All Chapters of Suami Dan Mertua Tak Tahu Aku Banyak Uang: Chapter 11 - Chapter 20
73 Chapters
Bab 11.A
Bab 11.ABalasan Telak Untuk Heri dan IbuSempat terdengar ibu memaki dan menghinaku lagi, tapi aku tak peduli dengan hinaannya, gegas menstarter motor dan segera pergi.Semoga saja ponselku tak rusak, yang kukhawatirkan saat ini bukan keselamatan Mas Heri, melainkan ponsel yang harganya lumayan fantastis.Tiba di tujuan kulihat Mas Heri terbaring di ranjang pasien, tangan kanan dan kaki kirinya terbungkus perban, ia meraung kesakitan.Itulah adzab bagi orang yang suka mencuri, batinku berkata-kata.Saat hendak masuk ada seorang bapak-bapak mencegahku."Mbak ini istrinya?"Aku mengangguk."Oh ini dompet sama hape suami Mbak, tadi saya amankan takut ada yang nyuri," ujar lelaki itu dengan ramah.Aku tersenyum senang, akhirnya ponsel ini kembali dalam keadaan utuh, rezeki memang tak kemana."Terima kasih ya, Pak."Lelaki itu mengan
Read more
11.B
"Begitulah namanya orang kampung, ga bisa mengendalikan diri, apa lagi dia cuma lulusan SMP, ga berpendidikan beda jauh dengan Tania yang sudah sarjana," celetuk ibu memandangku dengan remeh. Oh, sekarang bahan perbandinganku bukan Rista lagi ternyata tapi sudah ganti jadi Tania, apa ia tak berkaca kedua anaknya juga sama-sama lulusan SMP. Beruntung mulutku tak tajam sepertinya, sehingga sebesar apapun rasa benciku, tak membuat aku mengeluarkan kata-kata tajam yang bisa menyebabkan dosa "Ibu ga mau tahu, pokoknya kamu harus ganti tv ibu dengan yang sama persis kaya gitu!" tegas ibu sambil mengempaskan bokong di sofa. Kini, saatnya aku yang bicara "Cuma tv yang rusak aja kalian heboh, terus gimana dengan hati aku yang setiap hari mendapatkan hinaan dari ibu? padahal jika ibu ga punya uang mintanya sama siapa? ya sama aku bukan sama Rista mantu kesayangan ibu itu." Ibu terlihat mencebikaan mulut sambil mengehela napas. "Tadi juga Ibu ngambil uang hasil jualanku di laci, apa aku m
Read more
Bab 12
Bab 12 Satu hari kemudian Mas Heri sudah pulang dari klinik, ia menjual ponselnya untuk membayar biaya perawatan selama di klinik, bukannya prihatin justru malah ingin tertawa melihat penderitaannya. "Coba aja waktu itu kamu ga rampas paksa hape-ku pasti kejadiannya ga bakalan begini," cetusku sambil menyeduh susu untuk Nasya. Lelaki itu hanya diam tanpa kata, sepulang dari klinik ia memang berbeda tak lagi mengajakku bicara, mungkin masih marah karena aku meninggalkannya di saat sedang kesusahan. Bukannya aku tega atau bermaksud berbuat durhaka terhadap suami sendiri, melainkan untuk menyadarkannya dari perbuatan dzalim, karena jauh dalam lubuk hati aku sangat menginginkan rumah tangga ini tentram dan damai. "Ayo, Heri makan dulu jangan ngelamun aja," sahut ibu yang baru selesai memasak nasi goreng. Nampaknya nasi goreng itu hanya untuk porsi dua orang, tak apalah mungkin ia masih marah, aku dan Nasya bisa
Read more
Bab 13
 Bagai seekor burung yang terbang tinggi lalu dalam sekejap mata ia terhempas jatuh ke dasar bumi, sakit. Itulah yang dirasa hati ini.Di saat ada secercah harapan untuk merajut asa bersamanya, dan di saat itu pula semua angan beterbangan bak tertiup angin kencang.Aku menganggukkan kepala tanpa kata, apalah daya aku tak bisa memaksanya untuk tetap bersama, jika cinta ingin pergi maka lepaskanlah jangan pernah menahannya."Kamu setuju 'kan, Mir, kalau kita berpisah?" tanya Mas Heri.Lidah ini kelu tak  sanggup menjawabnya, hanya bisa diam sambil menahan buliran bening yang mungkin akan mengalir deras."Apa ini semua karena perempuan tadi?" tanyaku dengan tenggorokan tercekat."Bukan, Mir. Aku ... aku cuma pengen kita bahagia aja, selama kita bersama aku ga pernah rasakan itu dan aku juga yakin kamu pun merasakan hal yang sama seperti aku," jelasnya sambil merubah posisi duduk.
Read more
Bab 14
 "Mas, aku hamil," ujarku dengan wajah biasa saja.Mas Heri dan ibu menatapku bersamaan."Ah yang bener? bukannya kamu sering minum pil KB? kok bisa hamil," jawab Mas Heri.Tak ada raut bahagia yang terpancar, hal yang bisa membahagiakannya memang hanya uang dan harta."Sudah pasti kebobolan tuh, kamu sih ga hati-hati," sahut ibu, entah menyalahkanku atau Mas Heri."Kok bisa begitu sih," ujar lelaki yang bergelar suami itu.Aku hanya menelan ludah melihat tanggapannya yang biasa saja, padahal anak itu anugerah dalam pernikahan."Gagal deh rencana kita," bisik ibu tapi masih terdengar oleh telingaku."Rencana apa, Bu?" tanyaku ngegas.Entah mengapa kali ini aku tak bisa bersikap sabar seperti sebelumnya, kehadiran janin ini seolah menambah kekuatan dalam diri."Ga usah kepo!" jawab ibu tak kalah ngegas"Kamu punya rencana apa, Mas
Read more
Bab 15.A
bab 15. AAda bisikan dalam dada untuk mencegah dan menghajar mereka. Namun, di sisi lain aku pun berfikir jika sikap seperti itu tak ada gunanya, membiarkan Mas Heri menemui wanita itu mungkin akan mempercepat proses perpisahan kita, dan itu sangat menguntungkan untukku.Aku ingin mereka mendapatkan penyesalan yang terdalam saat sudah membuangku, sebuah penyesalan yang tak bertepi.Setelah selesai membuat pentol untuk jualan esok, jemariku bergulir membuka aplikasi belanja online, untuk menghindari diri dari lamunan yang tak berguna, aku belanja apa saja yang dapat menyenangkan hati."Amira, bangun sudah subuh."Sebuah tepukan di pipi membuat mataku mengerjap."Hei."Orang itu menepuk pipiku lagi, saat mata terbuka aku begitu terperangah ternyata ia Mas Heri, tumben sekali membangunkanku untuk salat subuh, biasanya ia akan begitu jika minta dibuatkan makanan karena lapar."Sudah adzan
Read more
Bab 15.B
Bab 15. B"Kondangan ke mana? tumben ngajak-ngajak," jawabku dengan nada santai."Ke temenku, nanti kamu pakai ini."Ia menyodorkan sebuah plastik putih berlogo toko pakaian, saat kubuka ternyata isinya sebuah gaun berwarna tosca."Ini buat aku?"Ia menganggukkan kepala."Beli baru atau dikasih orang?" tanyaku lagi"Baru lah, beres makan cobain muat apa engganya."Gaun berwarna tosca dan dihiasi banyak Payet berbentuk mutiara ini menempel sempurna di tubuhku, ukurannya sama sekali tak kebesaran atau kelonggaran."Hemm bagus, kalau kerudungnya pakai yang ini cocok?" tanyaya sambil menyodorkan kerudung pashmina warna putih."Cocok sih," jawabku dengan perasaan aneh.Ini kali pertama ia membelikanku baju, biasanya juga hanya memberikan uangnya saja, tak mau tahu cukup atau tidak ketika dibelanjakan."Ya udah pakai itu, sendalnya ada
Read more
Bab 16. A
Bab 16.AAku membalikkan badan lalu pergi meninggalkan mereka yang sedang berdampingan, dengan langkah tegak melangkah keluar padahal sebelumnya ada sepasang high heels yang menghambat perjalanan.Tapi kali ini kedua kakiku berjalan dengan mudahnya menuju keluar gedung nan megah ini, menghampiri motor di parkiran, beruntung sekali kuncinya aku yang pegang.Kutinggalkan Mas Heri di sini dengan wanita perus*k itu, sekarang berbahagialah, Mas. Ada saatnya kalian merasa hancur seperti yang kurasakan.Semenjak mengendarai motor ponselku berdering entah siapa yang menelpon, karena tak ingin kehilangan konsentrasi saat mengemudi kuabaikan saja panggilan itu."Nasya, kita nginep di rumah nenek yuk," pintaku pada gadis kecil yang sedang belajar di kamarnya.Ia mendongak menatap wajahku yang nampak sembab, ia sudah besar bisa membedakan antara tangisan dan kelilipan."Mama kenapa nangis? bukannya tadi pergi k
Read more
Bab 16.B
Bab 16. B"Ayo kita pergi, Sayang, dia bukan nenekmu." Kugenggam pergelangan Nasya menuju motor, memasukkan barang bawaan dan segera melajukannya.Hari ini kebetulan hari Jum'at ibu dan bapak pasti ada di rumah tak berjualan di pasar, begitu aku turun dari motor ibu langsung menyambut dengan senyuman hangat."Kok bawa barang-barangnya banyak banget?" tanya ibu, bapak pun menatapku dengan keheranan."Aku akan bercerai sama Mas Heri, Bu, selama ini dia sudah mempermainkan pernikahan ini dan juga kesetiaanku."Mereka berdua tercenung menatapku bersamaan, hal yang paling mereka benci kini harus terjadi pada diri ini, bagaimana lagi aku sudah muak hidup dalam tekanan dan hinaan.Perbuatan Mas Heri yang baru saja dilakukan adalah penghinaan yang paling besar dan tak layak dimaafkan."Ada masalah apa, Amira? 'kan bisa dibicarakan baik-baik." Bapak masih berbicara selembut kapas."Mbak Am
Read more
Bab 17. A
Bab 17. A "Apa keputusanmu, Heri?" tanya Bapak, sekaligus tanyaku juga. Perasaan gelisah dan deg-degan bercampur menjadi satu, takut sekali jika lelaki itu akan membawaku lagi ke nerakanya.Jika iya rasanya aku tak sanggup, terlebih aku mengandung anak kedua, aku ingin anak ini tak seperti Nasya yang selalu menyaksikan pertikaian kedua orangtuanya.Mas Heri menatapku hingga pandangan kami bertemu, sudah kurasakan diantara kami tak ada lagi cinta, jika pernikahan ini diteruskan maka hanya akan saling menggoreskan luka. "Amira, jika kita bercerai apa kamu mau?" tanya Mas Heri
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status