Lahat ng Kabanata ng TETAPLAH BUTA, SUAMIKU: Kabanata 11 - Kabanata 20
46 Kabanata
Bab 11
Senja mulai datang, langit mulai menggelap. Hariku sebentar lagi akan berakhir, berganti dengan malam di mana waktunya untuk menanamkan mimpi. Kuangkat kepala menghirup udara sebanyak mungkin, untuk menetralkan perasaan yang tidak menentu. Dua tangan menyusup memeluk pinggangku, setelah tadi kudengar hentakkan tongkat yang beradu dengan lantai. "Kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau menutup jendela, tapi malah diam," bisik seorang pria yang membuatku selalu merasa takut. Takut kehilangannya.  "Aku sedang menikmati angin sore di sini. Rasanya ... sangat segar," ucapku seraya mengusap dan menggenggam tangannya yang melingkar indah di perutku.  "Sudah mau maghrib, tidak baik masih membuka pintu. Tutup, Sayang." Aku tidak lagi berucap. Kututup jendela dan gorden berwarna hitam itu. Warna kesukaan suamiku, setelah dia kehilangan penglihatannya. 
Magbasa pa
Bab 12
"Berkhianat. Aku tidak akan memaafkan pengkhianatan apa pun alasannya." Ada sedikit rasa lega saat Mas Arfan mengucapkan kata khianat. Aku tidak melakukan itu, dan itu artinya Mas Arfan akan memaafkanku atas kebohongan ini.  Aku punya kesempatan untuk tetap bersama dia, jika nantinya dia tahu tentangku yang sebenarnya.  Ya, aku masih punya peluang untuk menerima maaf darinya.  "Kenapa, sih kamu bertanya hal itu? Apa kamu melakukan suatu kesalahan, Mentari?"  "A ... em, enggak, Mas. Aku hanya berpikir jika caraku melayani suami, menyiapkan keperluanmu, selalu merasa kurang. Jadi ... aku ingin meminta maaf soal itu," ucapku seraya menahan napas.  Dadaku kembang kempis khawatir jika Mas Arfan akan mencurigaiku. Rasanya hidupku tidak tenang jika terus berdusta.  "Kamu selalu saja berkata seperti itu. Kamu harus t
Magbasa pa
Bab 13
  "Apa itu yang jatuh?" tanya Mas Arfan. Sedang ketiga pasang mata lainnya, hanya melihat tanpa bersuara.  "Kaget, ya sampai sendok pun kamu jatuhkan," ucap Alvin dengan senyum sinisnya.  Aku tidak menjawab. Memilih mengambil sendok yang berada di lantai, lalu membawanya ke dapur. Menyimpannya di wastafel, dan aku mengambil sendok yang baru. "Maaf, tadi tanganku kesemutan," ucapku setelah kembali ke tempat makan. "Tak apa, Sayang. Mungkin tanganmu masih lelah setelah nyetir tadi. Dan soal donor mata, sebaiknya jangan dibicarakan sekarang, Mah. Aku sedang nyaman berada di posisi ini. Biarlah, jika harus buta selamanya. Toh, istriku pun tidak keberatan dengan kebutaan ini." Seperti dihujani air es, hatiku terasa sejuk mendengar jawaban dari Mas Arfan.  "Tapi, Fan. Ini kesempatan, lho." Mama kembali b
Magbasa pa
Bab 14
Dadaku berdetak kencang saat Alvin memanggil dengan nama kecilku.  Mataku tajam melihat ke arahnya. Ingin rasanya aku menelan dia bulat-bulat dan melenyapkan dia beserta dengan ucapannya.  "Kenapa? Tidak suka aku memanggilmu dengan nama itu?" ujarnya lagi seraya menelengkan kepala.  Jika saja punya keberanian, aku ingin melemparkan gelas di tanganku ke kepalanya. "Ada masalah apa kamu denganku, Al? Sepertinya kamu selalu mencari-cari kesalahanku." Kuberanikan diri menatap mata elangnya. Perlahan, aku mendekati dia dan ikut duduk tepat di depannya. Sengaja aku melakukan ini agar dia tidak menyebut nama itu lagi yang nantinya akan terdengar oleh Mas Arfan.  "Mencari salahmu?" Alvin terkekeh. "Tanpa harus aku cari, kesalahanmu sudah nampak dan banyak. Sekarang, katakan padaku, Paramita Mentari alias Meta, alias Tari. Apa tujuanmu datang dan m
Magbasa pa
Bab 15
*** "Awaaass!!" Ciiittt ...!  Bunyi ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar menderit saat mobil sedan berwarna hitam itu berhenti dengan mendadak.  Buru-buru aku menghampiri mobil, membungkukkan badan dan mengambil makhluk kecil yang terkulai lemas di kolong kendaraan roda empat itu.  "Hey!" Aku mengebrak kaca mobil dengan sangat keras.  Emosiku memuncak saat melihat ternyata kaki anak kucing yang kini dalam gendonganku terluka. Dan itu, gara-gara pengendara mobil yang sembrono.  "Buka! Lihat, nih akibat perbuatanmu yang ugal-ugalan!" ujarku seraya mengacungkan anak kucing ke arah mobil yang kacanya sudah terbuka. "Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Saya sedang buru-buru." Seorang pria dengan pakaian rapi dan jas mahalnya keluar dari dalam mobil seraya menangkupkan kedua
Magbasa pa
Bab 16
"Ini kucing dari mana lagi yang kamu bawa, Meta?" tanya Rania, dokter hewan langgananku.  Setelah perdebatan dengan pria sombong tadi, aku memutuskan untuk membawa kucing yang terluka itu ke dokter hewan. Yang kebetulan, ia adalah temanku sendiri. "Dari depan rumah sakit, tadi kakinya terlindas mobil," ucapku seraya mengerucutkan bibir.  "Ya ampun, kasian banget dia. Ini kakinya kayaknya patah, deh Met. Kayaknya dia gak bisa pulang sekarang. Biarkan si Manis ini aku rawat di sini untuk beberapa hari, ya? Biar aku bisa mengontrolnya." Aku tertegun dengan wajah ditekuk saat mendengar penjelasan dari Rania. Seketika itu juga, rasa benciku kembali muncul pada pria tidak bertanggung jawab tadi.  'Aku akan membuat perhitungan padanya,' bisik hatiku penuh dendam.  "Met, malah diem," ujar Rania menyadarkanku. "Iya, deh aku tit
Magbasa pa
Bab 17
"Maafkan kami, tapi ... bayi dan ibunya tidak bisa kami selamatkan." Tubuhku bergetar mendengar ucapan dokter yang menangani seorang ibu dan bayi yang baru saja mengalami kecelakaan.  Aku masih memiliki sisi rasa manusiawi. Setelah melihat supir mobil truk kabur membiarkan mobil beserta orang-orang di dalamnya, aku turun dan melihat keadaan mereka.  Sangat mengenaskan. Seorang bayi terkulai lemas dengan darah yang membasahi pakaiannya. Begitu pun dengan sang ibu yang tidak sedikit pun membuka mata.  Pria sombong yang teramat aku benci pun, tidak lagi menampakkan wajah angkuhnya. Dia terpejam dengan darah di seluruh wajahnya. Dengan tangan bergetar, aku mengambil ponsel dan menghubungi ambulans. Dan di sinilah aku saat ini. Di rumah sakit Permata.  "Terus, bagaimana dengan suaminya, Dok?" tanyaku.  "Pasien selamat, tapi kami masih haru
Magbasa pa
Bab 18
Terpaksa aku harus memperkenalkan diri dengan nama yang awalnya sangat tidak aku sukai. Aku lebih suka dipanggil Meta, yang terdengar lebih anggun dan berkelas. Namun, sekarang aku harus melepaskan nama yang sedari kecil sudah melekat, dan menggantinya dengan nama yang biasa saja.  "Baiklah, aku menerima kamu bekerja di sini. Tapi, hanya untuk mengurus makanku dan kamarku saja. Aku, tidak mau kita saling berkontak fisik." Aku pun menyanggupi syarat darinya. Kemudian mulai bekerja sesuai apa yang dia perintahkan.  Hari pertama, sangat sulit bagiku. Aku harus membiasakan bangun subuh, dan menyiapkan semua keperluan Arfan. Semakin lama aku semakin menikmati dan kami pun semakin akrab.  Aku memposisikan diri sebagai teman yang mendengarkan segala keluh kesah dia. Termasuk, saat dia menceritakan awal kehancuran hidupnya. Harus kehilangan anak serta istri karena kejahilan tangan seseorang ya
Magbasa pa
Bab 19
       "Ck' ck' ck' .... Sungguh sandiwara yang luar biasa. Serapi itu kamu menipu kami, Tari."  Aku menunduk seraya memainkan jari-jariku saat papa melihat dan berucap padaku. Baru saja, kedua orang tua Mas Arfan melihat gambar-gambar diriku yang sebenarnya dari Alvin. Ya, saat ini kami tengah berada di kamar Alvin.  Entah kapan dan dari mana Alvin mendapatkan foto-foto diriku dengan segala kemewahan yang selama ini melekat pada diri seorang Meta.  "Maaf, Pa. Tari terpaksa melakukan ini. Tari hanya ingin menebus kesalahan Tari, Pa." "Dengan cara membohongi kami?"  "Maaf," ucapku seraya menunduk.  "Arfan harus tahu yang sebenarnya," ujar Mama seraya berdiri bersiap untuk keluar dari kamar Alvin. Buru-bur
Magbasa pa
Bab 20
        Setelah menerima telepon dari Mama, aku tidak langsung menceritakan hal tersebut kepada Mas Arfan. Aku menemani dia menghabiskan sarapannya terlebih dahulu, sebelum aku meminta izin untuk pergi ke rumah Mama. Entah apa yang terjadi di sana, hingga aku harus datang seorang diri ke sana.  Mungkinkah ini ada kaitannya denganku dan Mas Arfan? Tapi apa? Aku benar-benar tidak bisa menebak yang terjadi.  "Sudah kenyang?" tanyaku setelah melihat kopi yang tidak tersisa di dalam gelas.  "Sudah." "Mas, aku boleh izin pergi?" Kembali aku bertanya.  "Ke mana?"  "Ke rumah ibu dan ayah. Boleh?"  "Aku ikut." Aku mengembuskan napas kasar seraya menekuk wajah saat Mas Arfan
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status