Lahat ng Kabanata ng Suamiku yang dari Desa Ternyata Kaya Raya : Kabanata 21 - Kabanata 30
123 Kabanata
Kesepakatan
"Kami sadar atas kesalahan kami dulu, makanya kami juga minta maaf akan itu, suamimu 'kan orang baik dan bijaksana, pasti mau memaafkan kami, " ujar mas Bima percaya diri. Sudah ku duga, pasti kebaikan suamiku benar-benar dimanfaatkan oleh mereka. Dasar muka tembok. Ku lihat lagi wajah suamiku yang duduk di sebelahku ini. Mendadak jatungku berdegup kencang menunggu jawaban apa yang akan ia berikan. Ku harap suamiku ini mengambil keputusan yang tepat. "Kami bisa bantu tapi bukan meminjamkan uang melainkan sebuah kesepakatan, " kata mas Umair. Aku mengernyitkan dahiku mendengar jawaban mas Umair, apa maksudnya sebuah kesempatan? Memberikan pinjaman pada manusia model mereka saja aku tak sudi, apalagi ini, mengajak mereka untuk bersepakat. Tapi, kenapa tiba-tiba mas Umair mengajukan kesepakatan untuk membantu mereka? Biasanya mas Umair memberikan apa yang mereka inginkan secara cuma-cuma. Apa suamiku ini sudah mulai itung-itungan dengan mereka? "Kesepakatan apa Mas? Tolonglah, jang
Magbasa pa
Rental Mobil
Aku dan mas Umair kompak memandangi mobil di hadapan kami. Mobil dari mas Bima yang dibeli mas Umair atas tawarannya untuk membantu mas Bima guna dijadikan modal usahanya. Ku lihat wajah serius suamiku, dari apa yang ku lihat, ia tampak bingung. Aku sendiri juga tak tahu akan diapakan mobil tersebut, karena sejak tadi malam mas Umair tak memberitahukanku sama sekali. "Tuh, mau diapain mobilnya?" kataku dengan wajah masam lalu mendudukkan diri ke kursi di dekat kami. Sebenarnya masih ada rasa sedikit kesal karena keputusan mas Umair kali ini menurutku tidak tepat. Ku pikir masih ada cara lain untuk membantu mas Bima tanpa membeli mobilnya, karena kami sebelumnya sudah mengeluarkan uang banyak untuk membeli mobil. Memang suamiku bisa dikatakan saat ini tidak kekurangan uang, tapi dengan pengeluaran yang berjumlah besar dalam jarak dekat, bukankah itu pemborosan? Duh, kenapa suamiku ini? Apa ia ingin terlihat kaya di depan keluarga mama. Setiap kali ada masalah yang berkaitan dengan
Magbasa pa
Mematikan Lampu
Dalam hati pun sebenarnya ingin menangis karena keputusan mas Umair, namun apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. 'Kenapa dijual Mas? Ku pikir kamu mau nyewain mobil tersebut lewat si pengusaha rental itu,' umpatku dalam hati. "Sini sini sini." Mas Umair menarik paksa tanganku setelah aku selesi meletakkan gelas-gelas di rak. Ia medekapku tanpa mempedulikan wajah masam dan tubuhku yang tak menerima pelukannya. Kembali ia mengusap rambutku dengan lembut. "Mas gak jual mobil itu, Mas hanya menitipkan pada Zaid untuk bisnis rentalnya, dengan begitu Mas juga akan mendapatkan keuntungan dari mobil jika ada yang menyewanya." Mas Umair berbicara tanpa ku pinta. Ku hela nafasku dalam pelukannya. Hatiku yang tadinya kesal, kini berubah menjadi trenyuh karena perkataannya barusan. Lagi lagi aku salah menduga tentang suamiku. Aku terlalu gegabah dengan setiap ucapannya. Aku salah, dan aku menyadarinya. "Jangan marah lagi ya, Mas 'kan sudah bilang kalau Mas sudah memikirkan kenapa Mas mau m
Magbasa pa
Sikap Rima
Mendadak jantungku berdegup kencang menunggu langkah selanjutnya yang akan dilakukan mas Umair. Tetapi mas Umair malah membuka laci nakas, tampaknya ia sedang mencari sesuatu yang aku tak tahu apa itu. Duh, makin deg-degan saja. Mas Umair lalu mengambil ponselnya dan diarahkan ke dalam laci nakas. "Alhamdulillah, ketemu." Mas Umair mengeluarkan sebuah lampu dari dalam nakas. Astaga, suamiku bikin deg-degan saja. Ku pikir ia akan melakukan itu, ternyata aku salah sangka. Tapi, kalau pun melakukan itu aku tak masalah, karena selelah apapun diriku, sebagai istri wajib bagiku untuk taat padanya selama dalam kebaikan yang diatur agama. Setelah mengambil lampu cadangan, lalu mas Umair segera mengganti lampu sebelumnya. "Yang tadi udah mulai redup, Mas gak bisa tidur kalau kayak gitu," kata mas Umair setelah menyelesaikan kegiatannya mengganti lampu. Ku hela nafasku, beruntung tadi aku tak berkata apa pun yang menjurus kearah sana, dan mas Umair sendiri tampaknya juga tak menyadarinya.
Magbasa pa
Balasan untuk Rima
Dengan tersenyum aku menyusul Rima yang dimana biasanya ia bersama umi. Rima memang pandai bersandiwara, ia bersikap layaknya seorang perempuan baik-baik di depan umi dan lainnya. Setelah siap mas Umair pun menyusul abi ke penggilingan, sementara aku tetap di rumah bersama umi dan perempuan tak jelas asal usulnya ini. Umi pamit untuk pergi mandi setelah kepergian mas Umair, dan membiarkanku untuk mengobrol dengan Rima seperti biasanya. Ya, biasanya aku banyak mengobrol dengan Rima layaknya teman biasa. Namun kali ini, ada rasa berbeda diantara kami. Apalagi kalau bukan karena sifat asli yang Rima tunjukkan padaku di dapur tadi. Huh. Tak ada obrolan seperti biasanya, aku dan Rima saling terdiam dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Ku toleh sejenak arah dalam rumah untuk memastikan jika umi sudah tak terlihat lagi. Ku posisikan dudukku lebih dekat dengan Rima, meski sebenarnya aku tak sudi. Biarpun demikian, demi memperlancar rencanaku, terpaksa aku harus melakukannya. "Ka
Magbasa pa
Ajakan Mas Umair
"Waalaikumussalam!" kataku ketika punggung Rima benar-benar sudah tak terlihat. Aku dan umi tertawa bersama setelah kepergian Rima. Ya, karena sebenarnya umi sudah ku beritahu sebelumnya tentang Rima yang berpura-pura berubah. Namun, karena umi tak ingin aku asal menuduh, umi ku minta ikut bermain dalam rencanaku untuk membuka kedoknya Rima. Dan, ya aku berhasil membuka kedok Rima, umi pun mempercayai ucapanku. "Aaaaaakkk!!"Aku dan umi terdiam seketika mendengar teriakan dari arah luar. Bergegas kami pun keluar rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan langkah kami pun terhenti ketika mendapati ternyata Rima sudah berhadapan dengan mas Umair di halaman rumah. Aku sendiri bingung, kenapa Rima bisa sampai berteriak sekencang itu, padahal tidak mungkin kalau mas Umair bertindak kasar padanya. Aku dan umi saling berpandangan, lalu seakan mengerti maksud dari pandangan kami, kami pun berlari bersamaan menuju Rima dan mas Umair berdiri. "Ada apa?" tanyaku usai kami sampai d
Magbasa pa
Sebuah Toko
Perjalanan ke penggilingan kami tempuh menggunakan mobil jadul mas Umair. Sebenarnya tempat penggilingan itu dekat, hanya saja karena kami bertiga mas Umair lebih memilih memakai mobil ketimbang pakai sepeda motor. Aish, bilang saja tak mau bolak balik menjemput aku dan umi. Kurang dari sepuluh menit, mobil jadul mas Umair akhirnya berhenti di depan sebuah toko. Entah, toko siapa aku tak tahu. "Sudah sampai," kata mas Umair. "Sampai apa? Ini, mah, sampai di toko orang!" balasku. Mas Umair tak menjawab. Ia mengarahkan jari telunjuknya kearah toko di depan kami. Ternyata dari dalam kaca mobil, aku melihat abi yang tengah sibuk membereskan barang-barang di sekitarnya. Ku buang nafas kasarku. "Selalu kek gitu," kataku dengan wajah masam sambil membuka pintu. Lalu diikuti umi yang kemudian berjalan lebih dulu ke dalam toko. Aku menatap bangunan berukuran 3 x 3 meter di depanku ini. Begitu juga dengan mas Umair, ia berdiri di sampingku dan melakukan hal yang sama. Sebuah toko yang men
Magbasa pa
Kedatangan Mama Lagi
Mas Umair lalu berjalan kearah pintu depan, sementara aku tetap terdiam di tempatku. Entah mama atau Riska yang datang atau bahkan siapa pun itu, pasti akhirnya aku juga akan mengetahuinya. "Riska?" aku terheran ketika yang datang bersama suamiku adalah Riska, padahal tadi jelas ku dengar yang mengucapkan salam adalah suara mama. "Tenang, ada mama juga kok," kata mas Umair seakan mengerti apa yang ku batin. Ya, mama dan rombongannya kini muncul dari balik ruang tamu. Mbak Sinta dan mas Bima. Firasat buruk kembali menyelimuti batinku setiap kali kedatangan mama tiriku itu. Mas Umair lalu meminta Riska langsung mengecek kondisi kakiku. Sementara mama dan lainnya tanpa diminta mereka pun ikut mendudukkan dirinya di sofa. Suamiku itu pun berlalu guna membuatkan minuman dan mengambil beberapa cemilan untuk mama. "Di sana aja, yuk!" ku tarik tangan Riska yang hendak memeriksa kakiku.Mama dan mas Bima tampak biasa melihat sikapku, berbeda dengan kakak tiriku yang satu itu, mbak Sinta,
Magbasa pa
Izin Menginap
"Makanya jangan sembarangan ngomong, dasar perempuan bod*h!" cerca mas Bima. Dan dengan cepat ku buka mataku setelah mendengar cercaan dari mas Bima barusan. Aku pun teringat akan sesuatu yang benar-benar akan bisa membalas tekanan dari mas Bima. Ya, sebuah pernyataan yang mama katakan saat walimahanku waktu itu. "Aku rasa Mas lupa atau bahkan mungkin tidak tahu apa yang menjadi penyebab kecelakaan ibu kandungku sepuluh tahun yang lalu," kataku menajam pada mas Bima yang membuatnya terdiam seketika. Ya, aku ingat saat walimahanku kala itu mama mengiyakan sebuah pernyataan bahwa seakan dirinya terlibat dalam kecelakaan ibu kandungku. Entah benar atau tidak, detik ini juga aku menyadari sepertinya aku harus menyelidiki ulang kecelakaan itu. Dulu, karena usia aku tak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak dengan sekarang, perasaan menerima kenyataan atas kepergian mama yang tragis kini muncul kembali karena pernyataan mama dan cercaan mas Bima barusan. Ku tinggalkan mas Bima yang masih me
Magbasa pa
Tujuan Mama Sebenarnya
"Tujuan mama apa ya Mas kira-kira? Masa medadak minta nginep," tanyaku pada mas Umair disuatu malam. "Besok kita akan tahu," balas suamiku lantas merebahkan badannya di ranjang lalu tidur. Ah, suamiku. Kebiasaan buruk mas Umair yang selalu membuatku jengkel dan naik pitam mendadak. Tak pernah to the point dengan apa yang menjadi tujuan utama dalam pembicaraan, yang ada malah menyuruhku menebak-nebak. Menyebalkan! Huh! Dengan jengkelnya ku hidupkan kipas angin berkecepatan paling tinggi, lalu dengan kasar ku tarik selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh suamiku itu hingga terlepas darinya, ku biarkan saja ia kedinginan, siapa suruh malam-malam begini membuatku geram. Kalaupun tidak tahu alasannya, bilang saja tidak tahu, tak perlu ada dalih bahwa besok akan tahu. Andaikan mau ngeprank aku lagi, sungguh, itu sangat menyebalkan. Sifat buruk dari mas Umair yang ingin sekali aku musnahkan dari dirinya. Baru memejamkan mata sebentar, tiba-tiba aku dibuat terkejut hingga mataku terbe
Magbasa pa
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status