All Chapters of Benih Siapa di Rahim Istriku?: Chapter 41 - Chapter 50
62 Chapters
Part 40
Aku menangis tergugu sambil menatap Safaras yang terus saja menangis. Bingung, pusing, merasa menjadi seorang ibu yang gagal karena hanya memberikan air susu ibu saja aku tidak bisa.“Ya Allah, Ran. Sayang. Kamu kenapa?” Bunda berjalan tergopoh menghampiri.“Bawa Faras keluar, Bun. Dia nangis terus. Berisik!” titahku kesal.“Sini sama Eyang Uti dulu yuk!” Bunda mengangkat putraku dan membawanya keluar dari kamar.Aku duduk memeluk lutut di atas tempat tidur, sambil terus membiarkan air mata ini mengalir deras tanpa berusaha menghapusnya. Siapa tahu dengan menangis beban mental ini akan berkurang dan rasa sesak yang mengimpit dada segera menghilang.“Assalamualaikum, Ran!”Aku hanya menjawab salam tersebut dari dalam hati. Dokter Kayla menghampiri dan segera duduk di tepi ranjang dengan posisi berhadap-hadapan denganku.“Kamu kenapa? Ada masalah?” Dengan intonasi sangat lembut dia bertanya.“Ran, kalau kamu sedang ada masalah, jangan sungkan curhat sama Kakak. Biar beban kamu sedikit b
Read more
Part 41
“Jangan melamun, Ran.”Aku mencoba menarik kedua ujung bibir.“Ran, air mandi Faras sudah Bunda siapin. Yuk! Kita mandiin dedek. Mau kamu yang mandiin atau Bunda?” Bunda menghampiri dan mengambil Safaras dari pangkuanku.“Aku saja, aku bisa, kok!”“Ya sudah. Ayo! Nak Hamzah ngobrol sama Om dulu ya. Tante mau bantuin Rania mandiin anaknya.”“Iya, Tante.”Aku mengekor di belakang Bunda tanpa berucap sepatah kata pun.Setelah sampai di kamar mandi, aku lihat Bunda membuka baju Faras, menyerahkan bayi itu kepadaku dan mengajariku cara memandikannya. Biasanya, dia selalu melarangku untuk melakukan pekerjaan tersebut, seolah aku memang tidak bisa mengurus anakku sendiri dan membuat diri ini merasa semakin tidak berguna.“Siram kepalanya hati-hati ya, sayang,” nasihat Bunda.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sebab entah mengapa mulut ini seakan terkunci dan sulit sekali untuk berbicara.“Ini handuknya!” Wanita berdaster merah muda itu menyodorkan sebuah handuk kecil dan menyuruhku s
Read more
Part 42
Aku lihat mata Rafika sudah basah. Banyak sekali bekas cakaran di wajah cantiknya, juga bibir seksinya sudah mengeluarkan darah.“Ran, sayang. Ya Allah. Kamu yang sabar. Istigfar, Rania. Istigfar!” Kak Hamzah mencoba mengangkat tubuhku yang ternyata sudah duduk di atas perut mantan adik ipar.Entah setan apa yang merasuki sehingga mempunyai keberanian melawan Rafika, bahkan berani menyakiti fisiknya hingga hampir semua pengunjung menyemut melihat adegan anarkis yang tengah aku lakukan. Mungkin setelah ini akan viral karena banyak pengunjung yang sepertinya mengabadikan kejadian itu dan pasti akan mengunggahnya di sosial media.“Dengar ya, Fika. Safaras itu bukan anak haram. Dia itu anak kakak kamu, keponakan kamu sendiri. Dan aku, bukan pelacur seperti kamu!” Menunjuk wajah Rafika yang sudah terlihat begitu berantakan.Perempuan berambut merah itu segera beranjak dan hampir saja menarik hijabku. Akan tetapi Kak Hamzah segera memegangi tangan Rafika seraya menatap menghunus mata dengan
Read more
Part 43
“Ayo, silakan masuk, Rania. Sini Farasnya biar Tante gendong. Kangen Jiddah nggak ketemu Faras tiga hari!” Dengan senyum terus terkembang ibunya Kak Hamzah mengambil Safaras dari gendonganku dan membawanya masuk ke dalam ruang keluarga.Ragu. Aku berjalan mengekor di belakang Kak Hamzah, duduk di sebelah Tante Nafsiah yang sedang asyik menimang-nimang Faras layaknya cucu sendiri.Tidak lama kemudian Om Beni pulang dari kantor. Aku menunduk malu saat ayah Kak Hamzah menatapku, merasa tidak percaya diri bertamu di rumah ini karena dulu pernah menolak Kak Hamzah ketika masih gadis. Sekarang, ah, aku tidak tahu ataukah harus menerima dia atau menolaknya kembali.“Kapan kamu akan menghalalkan Rania, Zah?” Aku terkesiap mendengar pertanyaan Om Beni kepada anaknya. Terbuat dari apa hati keluarga ini, sehingga mau menerimaku dengan kedua tangan terbuka. Padahal statusku saat ini adalah seorang janda beranak satu.“Kan enak kalau begini. Pulang kerja ada cucu menyambut, rasanya capek di badan
Read more
Part 44
Aku mencebik bibir mendengar Ibu mengaku-ngaku kalau Safaras adalah cucunya.“Dari dulu ke mana saja, Bu. Kenapa baru sekarang mengakui kalau Faras itu cucu Ibu. Bukankah Ibu yang sudah menentang mati-matian dan mengatakan kalau Faras itu bukan anak Mas Azis? Sekarang, Ibu malah mengaku-ngaku kalau dia cucu Ibu. Tapi saya paham banget kok maksud Ibu itu apa. Paling nanti ujung-ujungnya Ibu meminta sejumlah uang sama keluarga aku. Ibu ‘kan mata duitan!” Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku bisa mengatakan semua itu kepada mantan mertua.“Kamu ngomong apa, Rania. Dasar wanita tidak punya akhlak. Songong kamu sama orang tua!” sungut Ibu seperti orang sedang kebakaran jenggot.“Memangnya kenyataannya seperti itu ‘kan? Yang ada di pikiran Ibu itu hanya ada uang dan uang. Dan soal masalah aku sama Rafika, saya tidak takut kalau Ibu dan Fika melaporkan saya ke polisi. Banyak saksi di sana yang melihat, siapa yang terlebih dahulu memulai keributan saat itu!”“Pokoknya saya tidak mau ta
Read more
Part 45
“Iya. Aku Azis. Suami kamu.”“Maaf, Mas. Kamu bukan lagi suami aku, tapi mantan. Karena kamu sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku!” ralatku.“Iya. Aku tahu. Tapi aku ingin kembali lagi sama kamu, Rania. Aku dan Hamzah juga sudah mempunyai kesepakatan, kalau dia akan menikahi kamu dan setelah bisa menyatu dengan kamu, dia akan segera menceraikan kamu lalu mengembalikannya kepadaku. Hamzah itu calon muhalil kita, Rania. Jadi jangan terbawa perasaan jika dia terlihat baik di depan kamu.”Apa? Kak Hamzah mendekati aku hanya karena ingin menjadi seorang muhalil? Allahu Akbar...Aku pikir dia serius ingin meminangku karena cinta. Ternyata, semua ini hanya akal-akalan mereka berdua. Untung saja Mas Azis memberi tahuku sebelum kami melangkah lebih jauh lagi. Kalau tidak, aku akan merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya.“Terima kasih informasinya. Aku permisi dulu, Assalamualaikum!”“Rania!” Mas Azis mencekal pergelangan tangan ini sehingga membuat diriku terkaget sebab kami bukan lagi suam
Read more
Part 46
Cukup lama kami duduk saling diam dengan jarak lebih dari dua meter. Aku sengaja menjaga jarak cukup jauh dengan batu besar di tangan sebagai senjata jika tiba-tiba Mas Azis kembali macam-macam. Hingga akhirnya sebuah mobil milik lelaki yang memberi sejuta harapan namun telah pupus setelah mengetahui maksudnya mendekatiku menepi, dan dia keluar dari kendaraan roda empat tersebut.“Kamu kenapa, Ran? Kamu baik-baik saja kan? Apa Azis menyakiti kamu?” Kak Hamzah berjalan setengah berlari menghampiri. Gurat khawatir terpancar jelas di wajahnya. Andai rasa itu benar-benar tulus, pasti bahagia sekali rasanya hati ini. Sayang. Semua itu hanya sandiwara belaka.“Apa yang udah elo lakuin sama calon istri gue!” Laki-laki bertubuh tegap itu menarik kerah baju mantan suami, menghunus mata Mas Azis dengan tatapannya dan mengangkat kepalan hendak meninju wajah ayah biologisnya Safaras.Silakan kalian bersandiwara sesuka hati kalian. Aku muak dengan kalian berdua yang begitu jago akting.Melangkah m
Read more
Part 47
#AzisMenjambak rambut frustrasi, menyesal karena sudah bertindak gegabah dan hampir saja melakukan tindakan asusila terhadap Rania. Pasti saat ini dia tambah membenci diriku dan akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan dia kembali.Bodoh! Aku memang sangat bodoh. Terlalu sembrono dalam bertindak sehingga membuat wanita yang paling dicintai semakin menjauh saja.Arghh!Memukul-mukul kemudi hingga tangan ini memerah juga berdenyut nyeri, tapi mungkin rasa ini tidak seberapa dibandingkan apa yang sudah aku lakukan terhadap mantan istri.Ah, semoga saja dia mempercayai ucapanku kalau Hamzah mendekati dia hanya karena ingin menjadi muhalilku saja, supaya mereka tidak jadi menikah. Apa yang akan terjadi dengan hatiku jika Rania dan Hamzah sampai bersatu. Pasti rasanya sakit sekali.Jangan persatukan mereka, Tuhan. Aku mohon. Biarkan Rania menjadi jodohku dan izinkan aku menebus semua kesalahan yang telah aku perbuat.Dering ponsel dalam saku celana membuatku berjingkat kaget. Ada panggilan
Read more
Part 48
“Kenapa diam, Azis? Apa benar kamu sudah melecehkan Rania?” Ibu kembali bertanya dengan pindaian yang benar-benar tidak bisa aku mengerti. Mungkinkah dia masih mengkhawatirkan diriku?“Iya!” Aku menjawab singkat. Tidak mau berbohong ataupun menutupi apa yang telah terjadi.“Astaga, Azis!”“Sudahlah, Bu. Biar aku hadapi aparat penegak hukum itu sendiri.” Mengayunkan langkah meninggalkan Ibu, dan ternyata dua orang petugas berseragam sudah berada di ruang tamu.Setelah berbasa-basi sebentar. Mereka segera mengapitku keluar dan membawa masuk ke dalam mobil patroli seperti seorang narapidana. Sungguh. Malu rasanya ketika beberapa pasang mata melihatku dengan tatapan mencemooh. Pasti setelah ini akan ada gosip membahana di kompleks tempat tinggalku.Sesampainya di sebuah gedung berlantai dua. Aku di bawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Semua pertanyaan yang diajukan penyidik aku jawab dengan anggukan serta gelengan. Tidak mau mengelak dengan semua yang sudah kulakukan terhadap mantan
Read more
Part 49
Membuka mata perlahan lalu menutupnya kembali menyesuaikan cahaya yang masuk nan menyilaukan. Netraku terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan berbau khas obat-obatan, mencoba untuk duduk akan tetapi kaki ini terasa kaku serta ngilu luar biasa.‘Astagfirullah, ada apa dengan kakiku?’ Membatin sendiri dalam hati, mencoba terus menggerakkan kaki ini.Tidak lama kemudian seorang perawat dengan wajah super jutek masuk untuk memeriksa cairan intravena yang menggantung di tiang infus. Dia sama sekali tidak menyapa diriku, apalagi menerbitkan sedikit senyuman. Wajah suster tersebut terlihat masam. Dia juga tidak menunjukkan keramahan seperti ketika berada di rumah sakit lainnya.Apa karena aku seorang narapidana sehingga mendapatkan perlakuan seperti ini?Menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, memberi rongga dada yang terasa sesak seperti terimpit benda berat, ditambah lagi ketika melihat luka lebam bekas patukan ular yang terlihat sudah ungu kehitaman. Merasa ngeri
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status