Aku mencebik bibir mendengar Ibu mengaku-ngaku kalau Safaras adalah cucunya.“Dari dulu ke mana saja, Bu. Kenapa baru sekarang mengakui kalau Faras itu cucu Ibu. Bukankah Ibu yang sudah menentang mati-matian dan mengatakan kalau Faras itu bukan anak Mas Azis? Sekarang, Ibu malah mengaku-ngaku kalau dia cucu Ibu. Tapi saya paham banget kok maksud Ibu itu apa. Paling nanti ujung-ujungnya Ibu meminta sejumlah uang sama keluarga aku. Ibu ‘kan mata duitan!” Entah mendapatkan keberanian dari mana, aku bisa mengatakan semua itu kepada mantan mertua.“Kamu ngomong apa, Rania. Dasar wanita tidak punya akhlak. Songong kamu sama orang tua!” sungut Ibu seperti orang sedang kebakaran jenggot.“Memangnya kenyataannya seperti itu ‘kan? Yang ada di pikiran Ibu itu hanya ada uang dan uang. Dan soal masalah aku sama Rafika, saya tidak takut kalau Ibu dan Fika melaporkan saya ke polisi. Banyak saksi di sana yang melihat, siapa yang terlebih dahulu memulai keributan saat itu!”“Pokoknya saya tidak mau ta
“Iya. Aku Azis. Suami kamu.”“Maaf, Mas. Kamu bukan lagi suami aku, tapi mantan. Karena kamu sudah menjatuhkan talak tiga kepadaku!” ralatku.“Iya. Aku tahu. Tapi aku ingin kembali lagi sama kamu, Rania. Aku dan Hamzah juga sudah mempunyai kesepakatan, kalau dia akan menikahi kamu dan setelah bisa menyatu dengan kamu, dia akan segera menceraikan kamu lalu mengembalikannya kepadaku. Hamzah itu calon muhalil kita, Rania. Jadi jangan terbawa perasaan jika dia terlihat baik di depan kamu.”Apa? Kak Hamzah mendekati aku hanya karena ingin menjadi seorang muhalil? Allahu Akbar...Aku pikir dia serius ingin meminangku karena cinta. Ternyata, semua ini hanya akal-akalan mereka berdua. Untung saja Mas Azis memberi tahuku sebelum kami melangkah lebih jauh lagi. Kalau tidak, aku akan merasakan kecewa untuk yang kedua kalinya.“Terima kasih informasinya. Aku permisi dulu, Assalamualaikum!”“Rania!” Mas Azis mencekal pergelangan tangan ini sehingga membuat diriku terkaget sebab kami bukan lagi suam
Cukup lama kami duduk saling diam dengan jarak lebih dari dua meter. Aku sengaja menjaga jarak cukup jauh dengan batu besar di tangan sebagai senjata jika tiba-tiba Mas Azis kembali macam-macam. Hingga akhirnya sebuah mobil milik lelaki yang memberi sejuta harapan namun telah pupus setelah mengetahui maksudnya mendekatiku menepi, dan dia keluar dari kendaraan roda empat tersebut.“Kamu kenapa, Ran? Kamu baik-baik saja kan? Apa Azis menyakiti kamu?” Kak Hamzah berjalan setengah berlari menghampiri. Gurat khawatir terpancar jelas di wajahnya. Andai rasa itu benar-benar tulus, pasti bahagia sekali rasanya hati ini. Sayang. Semua itu hanya sandiwara belaka.“Apa yang udah elo lakuin sama calon istri gue!” Laki-laki bertubuh tegap itu menarik kerah baju mantan suami, menghunus mata Mas Azis dengan tatapannya dan mengangkat kepalan hendak meninju wajah ayah biologisnya Safaras.Silakan kalian bersandiwara sesuka hati kalian. Aku muak dengan kalian berdua yang begitu jago akting.Melangkah m
#AzisMenjambak rambut frustrasi, menyesal karena sudah bertindak gegabah dan hampir saja melakukan tindakan asusila terhadap Rania. Pasti saat ini dia tambah membenci diriku dan akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan dia kembali.Bodoh! Aku memang sangat bodoh. Terlalu sembrono dalam bertindak sehingga membuat wanita yang paling dicintai semakin menjauh saja.Arghh!Memukul-mukul kemudi hingga tangan ini memerah juga berdenyut nyeri, tapi mungkin rasa ini tidak seberapa dibandingkan apa yang sudah aku lakukan terhadap mantan istri.Ah, semoga saja dia mempercayai ucapanku kalau Hamzah mendekati dia hanya karena ingin menjadi muhalilku saja, supaya mereka tidak jadi menikah. Apa yang akan terjadi dengan hatiku jika Rania dan Hamzah sampai bersatu. Pasti rasanya sakit sekali.Jangan persatukan mereka, Tuhan. Aku mohon. Biarkan Rania menjadi jodohku dan izinkan aku menebus semua kesalahan yang telah aku perbuat.Dering ponsel dalam saku celana membuatku berjingkat kaget. Ada panggilan
“Kenapa diam, Azis? Apa benar kamu sudah melecehkan Rania?” Ibu kembali bertanya dengan pindaian yang benar-benar tidak bisa aku mengerti. Mungkinkah dia masih mengkhawatirkan diriku?“Iya!” Aku menjawab singkat. Tidak mau berbohong ataupun menutupi apa yang telah terjadi.“Astaga, Azis!”“Sudahlah, Bu. Biar aku hadapi aparat penegak hukum itu sendiri.” Mengayunkan langkah meninggalkan Ibu, dan ternyata dua orang petugas berseragam sudah berada di ruang tamu.Setelah berbasa-basi sebentar. Mereka segera mengapitku keluar dan membawa masuk ke dalam mobil patroli seperti seorang narapidana. Sungguh. Malu rasanya ketika beberapa pasang mata melihatku dengan tatapan mencemooh. Pasti setelah ini akan ada gosip membahana di kompleks tempat tinggalku.Sesampainya di sebuah gedung berlantai dua. Aku di bawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Semua pertanyaan yang diajukan penyidik aku jawab dengan anggukan serta gelengan. Tidak mau mengelak dengan semua yang sudah kulakukan terhadap mantan
Membuka mata perlahan lalu menutupnya kembali menyesuaikan cahaya yang masuk nan menyilaukan. Netraku terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan berbau khas obat-obatan, mencoba untuk duduk akan tetapi kaki ini terasa kaku serta ngilu luar biasa.‘Astagfirullah, ada apa dengan kakiku?’ Membatin sendiri dalam hati, mencoba terus menggerakkan kaki ini.Tidak lama kemudian seorang perawat dengan wajah super jutek masuk untuk memeriksa cairan intravena yang menggantung di tiang infus. Dia sama sekali tidak menyapa diriku, apalagi menerbitkan sedikit senyuman. Wajah suster tersebut terlihat masam. Dia juga tidak menunjukkan keramahan seperti ketika berada di rumah sakit lainnya.Apa karena aku seorang narapidana sehingga mendapatkan perlakuan seperti ini?Menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, memberi rongga dada yang terasa sesak seperti terimpit benda berat, ditambah lagi ketika melihat luka lebam bekas patukan ular yang terlihat sudah ungu kehitaman. Merasa ngeri
#RaniaHari ini sidang pertamaku digelar. Kak Hamzah selalu setia menemani, tidak peduli dengan cacian serta makian yang terlontar dari Ibu ketika kami saling berpapasan di depan gedung pengadilan agama. Dia hanya memberi isyarat supaya aku tenang, tidak terpancing emosi apalagi sampai berbuat kasar seperti ketika di pusat perbelanjaan tempo hari.“Heh, Rania.” Ibu menarik kasar lenganku ketika aku melewatinya.“Sekarang, kamu cabut tuntutan kamu terhadap Azis. Timbang mau dip*rkosa doang aja pake dikasusin segala. Lagian ‘kan si Azis belum sampai melakukan apa-apa sama kamu. Nggak usah berlebihan seperti itulah. Saya tahu kok, sebenarnya kamu juga pasti mau jika diapa-apakan oleh anak saya!” katanya sambil memasang wajah congkak.Aku menepis kasar tangan Ibu.Heran. Kok ada ya wanita yang mempunyai pikiran seperti itu ya?“Saya tidak akan mencabut tuntutan saya, Bu. Mas Azis harus menerima hukuman atas perbuatannya. Memangnya Ibu mau kalau anak Ibu ada yang melecehkan dan laki-laki y
“Kamu mau ke mana, Ran?” tanya Kak Hamzah ketika melihatku melepas sabuk pengaman.“Aku pengen liat keadaan Fika, Kak. Soalnya biar bagaimanapun, dia pernah menjadi bagian dari keluarga aku,” jawabku seraya membuka pintu mobil.Ragu-ragu mengayunkan langkah menuju orang-orang yang sedang menyemut, membelah kerumunan dan aku lihat Rafika sudah terbujur dengan kondisi yang cukup parah.Ekor mata wanita berambut bergelombang itu melirik ke arahku, seperti memberi isyarat supaya aku segera menolongnya. Aku lihat air mata juga berbondong-bondong merebak dari balik kelopak mantan adik ipar, bercampur dengan cairan berwarna merah berbau anyir yang membuatku hampir pingsan saking banyaknya darah yang berceceran di aspal.“Kita harus segera bawa Fika ke rumah sakit, Kak. Kasihan dia!” ujarku sembari menggenggam jemari adik bungsu Mas Azis yang sudah kian melemah.“Tapi bagaimana caranya, Ran. Mobil Kakak ada di belakang. Terjebak macet. Nggak mungkin Kakak bisa keluar dari kemacetan dan membaw