Bab 16. B
"Ayo kita pergi, Sayang, dia bukan nenekmu." Kugenggam pergelangan Nasya menuju motor, memasukkan barang bawaan dan segera melajukannya.Hari ini kebetulan hari Jum'at ibu dan bapak pasti ada di rumah tak berjualan di pasar, begitu aku turun dari motor ibu langsung menyambut dengan senyuman hangat."Kok bawa barang-barangnya banyak banget?" tanya ibu, bapak pun menatapku dengan keheranan."Aku akan bercerai sama Mas Heri, Bu, selama ini dia sudah mempermainkan pernikahan ini dan juga kesetiaanku."Mereka berdua tercenung menatapku bersamaan, hal yang paling mereka benci kini harus terjadi pada diri ini, bagaimana lagi aku sudah muak hidup dalam tekanan dan hinaan.Perbuatan Mas Heri yang baru saja dilakukan adalah penghinaan yang paling besar dan tak layak dimaafkan."Ada masalah apa, Amira? 'kan bisa dibicarakan baik-baik." Bapak masih berbicara selembut kapas."Mbak AmBab 17. A"Apa keputusanmu, Heri?" tanya Bapak, sekaligus tanyaku juga.Perasaan gelisah dan deg-degan bercampur menjadi satu, takut sekali jika lelaki itu akan membawaku lagi ke nerakanya.Jika iya rasanya aku tak sanggup, terlebih aku mengandung anak kedua, aku ingin anak ini tak seperti Nasya yang selalu menyaksikan pertikaian kedua orangtuanya.Mas Heri menatapku hingga pandangan kami bertemu, sudah kurasakan diantara kami tak ada lagi cinta, jika pernikahan ini diteruskan maka hanya akan saling menggoreskan luka."Amira, jika kita bercerai apa kamu mau?" tanya Mas Heri
Bab 17. BBegitulah orang yang tak faham agama, hidupnya diperbudak harta dunia, semua tolak ukurnya ya dari uang bukan dari keimanan."Kita lihat saja nanti doa orang miskin ini bakal dikabul atau engganya." Ibu menyeringai sinis."Aduh sudahlah jangan debat terus. Heri keputusanmu apa? cepat katakan saya mau siap-siap salat Jum'at sebentar lagi," sela bapak yang sudah terlihat jengah.Mas Heri terlihat menghirup napas dan mengembuskannya perlahan."Baiklah, Amira aku talak kamu kita bukan suami istri lagi, mulai dari sekarang aku kembalikan kamu kepada bapak."Mata ini terpejam lalu kuhirup oksigen dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri jika keputusan ini memang yang terbaik."Baiklah, saya akan terima Amira dan juga kedua anaknya dengan lapang, tapi kamu harus ingat pada kedua anakmu, kasih mereka uang setiap bulannya, walaupun kalian berpisah tapi Nasya dan calon bayi itu tetap akan jadi anakmu,
Bab 18. ASuasana rumah berubah riuh lantaran ibu meracau tak karuan, sedangkan aku, ibu dan bapak nampak biasa saja tak terlihat panik atau gelisah karena musibah yang mendera mereka.Entah apa maksud sang pencipta menghendaki rumah itu terbakar, padahal aku tak lagi menginginkan rumah itu untuk dihuni, karena percaya akan ada istana yang lebih megah dan nyaman untuk ditinggali di masa depan.Mungkin, Tuhan tak menghendaki sebuah kedzaliman dan hendak membungkam kesombongan ibu, memperlihatkan padanya jika sang pencipta berkuasa dan berperan penting atas gerak-gerik hidupnya."Ibu ini gimana sih masak air kok bisa lupa matiin kompor." Mas Heri memarahi ibunya."Tadi Ibu mau ngopi eh kamu malah ngajak ke sini jadinya Ibu lupa," jawab ibu.Dapat kulihat wajah ibu mertua berubah pucat, sedang Mas Heri terlihat sangat kesal dan jengkel, itulah balasan bagi orang yang sombong, suka menghina orang dan suka mera
Bab 18.BSatu bulan setelah jatuhnya talak, Alhamdulillah aku tak kekurangan rezeki sama sekali, bulan ini bisa kontrol ke dokter spesialis kandungan yang tentunya memerlukan biaya berkali lipat dari pada kontrol ke bidan.Nasya juga bisa membeli ponsel baru yang lebih besar kapasitasnya, ia membutuhkan itu untuk menyimpan vidio tutorial yang dikirim oleh gurunya di sekolah.Janin dalam perutku juga baik-baik saja walau tanpa mendapat sentuhan seorang ayah. Dan yang terpenting tubuhku terlihat bugar walau sedang mengandung, orang-orang bilang wajahku bersinar bak rembulan semenjak menyandang gelar sebagai janda.Ternyata menyandang gelar itu tak seburuk yang orang-orang fikirkan, justru hidupku lebih tenang tanpa mendengar kata-kata hinaan yang menyakitkan, otakku tak lagi pusing memikirkan biaya hidup sekeluarga.Saat ini rumah ibuku sedang direnovasi dan akan selesai beberapa hari lagi, untuk sementara waktu kami men
Bab 19.A"Mir, ada undangan buatmu."Ibu menyodorkan satu buah kertas berukuran persegi empat, warna dan bentuknya begitu indah, sepertinya itu undangan dari orang berada.Tanganku mulai meraih benda itu dan membukanya tanpa kata dan membaca, saat sudah sempurna terbuka barulah tahu siapa dua nama yang tertera di dalamnya.Tania dan Heri yang sedang berbahagia akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi dua hari lagi, mengapa ia setega itu bahkan perutku belum terlihat membukit ia sudah merajut cinta yang baru.Surat cerai kami sudah keluar dari pengadilan agama, mereka mengatakan jika masa iddahku sampai hari melahirkan tiba, tapi dia yang sudah menanam benih ini akan bersanding dengan wanita lain disaat benihnya belum tumbuh sempurna."Kamu sedih, Mir?" tanya ibu yang berwajah sendu.Aku menggelengkan kepala, entah rasanya sedih atau kecewa yang jelas keadaan yang kualami tak berpi
19. BAku tercenung memikirkan usul itu, di satu sisi aku ingin membuktikan bahwa hidupku baik-baik saja setelah disakiti, tapi di sisi lain aku merasa tak enak masih dalam masa Iddah tapi sudah pergi bersama lelaki."Pergi dan pulangnya masing-masing, kita cuma sama-sama di acaranya aja gitu," ujar Pak Satria seolah membaca kebimbanganku."Oh boleh tuh idenya." Senyumku mengembang lagi."Kalau gitu minta no WA Mbak ya, biar nanti bisa kontekan acaranya 'kan dua hari lagi."Dengan sukarela aku menyebut digit demi digit angka dan pria itu mencatat di ponselnya, hingga sebuah telpon masuk pertanda jika Pak Satria pun menyuruhku untuk menyimpan nomornya.Datangnya segerombolan para remaja membuat jarak antara aku dan Pak Satria, celoteh mereka yang asyik memintaku untuk cepat melayani apa maunya.Tak terasa waktu cepat berlalu hingga hari bahagia Mas Heri dan Tania telah tiba, aku memilih gamis b
Bab 20. ATiga bulan sudah berlalu sejak kejadian di pernikahan itu, aku dan dirinya tak pernah lagi bertukar kabar. Namun, atas cerita ibu lelaki tinggi nan kurus itu sering datang ke rumah menemui putri pertamanya, Nasya.Mas Heri pun sering menitipkan uang untuk putrinya itu, sekaligus untukku kontrol ke dokter kandungan perbulannya, walau hanya dua ratus ribu tapi aku bersyukur ia tetap bertanggung jawab pada benih yang tak diinginkannya ini.Sedangkan Pak Satria seperti biasa selalu berkunjung di akhir pekan atau hari libur saat menjelang sore hari, bisa dibilang aku dan dirinya mulai berteman akrab.Kini, rumah ibuku sudah berdiri kokoh dan sedikit megah, hampir sama dengan deretan rumah yang ada di perumahan ternama di kota ini."Ma, besok 'kan hari Minggu, Papa chat aku katanya suruh nginep," ujar putriku saat diri ini hendak mengistirahatkan badan.Aku diam tercenung, beginilah resiko perceraian harus m
Bab 20. BBenar ternyata mas Heri berdusta, dari dulu lelaki tak pernah berubah pandai berdusta dan bersandiwara, apa maksudnya coba?"Biasalah, buat bayar hutang. Bu Ninik 'kan banyak hutangnya dari mulai ke bank Emok, bank konvensional hingga Si Wati lintah darat itu."Bu Tika nyerocos tanpa diminta membuat rasa penasaranku kian meronta, sekalian saja mengeruk banyak informasi darinya."Kok banyak banget." Dahiku mengerenyit."Awalnya sih buat biaya renovasi dapur yang kebakaran itu, terus buat biaya pernikahan Heri kemarin, kalau menurut saya ngapain juga Bu Ninik menggelar pesta resepsi mewah kalau hasil ngutang, mendingan sederhana aja dari pada terlilit hutang, iya 'kan," jawab Bu Tika dengan delikkan mata khasnya.Bukannya berduka batinku malah ingin tertawa dengan kelakuan wanita tua itu, demi gengsi ia menghalalkan segala cara, mana waktu itu ia begitu bangga dengan menantu barunya yang katanya ka