All Chapters of TETAPLAH BUTA, SUAMIKU: Chapter 31 - Chapter 40
46 Chapters
Bab 31
“Mas, ini kenapa kamar berantakan sekali?” Mataku memindai sekeliling kamar yang begitu berantakan. Semua barang berserakan di bawah. Cermin meja rias pecah, foto-foto yang awalnya menggantung di dinding, kini memenuhi lantai dengan kondisi yang ... sangat hancur. “Mas, kamu marah sama aku karena aku pergi tidak pamit?” tanyaku. Sedangkan pria yang aku ajak bicara, dia bergeming masih membelakangiku. “Ya Allah, Mas. Maaf, aku tidak maksud buat pergi gitu aja. Tadi, Ayah telepon dan menyuruhku ke rumahnya. Aku—“ “Terus saja bersandiwara, Meta,” ucap Mas Arfan dingin. Sontak saja aku kaget dengan panggilan Mas Arfan padaku. Tubuhku terpaku, mataku membulat dengan tangan yang menutup mulut saat Mas Arfan membalikan badan. Kepala kugelengkan berulang kali hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Di sana, pria yang aku takutkan dapat melihatku, nyatanya sudah benar-benar bisa melihat wujud asliku. Tidak ada lagi perban yang menutup matanya. Aku bisa melihat bulu mata lebat Ma
Read more
Bab 32
Aku mengembuskan napas saat pertanyaanku tidak mendapat jawaban. Mobil sudah mulai melaju, dan aku pasrah ke mana pun Mas Arfan akan membawaku pergi.Kepingan kenangan kebersamaan kami melintas di benakku seperti sebuah film. Tawa kami, canda kami, begitu lepas saat itu. Bahkan kehangatan pria yang berstatuskan suamiku begitu lekat dalam ingatanku.Namun, sekarang semuanya hilang. Jangankan ada canda tawa, bicara pun dia tak mau. Kami seperti orang asing yang tidak saling mengenal.“Mas.”“Diam,” ucapnya dingin.Aku merengut mendengar suaranya yang seperti es. Jangankan untuk menoleh, bersuara pun dia enggan.Lima belas menit perjalanan, Mas Arfan membelokkan mobil ke sebuah perumahan. Namun, aku tidak tahu tujuan dia apa hingga membawaku ke sini. Pasalnya, ini bukan perumahan yang ditinggali keluargaku.“Turun,” titah Mas Arfan.Kini mobil sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah yang nampak bersih dan rapi. Aku turun dari mobil, melihat ke sekeliling rumah bercat warna abu-abu itu
Read more
Bab 33
Satu minggu bersama Mas Arfan dengan sikap barunya, membuatku hidupku layaknya di penjara. Aku dibuat tidak mengenali suamiku sendiri, karena dia yang memberi jarak. Seperti ada tirai penghalang antara aku dan suamiku. Meskipun tipis, tapi menjadi pemisah di antara kita. “Mas, kopinya,” ucapku seraya menyimpan gelas di samping laptop yang tengah ia perhatikan. Setelah matanya kembali melihat, Mas Arfan mulai aktif kembali bekerja. Hari-harinya dia habiskan di depan layar dari sepulang kerja sampai malam datang. “Istirahat dulu, ini sudah larut,” ucapku lagi saat tidak ada respon dari Mas Arfan. “Hmm.” Sudah biasa. Gumaman selalu jadi jawaban dari kebisuan Mas Arfan. Kalau sudah seperti itu, aku bisa apa? Pergi meninggalkan dia seorang diri. Aku pun membiarkan Mas Arfan dengan pekerjaannya. Memilih pergi ke ruang tv melihat acara televisi yang sama sekali tidak bisa menghiburku. Malam semakin larut hingga kurasakan hawa dingin menusuk kulitku. Kueratkan sweater agar ba
Read more
Bab 34
“Mas, tunggu!” Aku mengejar suamiku yang sudah hampir keluar dari pintu.Kutarik kaus bagian belakangnya hingga ia sedikit terjengkang.“Kasar.” Mas Arfan berucap seraya diakhiri decakan. Ia merapikan pakaiannya, lalu melihatku dengan tidak suka.“Maaf. Tapi ... ini harus aku kerjakan sendiri?” tanyaku seraya mengangkat kertas yang tadi dia berikan.“Iya. Teman-temanku akan datang hari ini. Jadi, jangan membuatku malu dengan tidak ada makanan sama sekali di sini. Hidangkan makanan paling enak untuk mereka. Paham?”“Tapi, Mas ....”Belum juga aku menyelesaikan ucapan, Mas Arfan langsung pergi begitu saja tanpa pamit. Jangankan berpamitan, bilang akan pergi ke mana pun juga, tidak dia katakan.Sangat menyebalkan!Aku baca kembali isi tulisan dalam kertas yang aku pegang. Isinya tetap sama, yaitu nama menu makanan yang harus aku masak hari ini.Apakah satu menu?Tidak. Semuanya ada enam menu masakan yang terbilang rumit. Butuh waktu yang lumayan lama untuk menghidangkannya. Terlebih, bah
Read more
Bab 35
“Tidak sopan,” desisku pelan saat melihat wanita berbaju ketat itu memeluk leher suamiku.Bukan hanya Mas Arfan yang terperanjat dengan apa yang dilakukan wanita itu, tapi juga teman-teman Mas Arfan yang langsung berhenti mengunyah dan langsung melihat ke arahku yang mengepalkan tangan dengan wajah yang memanas.“Lisa, ngapain kamu?” tanya Mas Arfan seraya melepaskan tangan wanita itu.“Ih, Mas. Aku ‘kan kangen, Mas. Sudah lama, loh kita tidak berjumpa. Mas, sih diem di rumah orang tua Mas, terus. Jadinya kita jarang ketemu,” ujar wanita itu dengan manjanya.Aku masih diam di tempat mengawasi situasi yang semakin memanas. Satu persatu teman-teman Mas Arfan menyudahi acara makannya. Mungkin mereka merasa malu sendiri melihat tingkah wanita itu yang begitu berani.Sedangkan suamiku, ia berdiri seraya menoleh ke arahku. Entah apa maksudnya, tapi wajahnya begitu merah padam.“Maaf, semuanya, ini namanya Lisa. Dia ... adik dari Almarhumah istriku.”Semuanya manggut-manggut, kecuali aku.Ha
Read more
Bab 36
“Isna!” ujarku seraya berdiri.Keterkejutan pun terlihat dari wajah Mas Arfan dan Lisa. Suamiku sampai memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan dari Isna.“Apa-apaan kamu ini?” ujar Mas Arfan menatap adikku dengan tajam.“Mas Arfan yang apa-apaan! Seenaknya saja mau nikah lagi! Dasar pria tidak tahu terima kasih!” semprot Isna dengan begitu murka.Aku menarik tangan Isna agar menjauh dari suamiku. Adikku itu bukan hanya marah kepada Mas Arfan, tapi juga kepada Lisa. Wanita itu hampir saja terkena amuk Isna kalau saja aku tidak menarik tangannya.“Is, kamu salah paham,” tuturku.“Salah paham bagaimana, Kak? Wanita itu jelas-jelas mengaku sebagai calon istri Mas Arfan. Kok, Kakak malah diam saja, sih? Mana, Kakakku yang selalu berani?” ujar Isna bersungut-sungut.Entah harus mulai dari mana aku menjelaskan kepada Isna. Rasanya sulit untuk aku menenangkan amarah adikku ini. Sudah aku coba untuk menenangkan dia, tapi gagal. Isna semakin brutal dan sampai mengambil gelas berisikan ai
Read more
Bab 37
“Kak Tari.”Usapan lembut dan suara merdu membuatku membuka mata dengan perlahan. Samar kulihat wajah adikku berada tepat di atasku.Semakin aku membuka mata, semakin jelas pula siapa dia. Dan ternyata, memang benar dialah adikku, Isna.“Masih pusing?” tanyanya mengusap keningku.Aku menggeleng pelan. Kulihat sekeliling ruangan yang tidak asing bagiku. Namun, ini bukanlah kamarku di rumah Mas Arfan.Kutajamkan penglihatan seraya mengingat-ingat ruangan ini. Kemudian mataku melebar saat aku sadar jika ini adalah kamarku di rumah Mama.“Isna, kenapa Kakak ada di sini?” tanyaku kaget.“Emm ....”“Jawab, Is! Siapa yang membawaku ke sini?” tanyaku lagi.Gadis dengan wajah yang mirip dengan Mama itu, memegangi tanganku yang ternyata terpasang jarum infus.“Kami yang membawa Kakak pulang. Aku, Mama dan juga Papa.”“Kok, bisa? Terus, Mas Arfan gimana?”“Kak, plis jangan pikirkan dia. Mas Arfan pun tidak sama sekali memikirkan Kakak. Jangankan untuk peduli, Kakak pingsan di rumahnya pun, dia t
Read more
Bab 38
“Papa, ini gimana? Kasihan Tari, Pah,” ujar Mama. Tangannya terus mengusap keningku yang berkeringat.“Bawa ke kamar saja, biarkan dia istirahat. Dia seperti itu karena syok. Nanti pun akan terbiasa. Lebih baik sakit sekali, daripada sakit berkali-kali.”Mama menuruti saran Papa. Dipapahnya aku hingga sampai di kamar Mama. Aku dibaringkan di ranjang, seraya terus terisak.Aku tidak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya berpisah. Terlebih, aku tidak mendengar langsung kata perpisahan itu keluar dari bibir suamiku.“Mah, kenapa Mas Arfan menceraikanku?” tanyaku tanpa melihat lawan bicara. Pandanganku lurus ke depan dengan tatapan kosong.“Papa yang minta, Kak. Papa tidak terima dengan perlakuan Arfan padamu. Namun, tidak ada penolakan sama sekali dari Arfan, saat Papa meminta kamu dikembalikan. Dia memang sudah tidak peduli lagi denganmu.”Aku menarik kaki yang tadinya memanjang, kini ditekuk hingga aku meringkuk seperti anak kecil.“Padahal, Mas Arfan masih menyimpan cinta untuk
Read more
Bab 39
Pria dengan badan tegap yang tak lain adalah Alvin, melambaikan tangan dan hanya dibalas senyum tipis olehku.Tidak ingin lama-lama melihat dia, aku masuk kembali ke dalam kamar. Memilih duduk di depan cermin menatap wajahku sendiri dari pantulan cermin.“Pucat sekali,” tuturku mengusap pipi dan bibir.Kualihkan pandangan pada jejeran make up di atas meja rias. Namun, aku tidak menemukan lipstik yang biasa aku pakai.“Apa aku tidak memiliki lipstik? Ah, tidak mungkin.” Aku terus berbicara sendiri seraya mencari benda kecil itu.Di meja tidak ada, tanganku beralih mencarinya ke laci. Saat laci terbuka, ternyata aku malah menemukan benda pipih yang aku cari-cari.“Oh, ternyata di sini ponselku,” ujarku seraya mengambil benda itu. Aku juga mengambil lipstik dari dalam sana, lalu mengoleskannya sedikit ke bibirku.Aku menghidupkan ponsel dan melihat ternyata banyak pesan di aplikasi hijau. Mataku memicing saat melihat siapa yang mengirimkan pesan tersebut.Mas Arfan. Dialah pengiriman pes
Read more
Bab 40
Aku terhenyak mendengar jawaban dari Alvin.“Apa Vin?” tanyaku untuk memperjelas jawaban yang dia berikan.“Cemburu. Aku cemburu melihatmu dengan Arfan.”Sangat jelas. Dan aku bisa mendengar semua kata perkata yang masuk ke telingaku.Diam, adalah caraku untuk mencerna jawaban yang diberikan Alvin. Aku paham, tapi aku tidak ingin mengambil kesimpulan.Kulihat Alvin begitu lekat menatapku. Tatapannya sangat beda dan tidak seperti biasanya. Aku menundukkan kepala untuk menghindari mata Alvin yang terus menyorotiku.“Maaf, Tari. Mungkin ini terlalu lancang. Tapi, kamu harus tahu satu hal, jika aku menyukaimu. Bahkan, bisa dikatakan aku mencintaimu.”Dadaku berdetak cepat saat Alvin kembali berucap. Aku meneguk ludahku dengan sulit, tidak menyangka dengan pengakuan yang dia lontarkan.“Kamu jangan bercanda, Vin. Tidak lucu. Aku sedang berduka,” ujarku seraya tertawa sumbang.“Tidak, Tari. Aku tidak sedang becanda. Ini serius. Kamu harus tahu, aku menyukaimu sejak dulu. Sejak pertama kamu
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status