"Halo, selamat siang," sapa seseorang dari seberang sana setelah mengangkat panggilanku setelah beberapa kali berdering. "Halo, selamat siang juga, Mbak," jawabku. "Ada yang bisa dibantu Pak Pandu?" ucap penata rias yang sempat disewa jasanya oleh Lidya."Mbak, saya mau minta sisa uang pembayaran kemarin. Kan acara batal, jadi uang bisa kembali dong," ucapku. Ya, aku ingat betul kesepakatan yang diucapkan oleh perias itu saat Lidya menanyakan soal pembayarannya. Perisa itu meminta uang full dibayar dimuka. Andai kata ada pembatalan, uang bisa kembali separoh."Baik, Pak. Bisa. Sesuai kesepakatan, uang akan kembali setengah dari harga kesepakatan," ucapnya. "Nggak bisa kembali semuanya, Mbak? Kan bukan saya yang membatalkan," ucapku berusaha menego. Barangkali uang itu bisa kembali sepenuhnya."Maaf, Pak. Semua kembali ke sepakatan awal," ucapnya kekeh dengan pendirian. Kuhembuskan napas berat. "Oke. Saya ke sana sekarang." "Baik, Pak. Saya tunggu," jawabnya. Tanpa berbasa-bas
"Sudah sampai, Pak," ucap sopir itu setelah berhenti di depan alamat yang aku berikan.Aku keluar setelah membayar tagihan lalu berjalan menuju ke arah toko. Toko aksesoris yang selama ini menjadi sumber penghasilanku. Saat aku melangkah masuk ke dalam toko, salah satu karyawan kepercayaan Vita melihat kedatanganku. Hendri namanya. Aku berdiri di depan meja kasir miliknya. "Hen, uang setoran mana?" tanyaku."Uang setoran apa, Pak?" tanya Hendri dengan wajah yang terlihat bingung. "Ya uang setor bulanan. Kasih aja semua uang yang ada di brangkas. Berikan semuanya, termasuk yang buat kulakan," ucapku masih dengan anda lemah. "Maaf, Pak, ini bukan menjadi hak Bapak lagi. Karena ...."Brak!Suara dentuman akibat gebrakan tanganku begitu memekakkan telinga. Tak kupedulikan keberadaan orang-orang yang sedang melihat-lihat di dalam sini. "Lancang sekali kamu! Ini milik saya, berani-beraninya kau mengatakan itu karyawan sial*n!" geramku dengan emosi yang sangat membuncah. Terlihat rau
Aku berjalan lalu berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi. Kuraih gagang pintu gerbang itu. Lagi-lagi aku bernapas kasar saat mencoba membuka pintu gerbang itu, ternyata terkunci dari dalam. Pandanganku beralih ke bawah, mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengetuk pintu gerbang agar menimbulkan suara nyaring. Mataku menangkap ada bongkahan batu sebesar kepalan orang dewasa. Aku sedikit berjongkok untuk meraih bongkahan batu itu.Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu gerbang, namun belum ada tanggapan setelah kutunggu beberapa detik. Tok! Tok! Tok!Kuketuk lagi pintu gerbang itu dengan semakin kencang. Tak berselang lama terdengar seperti ada seseorang yang sedang berusaha membuka kunci gerbang itu. Pintu yang menjulang tinggi itu terbuka hanya sebatas bahu dengan kepala melongok keluar. "Pak Pandu? Ada apa, Pak?" tanya perempuan berambut yang berkuncir kuda itu. "Nggak dibuka dulu pintunya?" tanyaku saat perempuan itu tak kunjung membuka pintu gerbang, membiarkanku
Kedua mataku membelalak saat melihat seorang nenek tergeletak di atas jembatan dengan kondisi yang mengenaskan. Ada bercak darah di lengan tangan kanannya. Dengan perasaan malu yang luar biasa aku langsung memutar tubuh kemudian dengan langkah cepat dan kepala yang menunduk aku berjalan ke arah belakang. Kasak-kusuk masih tertangkap di indra pendengaranku. Tak sedikit dari mereka mengeluarkan gelak tawa melihat kekonyolanku. Kupikir perempuan yang menjadi pusat perhatian itu Lidya, mengingat tadi malam ia menelponku agar aku cepat datang ke sini. Tak mungkin aku salah dengar, aku masih ingat betul siapa pemilik suara itu. "Mas mau ke mana? Ini istrinya bagaimana?" Pertanyaan itu dilontarkan saat aku menjauhi kerumunan itu. Pertanyaan yang disambut gelak tawa dari mereka semua. Aku terus melangkah tanpa berniat berhenti walau hanya sekedar menjawab ucapan mereka. Rasa malu kali ini benar-benar menguasaiku. Bagaiamana mungkin aku bisa seyakin itu jika yang ada di depan sana adalah
Aku memikirkan ucapan yang dilontarkan oleh Lidya. Benar yang dikatakan olehnya. Vita perempuan yang begitu licik. Ya, licik sekali. Mengingat apa yang selama ini ia lakukan padaku untuk mengusirku dari rumah itu. "Kamu yakin kalau rencana itu akan berhasil, Lid?" tanyaku dengan sedikit ragu."Iya, Mas. Vita itu kan begitu mencintai anaknya. Pasti dia rela memberikan harta itu demi keselamatan anaknya," ucap Lidya dengan suara yang begitu meyakinkan. Aku mengangguk-anggukan kepala. Tapi tegakah aku melakukan itu semua pada Daffa?"Tapi aku nggak tega, Lid. Masa iya aku menyakiti Daffa sih," ucapku. "Astaga, Mas ... aku nggak nyuruh kamu buat nyakitin Daffa beneran ya. Gila kali aku jika aku beneran mau nyakitin dia," sahut Lidya yang membuatku menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut."Kita culik saja Daffa. Hanya menculik. Kita minta saja sebagian harta itu sebagai tebusan. Beneran, Mas, aku nggak yakin jika orang yang dipercaya untuk menjalankan kontrakan itu akan mengikuti
"Pak, berhenti di depan sana," ucapku seraya jemari menunjuk ke arah pohon yang tumbuh di depan rumah Vita. Lebih tepatnya di depan gerbang. "Di sini, Pak?" ucap tukang ojek seraya memperlambat laju kendaraannya hingga lambat laun kendaraan terhenti dengan sempurna, tepat di bawah pohon. "Bapak tunggu di sini. Saya cuma sebentar. Nggak ada sepuluh menit," ucapku seraya melepas helm yang membingkai di kepalaku lalu kuserahkan pada tukang ojek itu.Sebelum aku melangkah, kupastikan sudah kukenakan masker untuk menutupi sebagian wajahku. Tentunya supaya tidak ada yang mengenali. Aku berjalan dan berhenti di depan pintu gerbang lalu kepalaku melongok untuk melihat suasana di dalam. Tak kulihat siapa pun di sana. Hanya sebuah mobil hitam yang terparkir di halaman dengan pintu rumah utama yang terbuka dengan lebar. Mataku membelalak sempurna saat melihat sosok lelaki yang begitu asing keluar dari rumah itu. Seorang diri.Lelaki yang kutafsir usianya hampir sama dengan Papaku itu berjal
"Mas! Berhenti!" Cepat kutarik kuat-kuat rem tangan ini saat mendengar pekikan Lidya sembari menepuk pundakku berkali-kali. Karena remnya terlalu mendadak hingga membuat kendaraan sedikit oleng dan hampir saja terjatuh. "Ada apa? Ngagetin saja sih," gerutuku saat kendaraan sudah berhenti di tepi jalan. "Ini anak siapa yang kamu ambil?" tanya Vita dengan posisi tubuh masih berada di atas jok motor. Mendengar pertanyaan itu seketika membuatku mengerutkan kening. "Ya anak Vita lah, anak siapa lagi?" sahutku dengan cepat sembari menoleh ke arah Lidya yang mulai turun dari motor sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Ini bukan Daffa, Mas! Gimana sih kamu, masa sama anak sendiri nggak tau! Parah kamu, Mas!" ucap Lidya dengan nada sedikit geram. Cepat kujagang motor lalu aku turun dari kendaraan roda duaku. Aku melihat ke arah wajah bayi itu. Mataku menyipit, memastikan kembali apa yang diucapkan oleh Lidya. "Nih lihat ada antingnya!" ketus Lidya sembari menyingkap selimut ya
"Kirim nomor rekening kamu," ucapku dengan perasaan kesal. "Ok, Pak ... terima kasih. Senang bekerja sama dengan anda."Tanpa berbasa-basi, bergegas kumatikan panggilan itu. Saat ponsel baru saja kuletakkan di bantal, tiba-tiba benda pipih itu bergetar. Pertanda ada pesan yang masuk. [Ini Pak nomor rekeningnya.] Bunyi pesan itu disertai belasan angka di belakangnya. Aku menghembuskan napas berat. Cepat kusalin nomor rekening milik penjaga kontrakan itu, lalu dengan perasaan kesal yang luar biasa aku membuka aplikasi M-Banking. Kulakukan cek saldo dahulu sebelum kutransaksikan pengiriman dana itu. Aku menghembuskan napas berat saat melihat hanya ada nominal lima juta tiga ratus ribu yang tertera di sana. Jika aku kirim uang lima jutanya, saldo hanya tersisa tiga ratus ribu saja. Dengan perasaan tak rela, aku mulai mentransaksikan pengiriman dana sebesar lima juta itu pada nomor rekening yang dikirim oleh nomor penjaga kontrakan itu. Andai saja buka karena uang sebanyak itu, ogah