All Chapters of Neraka untuk Adik Madu: Chapter 51 - Chapter 60
90 Chapters
Bab 51
Pov VitaAku terkejut saat Mama sudah ada di depanku. Bukan keberadaan Mama, tapi ada belasan orang yang berdiri di belakang Mama. Mereka adalah tetangga di sekitar rumahku. Bahkan, mereka masing-masing membawa alat-alat dapur. Pun juga Mama, ia membawa gebukan kasur yang terbuat dari rotan. Cepat aku berjalan menghampiri Mama dengan perasaan lega. Meskipun ada timbul pertanyaan di mana Daffa berada. Setelah terjadi perdebatan, akhirnya Mas Pandu lari terbirit-birit. Mungkin ia takut dihajar oleh kami yang anggotanya banyak sekali. "Kita ke dalam, Bu Ibu," ucapku setelah melihat Mas Pandu keluar halaman."Bentar dong. Masih ada kejutan nih," celetuk salah satu seseibu. Tak berselang lama Bu Wina berjalan menghampiri Mas Pandu yang sepertinya masih berada di depan gerbang. Entah apa yang ia ucapkan. Namun seketika aku menyadari saat mereka tertawa. Menertawakan Mas Pandu yang memanjat ke atas pohon.Aku dibuat melongo saat aku tahu ternyata mereka telah menyembunyikan kunci motor mi
Read more
Bab 52
Lelaki dengan jas hitam dan celana berwarna senada turun dari mobil. Terlihat ia melangkah lalu tersenyum ke arah kami. "Selamat pagi, Bu Vita," ucap Pak Romli– pembeli rumahku seraya menjabat tanganku. "Selamat pagi, Pak. Perkenalkan ini Mama saya," ucapku memperkenalkan Mama yang masih berdiri di sampingku seraya menggendong Daffa. Mama dan Pak Romli saling mengangguk lalu berjabat tangan. "Mari masuk, Pak," ucapku yang dibalas anggukan oleh Pak Romli. "Begini Bu Vita ... sebelumnya saya mohon maaf. Maaf sebanyak-banyaknya ... ternyata istri saya sudah tidak sabar untuk segera pindah ke rumah ini," ucap Pak Romli dengan memasang raut wajah tidak enak. "Nggak apa-apa, Pak. Kebetulan juga saya akan berpindah dari rumah ini secepat mungkin. Paling lambat kami akan keluar dari rumah ini besok," ucapku. "Baik, Bu Vita. Sebelumnya saya mohon maaf sekali lagi. Untuk pembayarannya sudah saya transfer ke rekening Bu Vita," ucap Pak Romli seraya menyerahkan bukti transfer reski dari ba
Read more
Bab 53
Selang belasan menit kemudian, terdengar suara deru mobil memasuki halaman. Aku melihat ke arah luar melalui jendela kaca, terlihat mobil milik Papa mertua memasuki halaman rumah. Tak berselang lama mobil itu berhenti lalu sedetik kemudian siara deru mobil tak terdengar lagi. Brak!Pintu mobil itu ditutup dengan kuat. Beberapa saat setelah pintu ditutup terlihat Papa berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Cepat aku bangkit dari tempat dudukku lalu melangkah ke luar. "Vit, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan kalian? Apa Pandu berulah lagi?" Papa memberondongku dengan beberapa pertanyaan. Ya, aku memang belum mengatakan pada Papa soal kedatangan papanya Lidya. Aku hanya mengatakan kalau ada sesuatu yang penting dan kuminta Papa mertua untuk lekas sampai datang ke sini. Aku menghubungi Papa, berharap agar papanya Lidya bisa bertemu langsung dengan Papa mertua. Pikirku jangan sampai papanya Lidya berbuat nekat pada Mas Pandu. Aku hanya kasihan, itu saja. "Nggak, Pa. Vita da
Read more
Bab 54
Di sepanjang perjalanan aku hanya menatap ke arah depan. Jalanan terasa begitu lengang. Sesekali aku hanya menoleh ke arah luar melalui kaca jendela sebelah samping hanya untuk menghindari tatapan Mama. Tak ingin beliau melihat mataku yang berkaca-kaca. Bukan karena aku akan kehilangan Mas Pandu.Bukan!Tapi aku hanya merasa bersalah pada kedua orang tuaku. Seharusnya di usiaku yang sudah kepala tiga, aku sudah tidak menjadi beban untuknya. Namun nyatanya, semua yang terjadi tak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Padahal sewaktu aku masih mengandung, aku pernah membayangkan pergi ke rumah Mama bersama Mas Pandu dan anakku. Namun kini aku benar-benar datang ke sana. Bersama Daffa. Namun tanpa kehadiran Mas Pandu. Bahkan aku pulang membawa status baru.Aku menoleh ke arah Mama, kedua netra itu terpejam. Wajah yang masih menyisakan kecantikan sewaktu muda itu kini sudah mulai dipenuhi dengan keriput halus. Membuat rasa sesak itu menyeruak. Lagi-lagi aku merasa bersalah, merasa malu
Read more
Bab 55
Pov Pandu***Aku benar-benar tak menyangka jika aku dalam keadaan seperti ini. Tak pernah sedikitpun ada di pikiranku jika Vita benar-benar akan meninggalkanku. Kupikir perempuan itu benar-benar cinta padaku, kupikir dia benar-benar rela dimadu. Namun ternyata semua tak seperti dugaanku. Apalagi Lidya juga meninggalkanku. Aku yakin, ia saat ini ada di rumah kedua orangtuanya. Namun aku tak cukup punya nyali untuk pergi ke sana. Ponsel yang ada di atas nakas berdering, ada panggilan masuk. Ya, sudah dua hari aku pulang dari rumah sakit. Setiap hari pekerjaanku hanyalah berdiam diri di kamar. Memulihkan kondisi badan yang terasa begitu remuk redam. Kuraih ponsel yang sedari kemarin tergeletak di sana. Nama Andi terpampang sebagai pemanggilnya. Kuhembuskan napas berat lalu kuusap layar pipih itu ke atas, sedetik kemudian kudekatkan benda pipih itu ke telingaku sebelah kanan. "Hm ...," ucapku begitu panggilan itu sudah kuangkat. "Kamu di mana?" tanya Andi dari seberang sana. "D
Read more
Bab 56
"Halo, selamat siang," sapa seseorang dari seberang sana setelah mengangkat panggilanku setelah beberapa kali berdering. "Halo, selamat siang juga, Mbak," jawabku. "Ada yang bisa dibantu Pak Pandu?" ucap penata rias yang sempat disewa jasanya oleh Lidya."Mbak, saya mau minta sisa uang pembayaran kemarin. Kan acara batal, jadi uang bisa kembali dong," ucapku. Ya, aku ingat betul kesepakatan yang diucapkan oleh perias itu saat Lidya menanyakan soal pembayarannya. Perisa itu meminta uang full dibayar dimuka. Andai kata ada pembatalan, uang bisa kembali separoh."Baik, Pak. Bisa. Sesuai kesepakatan, uang akan kembali setengah dari harga kesepakatan," ucapnya. "Nggak bisa kembali semuanya, Mbak? Kan bukan saya yang membatalkan," ucapku berusaha menego. Barangkali uang itu bisa kembali sepenuhnya."Maaf, Pak. Semua kembali ke sepakatan awal," ucapnya kekeh dengan pendirian. Kuhembuskan napas berat. "Oke. Saya ke sana sekarang." "Baik, Pak. Saya tunggu," jawabnya. Tanpa berbasa-bas
Read more
Bab 57
"Sudah sampai, Pak," ucap sopir itu setelah berhenti di depan alamat yang aku berikan.Aku keluar setelah membayar tagihan lalu berjalan menuju ke arah toko. Toko aksesoris yang selama ini menjadi sumber penghasilanku. Saat aku melangkah masuk ke dalam toko, salah satu karyawan kepercayaan Vita melihat kedatanganku. Hendri namanya. Aku berdiri di depan meja kasir miliknya. "Hen, uang setoran mana?" tanyaku."Uang setoran apa, Pak?" tanya Hendri dengan wajah yang terlihat bingung. "Ya uang setor bulanan. Kasih aja semua uang yang ada di brangkas. Berikan semuanya, termasuk yang buat kulakan," ucapku masih dengan anda lemah. "Maaf, Pak, ini bukan menjadi hak Bapak lagi. Karena ...."Brak!Suara dentuman akibat gebrakan tanganku begitu memekakkan telinga. Tak kupedulikan keberadaan orang-orang yang sedang melihat-lihat di dalam sini. "Lancang sekali kamu! Ini milik saya, berani-beraninya kau mengatakan itu karyawan sial*n!" geramku dengan emosi yang sangat membuncah. Terlihat rau
Read more
Bab 58
Aku berjalan lalu berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi. Kuraih gagang pintu gerbang itu. Lagi-lagi aku bernapas kasar saat mencoba membuka pintu gerbang itu, ternyata terkunci dari dalam. Pandanganku beralih ke bawah, mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengetuk pintu gerbang agar menimbulkan suara nyaring. Mataku menangkap ada bongkahan batu sebesar kepalan orang dewasa. Aku sedikit berjongkok untuk meraih bongkahan batu itu.Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu gerbang, namun belum ada tanggapan setelah kutunggu beberapa detik. Tok! Tok! Tok!Kuketuk lagi pintu gerbang itu dengan semakin kencang. Tak berselang lama terdengar seperti ada seseorang yang sedang berusaha membuka kunci gerbang itu. Pintu yang menjulang tinggi itu terbuka hanya sebatas bahu dengan kepala melongok keluar. "Pak Pandu? Ada apa, Pak?" tanya perempuan berambut yang berkuncir kuda itu. "Nggak dibuka dulu pintunya?" tanyaku saat perempuan itu tak kunjung membuka pintu gerbang, membiarkanku
Read more
Bab 59
Kedua mataku membelalak saat melihat seorang nenek tergeletak di atas jembatan dengan kondisi yang mengenaskan. Ada bercak darah di lengan tangan kanannya. Dengan perasaan malu yang luar biasa aku langsung memutar tubuh kemudian dengan langkah cepat dan kepala yang menunduk aku berjalan ke arah belakang. Kasak-kusuk masih tertangkap di indra pendengaranku. Tak sedikit dari mereka mengeluarkan gelak tawa melihat kekonyolanku. Kupikir perempuan yang menjadi pusat perhatian itu Lidya, mengingat tadi malam ia menelponku agar aku cepat datang ke sini. Tak mungkin aku salah dengar, aku masih ingat betul siapa pemilik suara itu. "Mas mau ke mana? Ini istrinya bagaimana?" Pertanyaan itu dilontarkan saat aku menjauhi kerumunan itu. Pertanyaan yang disambut gelak tawa dari mereka semua. Aku terus melangkah tanpa berniat berhenti walau hanya sekedar menjawab ucapan mereka. Rasa malu kali ini benar-benar menguasaiku. Bagaiamana mungkin aku bisa seyakin itu jika yang ada di depan sana adalah
Read more
Bab 60
Aku memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh Lidya. Benar yang dikatakan olehnya. Vita perempuan yang begitu licik. Ya, licik sekali. Mengingat apa yang selama ini ia lakukan padaku untuk mengusirku dari rumah itu. "Kamu yakin kalau rencana itu akan berhasil, Lid?" tanyaku dengan sedikit ragu."Iya, Mas. Vita itu kan begitu mencintai anaknya. Pasti dia rela memberikan harta itu demi keselamatan anaknya," ucap Lidya dengan suara yang begitu meyakinkan. Aku mengangguk-anggukan kepala. Tapi tegakah aku melakukan itu semua pada Daffa?"Tapi aku nggak tega, Lid. Masa iya aku menyakiti Daffa sih," ucapku. "Astaga, Mas ... aku nggak nyuruh kamu buat nyakitin Daffa beneran ya. Gila kali aku jika aku beneran mau nyakitin dia," sahut Lidya yang membuatku menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut."Kita culik saja Daffa. Hanya menculik. Kita minta saja sebagian harta itu sebagai tebusan. Beneran, Mas, aku nggak yakin jika orang yang dipercaya untuk menjalankan kontrakan itu akan mengikuti
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status