapi tidak jelas. "Kak, jangan pikiran buruk dulu. Ga ada apa-apa," tukas Adisti. "Kamu b
Read more
Bab 76. Pandang dan Lihat Aku, Matahariku
Hanny mengganti panggilan suara dari Ernita ke video. Dia melotot pada Ernita yang tersenyum lebar. "Hey, orang lagi kerja, kamu bikin rusuh. Mau apa?" Bulatan mata Hanny tidak mengecil. Gadis periang itu bukan takut atau merasa risih, justru tertawa melihat Hanny sok kesal padanya. "Yeee, malah ngakak. Ga pakai ukuran lagi. Yang sopan dikit!" ujar Hanny. "Haa ... haaa ...." Makin keras Ernita tertawa. "Aduh, aduh ... perutku sakit. Ih, serius!" "Aku juga serius. Ini masih jam kantor, Erni," tukas Hanny. Dia pasang wajah galak. Tapi yang ada justru lucu di mata Ernita. "Jadi ya, Kak? Aku tunggu jam enam di depan bioskop. Ini aku langsung pesan tiketnya." Ernita masih mendesak agar Hanny menerima ajakannya. "Aku beneran ga bisa. Bu Meity masuk rumah sakit, aku mau nengok," tegas Hanny menyahut. "Hih, ngarang. Mana ada? Adisti ga bilang apa-apa sama aku!" Suara Ernita meninggi. Dia kaget dengan kabar itu. "Ya, sudah, Ga percaya, terserah. Aku tutup telpon, masih banyak kerjaan,"
Read more
Bab 77. Cinta Itu Buat Kamu
Adisti seperti kaku dan tak bisa bergerak. Bolehkah dia gede rasa demi mendengar sebutan Vernon padanya? "Matahariku ...." Lirih, batin Adisti mengulang yang Vernon ucapkan. "Aku sama terkejutnya denganmu saat mendengar kabar ini dari dokter. Tapi itu kenyataan yang harus dihadapi." Vernon meremas perlahan jari-jari Adisti yang masih dalam genggamannya. "Bukan hal mudah buat Bu Meity melewati perjuangan dengan kanker. Sejauh ini dia tegar. Kamu, yang ada di dekatnya setiap hari, jangan membuat dia kecil hati." Vernon melanjutkan. Adisti tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya campur aduk. Antara sedih karena mendapat kabar tentang kondisi Meity, juga karena Vernon yang makin membuatnya melayang, seakan melambung jauh meninggalkan tanah. "Kita akan mendampingi Bu Meity. Aku janji. Seperti yang aku pernah bilang padamu, aku akan melindungimu. Itu yang akan kulakukan, termasuk pada orang-orang yang dekat denganmu," kata Vernon lagi. Sebelah tangan Vernon bergerak, melepas genggamannya d
Read more
Bab 78. Meyakinkan Hati
Meity membetulkan posisinya. Dia bersandar pada bantal yang agak tinggi. Matanya sayu dan wajahnya lesu meskipun dia berusaha tetap ceria. "Ibu, aku juga ingin bicara sama Ibu. Kenapa Ibu ga bilang kalau Ibu sakit?" Adisti meraih tangan Meity dan menggenggamnya. Tangan Meity sedikit hangat. "Ah, Ibu ga apa-apa, kok. Sakit itu biasa, Disti. Makin tua, tubuh ya memang makin ringkih. Kalau sudah ga bisa menahan berat badan, paling ya ga bisa narik napas lagi," ujar Meity santai, seakan tidak ada beban dalam hatinya. "Ibu, jangan bicara begitu." Mata Adisti seketika berair. "Hei, jangan nangis. Anak Ibu yang cantik." Meity menggerak-gerakkan tangannya yang ada dalam genggaman Meity. "Itu kenyataannya, Dis. Setiap kita akan ada saatnya harus meninggalkan fisik ini, barang fana yang kita sebut tubuh. Lalu kita akan punya tubuh baru dan pindah ke alam yang lebih indah. Kenapa harus khawatir?" "Kalau Ibu ga ada, aku sama Cia gimana?" Adisti merasa hatinya perih. Sakit Meity bukan main-mai
Read more
Bab 79. Aku Mau, Pak, Cinta Sama Bapak
Adisti menghentikan jarinya yang baru mulai membuat catatan di komputer. Dia memandang Hanny. "Kak, jangan marah, ya ...." Adisti sedikit takut mau mengatakan kalau Vernon sudah menyatakan cinta. "Mesti tahu dulu duduk perkara, baru aku bisa putuskan akan marah atau tidak." Hanny menopang dagu dengan tangan kanan. "Pak Vernon minta aku jadian sama dia." Hati-hati Adisti bicara. "Apa?!" Tangan Hanny terjatuh karena kaget, badannya merendah hampir dagunya menyenggol pinggir meja. "Husshhh! Kak, jangan ribut," ucap Adisti. Dia taruh dua telunjuknya di depan bibir. Hanny menegakkan badan lagi. Dia memandang Adisti lurus-lurus. "Lalu?" "Aku belum jawab. Aku masih berpikir. Aku takut salah langkah," jawab Adisti. Hanny memandang makin tajam pada Adisti yang tampak gelisah. Wajahnya sedikit merona. "Adisti, Cantik, Sayangku ...," ujar Hanny. Adisti kembali melihat pada Hanny. "Kok, aku yang degdegan ga karuan, sih? Kan, kamu yang ditembak Pak Bos," ucap Hanny. "Menurut Kak Hanny gi
Read more
Bab 80. Ini Saatnya!
Hari Sabtu. Seperti yang Adisti rencanakan, dia tetap masuk kerja mengganti jam karena ijin mengurus Meity di rumah sakit. Jam delapan kurang lima menit, Adisti sudah sampai di kantor. "Lha, Mbak Adisti kok masuk? Ini Sabtu, Mbak. Ga lupa hari, kan?" Prawira menyambut Adisti dengan cenyum cerah seperti biasa. "Nggak, Pak. Memang mau ngantor, ada kerjaan belum selesai," jawab Adisti. "Kalau gitu, biar saya antar ke atas. Sepi, ga ada orang, Mbak." Prawira menawarkan bantuan. "Oh, ga apa-apa, Pak. Aman, saya berani, kok." Adisti menolak. Senyum manis menghiasi bibir tipisnya. "Mbak, keponakan saya baik, to? Maksud saya, dia itu jadi pimpinan. Apa dia baik sama karyawan?" Prawira membicarakan Ryan, pak manajer keuangan. "Pak Ryan baik, Pak. Pak Prawira juga baik," sahut Adisti. "Mari, Pak." "Silakan, Mbak," ujar Prawira sambil mengacungkan tangan menunjuk arah kantor di depan mereka. Adisti meneruskan langkah. Dia tahu sebenarnya Prawira secara halus berharap Adisti melihat pada R
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status