Lahat ng Kabanata ng TETAPLAH BUTA, SUAMIKU: Kabanata 21 - Kabanata 30
46 Kabanata
Bab 21
          "Bibi, jangan berpikiran buruk tentang kami. Tadi, Alvin bukan sedang mencumbuku, melainkan dia sedang menyakitiku dengan memelintir tanganku. Lihat, tanganku merah karena ulahnya," jelasku seraya memperlihatkan pergelangan tangan yang memerah kepada Bu Siti. Wanita yang kisaran usianya sebaya dengan Mama, ia mengangguk seraya mengambil kembali keranjang belanja yang tadi terlepas dari tangannya.  Kemudian dia masuk ke dalam rumah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.  Detik berikutnya, satu hantaman keras aku hadiahkan pada Alvin yang berdiri tidak jauh dariku.  Dia meringis. Oh, bukan, dia seperti terkekeh mentertawakanku.  "Kenapa? Kurang? Mau kuhajar lagi?" kataku seraya mengepalkan tangan siap untuk aku layangkan padan
Magbasa pa
Bab 22
       'Bukannya tadi Mas Arfan bilang masih di kantor? Kok, Isna bilang melihat Mas Arfan di rumah sakit. Ah, mungkin Isna salah lihat.' [Kamu salah lihat, kali, Is.] Aku membalas pesan dari Isna.  [Masa, sih? Emang sekarang Kakak, sedang bersama Mas Arfan?] Aku mengembuskan napas berat, lalu kembali mengirimkan pesan kepada adikku itu. [Enggak, sih. Kakak sedang di rumah Mama. Sedangkan Mas Arfan, ia sedang di kantor bersama Mama mertuaku. Dia sedang bertemu investor di kantornya,] jelasku. Kemudian langsung centang biru. [Hati-hati, deh, Kak. Kali aja dia sedang bohongin kamu.] Aku tertegun membaca pesan dari Isna. Otakku bekerja keras untuk memikirkan kata-kata dari Isna.  Tidak mungkin Mas Arfan berbohong. Namun, jika benar Mas Arfan
Magbasa pa
Bab 23
       "Suster, apa pasien ruangan ini sudah melakukan operasi?" tanyaku pada seorang wanita yang memakai seragam biru langit.  "Iya sudah. Pasien baru saja selesai melakukan transplantasi kornea mata. Apa Ibu, keluarganya?"  Aku menggelengkan kepala. Bukan tidak ingin mengakui Mas Arfan sebagai suami, tapi aku tidak mau suster itu mengatakan keberadaanku di sini.  Setelah melihat kenyataan yang membuat dadaku sesak, aku memilih pergi meninggalkan ruangan di mana Mas Arfan dirawat.  Aku belum siap untuk bertemu Mas Arfan. Aku juga belum punya kata-kata untuk menjawab semua pertanyaan Mas Arfan nantinya.  Langkahku terasa lambat, kakiku terasa lemah untuk melangkah cepat. Air mata semakin deras membasahi pipi. Waktuku sudah habis untuk tetap menjadi istri dari Arfan
Magbasa pa
Bab 24
            "Mas, kamu—" "Ya, ini aku." Mas Arfan membalikan tubuhku agar menghadap ke arahnya. Kutatap lekat wajah itu, kuulurkan tangan untuk menyentuh kedua mata yang masih berbalut perban.  "Ini kejutannya?" tanyaku lagi. "Iya, Sayang. Ini kejutan untukmu. Aku, sudah melakukan transplantasi kornea mata. Aku akan segera melihat. Sebentar lagi, aku akan bisa menatap wajah cantikmu, Mentari." Senyumku mengembang. Namun, bukan karena kata-kata manis Mas Arfan barusan. Lebih tepatnya, aku bahagia karena Mas Arfan belum bisa melihatku karena matanya yang masih tertutup perban. Aku masih punya kesempatan untuk tinggal dan merasakan kasih sayang suamiku. Aku masih bisa menikmati waktu indah berdua b
Magbasa pa
Bab 25
         "Maksud aku, minggu depan aku mau pergi keluar dari rumah ini." Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat. Ia menyingkirkan kepalaku yang berada di dadanya. Kemudian beringsut duduk. Dan aku masih memperhatikan apa yang akan dia lakukan.  "Kenapa mau pergi dari sini?" tanyanya dengan punggung yang bersandar pada sandaran ranjang. "Mau ninggalin aku?" lanjutnya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaan pertamanya. Melihat wajahnya yang tiba-tiba menjadi murung, seketika aku tertawa terbahak membuat dia semakin mengeratkan kening.  Entah tawa apa ini. Namun, air mataku ikut keluar seiring dengan tawa yang menggema. Bibirku bahagia, tapi hatiku terluka. "Ditanya malah ketawa. Jawab dulu," Mas Arfan hendak menarik tubuhku, tapi
Magbasa pa
Bab 26
          "Betul, Mbak Raya. Bibi tidak bohong!" ujar Bibi lagi membuatku sedikit menegakkan tubuh.  Pembahasan kita kali ini sangatlah serius. Bukan mengenai masalah dapur seperti biasanya. Tapi, masalah pribadi yang aku sendiri tidak mengerti. "Kapan, Bibi melihatnya?" tanyaku.  "Waktu ... aduh, Bibi lupa hari apa, tapi pokoknya sebelum melihat Mbak Tari sama Mas Alvin di depan itu." Aku merenung. Mencari alasan apa yang membuat Alvin menyimpan fotoku. Hingga akhirnya, aku menemukan jawaban atas kecurigaan Bi Siti. "Oh, mungkin karena dia waktu itu mencari-cari jati diri saya, Bi. Makanya dia sengaja menyimpan foto saya," ujarku mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.  Aku sangat yakin jika itu alasan Alvin menyim
Magbasa pa
Bab 27
Aku menggeliat seraya membuka mata. Kulirik jam pada ponsel yang ternyata sudah tengah hari. Bibirku tersenyum mengingat apa yang baru saja kami lewati. Sungguh sangat menguras energi. Namun, sangat kami sukai. Wajah tampan Mas Arfan yang tersenyum bahagia menari-nari di depan mataku. Kesedihanku, ketakutanku sejenak menghilang dan hanya menghadirkan rasa bahagia. Dan kini, suamiku masih terlelap dalam mimpi indahnya.Kugeser tubuhku dengan pelan agar Mas Arfan tidak terganggu dengan pergerakkanku. Pergi ke kamar mandi, mengguyur tubuhku dengan air yang begitu dingin. "Ah, segarnya," ujarku seraya keluar dari kamar mandi. Kulihat Mas Arfan masih terbaring. Sepertinya dia memang sangat kelelahan. Aku tersenyum kecil seraya menatap pria yang tubuhnya hanya terbungkus selimut itu."Ya Tuhan, aku tidak membawa baju ganti." Aku menepuk jidat saat menyadari telah melupakan sesuatu.Buru-buru aku mengambil ponsel dan mengotak-atiknya. Aku memesan beberapa pakaian untukku dan Mas Arfan da
Magbasa pa
Bab 28
"Mas Arfan suamiku .... Maafkan aku. Selama menjadi istrimu, banyak sekali dosa yang aku perbuat padamu. Tidak ada kata selain maaf yang sebesar-besarnya. Dan ... Mas, harus tahu. Kalau aku, sangatlah menyayangi Mas Arfan. Sangat, sangat, sangat," ujarku dengan air mata yang terus keluar. Mendengar suaraku yang bergetar, Mas Arfan langsung memiringkan tubuhnya dan memelukku. Meraba wajahku yang basah. "Tari, kenapa harus menangis? Kita buat rekaman buat seru-seruan, 'kan? Kenapa kamu jadi begini?" Mas Arfan mengusap pipiku. Aku langsung mematikan ponsel, lalu memeluk tubuh suamiku. Aku kembali tersedu di dada Mas Arfan."Mentari.""Maaf, Mas. Maafkan aku," ucapku di sela isak tangisku."Kamu tidak punya salah. Jangan begini, aku bingung jadinya. Apa yang harus aku lakukan?" "Maafkan aku. Cukup dengan memaafkan aku, Mas." Aku masih terus mengulangi kata itu. Mas Arfan mengusap punggungku seraya terus mengecup pucuk kepalaku. "Aku memaafkanku. Sebesar apa pun dosamu, aku sudah mem
Magbasa pa
Bab 29
"Kamu punya otak apa tidak, Mentari! Sudah tahu Arfan harus bolak-balik dibawa ke rumah sakit, tapi malah kamu ajak pergi. Ini jam berapa?!" Di sinilah aku sekarang. Berdiri dengan kepala menunduk saat Mama memarahiku.Setelah kami sampai di rumah, Mama langsung menyuruh Mas Arfan untuk masuk ke kamar. Dan aku, Mama bawa ke kamarnya untuk menerima amarah ibu mertuaku itu. Bagaimana Mama tidak marah, karena kami sampai di rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tadi, perjalanan kami terhambat oleh kemacetan. Alhasil, kami pulang terlambat dan itu yang menyebabkan Mama murka."Maaf, Mah. Tadi di jalan macet," ucapku seraya memilin jari-jariku. "Kamu jangan ajarin anak saya jadi pembangkang sepertimu, Mentari. Pergi dari rumah tanpa izin, pulang semaunya sendiri. Kamu pikir kamu siapa, bisa seenaknya? Ini rumahku, aku yang punya kuasa di sini!" Seraya berkacak pinggang, Mama terus mengeluarkan kemarahannya. Berulang kali aku meminta maaf, tapi sepertinya hati Mama sud
Magbasa pa
Bab 30
Semua orang yang tengah menikmati hidangan mereka, seketika melihat ke arahku yang berdiri seraya menunjuk dinding di mana yang mulanya fotoku sebagai pemilik restoran, kini diganti dengan foto Nadia. "Kamu! Ke mari!" panggilku pada pelayan yang baru saja selesai mengantarkan pesanan. "Di mana Nadia?!" tanyaku. Pelayanan wanita itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk memegang nampan dengan erat. "Di mana Nadia?!" tanyaku lagi semakin emosi. Namun, wanita itu tetap bergeming."Gue di sini, Meta!" Kualihkan pandangan dari pelayan tadi ke arah wanita yang berjalan menghampiriku. Penampilannya sangat berbeda. Dia lebih rapi dengan setelan celana dan blazer bermotif kotak-kotak."Ini apa-apaan, Nad?" tunjukku pada foto dia yang tengah tersenyum bahagia."Seperti yang lo lihat. Itulah gue sekarang.""Maksud, lo?" tanyaku semakin tidak paham."Ikut ke ruangan gue, Meta. Gue tidak mau pembahasan kita mengganggu pengunjung."Aku mengikuti Nadia yang berjalan terlebih dahulu. Tidak sabar ing
Magbasa pa
PREV
12345
DMCA.com Protection Status