All Chapters of Bahagia Setelah Dibuang: Chapter 111 - Chapter 120
128 Chapters
Bab 109
POV RISATerlihat Bapak juga menyusul keluar dari rumah dan mengikuti Emak. Emak langsung mengambil alih Adinka dari gendonganku. Sedangkan Bapak mengangkat tinggi-tinggi Tama ke udara. Tama tertawa riang. "Aduh, cucu Kakek sudah tambah besar. Kakek hampir tidak kuat menggendongnya," ujar Bapak lalu menurunkan Tama dan menuntunnya masuk ke rumah.Kami berkumpul di ruang tamu sembari bercerita panjang lebar, sampai tak sadar hari sudah semakin sore. Malam ini kami menginap di rumah Emak. Aku senang sekali dapat tidur di kamarku yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan masa gadisku. Banyak suka dan duka tersimpan di sini. Apalagi kenangan sewaktu membesarkan Tama seorang diri. Rumah ini sudah banyak berubah. Setelah menikah dengan Bang Ardi, dia memberikan uang kepada Bapak untuk merenovasi rumah. Rumah kami yang awalnya semi permanen, kini sudah berdiri dengan dinding yang terbuat dari batu seluruhnya.Tak ada perubahan pada model rumah. Emak dan Bapak hanya mengganti bahan dinding,
Read more
BAB 110
Bang Ardi tampak berlari menyusuri jalan menuju ke sumber asap tersebut. Asap yang tadinya membumbung ke langit langsung menyebar dengan cepat karena hembusan angin. Tak mau anak-anak menghirup udara yang telah bercampur dengan asap itu, aku sedikit berlari menuju rumah. Tama ikut berlari di belakangku. "Ada apa kok, lari-lari. Ardi mana? Kalian pulang bertiga saja?" tanya Emak yang sedang mencabuti rumput di pekarangan rumah. "Itu, Mak. Ada asap tebal di sana. Sepertinya ada rumah warga yang kebakaran," sahutku seraya menunjuk ke arah munculnya asap tebal itu."Kebakaran? Rumah siapa yang terbakar? Jadi Ardi ke sana untuk melihatnya? Jangan-jangan yang kalian maksud asap dari pembakaran tempurung kelapa yang akan dijadikan arang," terang Emak membuatku ternganga."Siapa yang membakar tempurung kelapa itu, Mak?" tanyaku lagi."Biasanya Pak Udin, beliau membakar tempurung-tempurung itu di belakang rumahnya.""Lah! Rumah Pak Udin kan di kelilingi rumah warga. Banyak rumah di sekitarn
Read more
BAB 111
"Cepet banget pulangnya, Ibu masih rindu. Tama dan Adinka tinggal di sini aja, ya," ujar Ibu bercanda pada Tama dan Adinka. "Nenek aja yang ke rumah Tama. Nanti Tama beliin es krim untuk Nenek," ujar Tama polos, diikuti gelak tawa dari kami semua. Tama memang sangat suka es krim. Dia mengira semua orang sama sepertinya, suka makan es krim itu. Ibu mencubit pipi Tama yang gembul dengan gemas. "Pinternya cucu Nenek," ujar Mama lalu mencium pipi Tama berulang kali. Adinka juga tak luput mendapat perlakuan yang sama.Tepat pukul sepuluh, kami berangkat meninggalkan rumah Ibu. Tak lupa mampir sebentar di rumah Emak untuk berpamitan, karena rumah mereka dilewati.Kembali, mobil yang kami tumpangi melaju menembus jalanan berbatu dan sedikit berlubang, hingga akhirnya menemukan jalan beraspal. Sama seperti waktu pulang ke kampung, Bang Ardi mengemudikan mobil dengan hati-hati sekali. Dia tidak ingin membuat kami sekeluarga dalam bahaya dengan melajukan mobil kencang-kencang.Tepat jam du
Read more
BAB 112
"Anak-anakku dimana? Aku harus pulang. Kasihan mereka," ujar Gita lagi mencoba bangkit dari tempat tidurnya."Rumahmu dimana? Biar kami antar," ujar Bang Ardi pula. Gita diam. Dia hanya menangis sembari memainkan ujung jilbabnya."Aku tak punya tempat tinggal. Kalau malam, aku tidur di emperan toko bersama kedua anakku," ujarnya dengan linangan air mata. " Aku minta maaf, Ris. Aku tau, keadaanku seperti ini adalah karma dari perbuatanku kepadamu. Aku minta maaf, ya. Tolong, jangan dendam padaku! Karena aku tau, waktuku sudah tak lama lagi. Penyakit ini setiap detik terasa menyiksa. Kalau bisa, aku ingin secepatnya mati saja, dari pada menahankan sakit seperti ini.""Memangnya kamu sakit apa, Git? tanyaku penasaran."Kanker serviks," jawabnya singkat."Astagfirullah. Penyakitmu separah itu, kenapa tak berobat, Gita? "Bagaimana mau berobat, Ris? Untuk makan saja aku tak punya uang," ujarnya sedih."Tadi kata dokter, kau harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Jadi, kami akan ba
Read more
Bab 113
Pagi-pagi setelah selesai sarapan, aku dan Mbak Susi membawa anak-anak Gita ke rumah sakit. Aku ingin melihat keadaannya sekaligus menanyakan kepada dokter bagaimana pengobatan Gita selanjutnya. Bang Ardi menyanggupi untuk membayar semua biaya pengobatan Gita sampai sembuh. Bang Ardi mengirim seorang supir kantor ke rumah untuk mengantar kami ke rumah sakit. Setelah berkemas, kami segera naik ke dalam mobil. Pak Ujang, supir yamg di kirim Bang Ardi melajukan mobilnya dengan hati-hati. Untung saja anak-anak Gita, anak yang baik budi. Selama tidur tadi malam tidak ada yang rewel. Kata, Mbok Nah, hanya dua kali dia bangun untuk membuatkan susu untuk Farel.Kami sudah sampai di pelataran rumah sakit. Mayra tampak senang sekali karena akan bertemu Mamanya. Farel kelihatan lebih segar pagi ini."Mama masih sakit ya, Tante?" tanya Mayra ketika kami berjalan menuju ruangan tempat Gita dirawat."Iya, Sayang. Doakan agar Mama cepat sembuh, ya!" sahutku sembari mengusap lembut kepalanya. Dia m
Read more
Bab 114
Aku tak perlu mengingat kesalahan Gita. Dia kini sudah sadar. Sekiranya ini balasan dari kesalahannya dulu, aku memohon kepada Allah agar mengampuninya dan segera mengangkat penyakitnya. Tak tega hati ini melihat penderitaan Gita. Disaat penyakitnya sangat parah, dia terlunta-lunta di jalan, tanpa mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Jangankan pengobatan, makan saja susah, apalagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Pasti Gita sangat menderita sekali. "Kau sudah bertemu dengan Bang Ridwan? Aku ingin sekali bertemu dengannya, Ris. Aku ingin minta maaf karena telah mengambil seluruh uangnya. Aku juga banyak salah padanya," pinta Gita memelas. "Aku akan mengatakan hal ini pada suamiku. Biar dia yang menceritakan pada Bang Ridwan. Mudah-mudahan dia mau datang ke sini, Git. Sekarang, tenangkanlah pikiranmu. Fokus pada pengobatan, agar kau segera sembuh," ujarku lagi."Entah terbuat dari apa hatimu, Ris. Aku benar-benar malu telah membuatmu menderita dulu. Sekali lag
Read more
Bab 115
"Apa ada yang bernama Ridwan? Bu Gita dari tadi menyebut-nyebut nama itu," kata suster tersebut."Saya, Ridwan, Sus," sahut Bang Ridwan."Silakan masuk, Pak. Mungkin Ibu Gita ingin bertemu dengan Bapak," ujarnya lagi.Bang Ridwan menatap Tiwi sesaat. Mungkin dia tidak enak hati dengan istri barunya itu. Tiwi tersenyum seraya mengangguk, mengizinkan suaminya untuk masuk ke dalam menemui Gita. Setelah mendapat persetujuan dari istrinya, Bang Ridwan melangkah mengikuti suster, masuk ke dalam ruangan. Kami menunggu dengan cemas di sini. Kedua anak Gita yang tadinya anteng, tiba-tiba menangis.sembari memanggil-manggil Mama mereka. Tak berselang lama, Bang Ridwan keluar dari ruangan dengan mata berkaca-kaca. "Gita sudah meninggal," ucapnya sedih.Tanpa pikir panjang, aku segera menghambur ke dalam ruangan, diikuti oleh Mayra. "Mohon maaf, kami tidak dapat menyelamatkan Bu Gita. Beliau telah meninggal," ujar Dokter yang memeriksa Gita tadi, lalu dia beranjak meninggalkan ruangan ini."G
Read more
Bab 116
POV TIWITujuh tahun kemudian. "Gak apa-apa kalau Abang pergi sendiri ke acara itu, kan, Bang? Sebenarnya Tiwi ingin sekali ikut, tapi kondisi perut ini yang sudah semakin membesar, jadi susah gerak," ujarku sembari meletakkan beberapa potong baju ke dalam tas Bang Ridwan. "Gak apa-apa, lagian kalau tidak bisa ngapain dipaksakan. Kalau nanti terjadi apa-apa di jalan bagaimana? Abang tidak mau calon anak Abang kenapa-kenapa. Jadi, istri tercinta Abang ini istirahat saja di rumah. Abang yakin, Risa dan Ardi pasti maklum," sahut Bang Ridwan dengan senyum termanis yang dimilikinya. Hari ini Bang Ridwan akan pergi ke acara khitanan Tama, anak kandung Bang Ridwan dan Mbak Risa. Seminggu yang lalu, Bang Ardi menelpon dan mengundang kami untuk hadir di acara itu. Sebenarnya aku ingin sekali ikut ke acara itu. Kalau saja kami masih tinggal di rumah yang dulu, sudah pasti aku ikut ke sana, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi karena sekarang kami sudah pindah ke luar kota, menyebabkan j
Read more
Bab 117
POV TIWIEntah sejak kapan, aku tertidur di depan televisi. Aku terbangun karena mendengar suara ponsel yang berdering. aku melihat sudah jam sebelas siang. Kuraih ponsel yang tergelatak di atas meja di depanku. Ada dua panggilan tak terjawab dari Bang Ridwan. Ada apa Bang Ridwan meneleponku. Jangan-jangan ada hal penting. Aku mencoba menghubungi kembali nomor Bang Ridwan. Begitu panggilan tersambung aku langsung mengucapkan salam. "Assalammualaikum. Maaf kan Adek, Bang. Tadi ketiduran, jadi...."Kata-kataku terputus, karena ada suara wanita yang tiba-tiba saja menyahuti salam dariku. "Waalaikumsalam, halo...ini dengan siapa?" tanyanya dari seberang sana.Jantungku berdegup kencang. Aku sangat terkejut, kenapa yang mengangkat panggilanku, seorang wanita? Dimana Bang Ridwan?"Saya yang harusnya bertanya. Anda siapa? Kenapa hape suami saya ada pada anda?" ujarku heran. Gimana sih, Bang Ridwan. Kok, hapenya bisa dipegang orang. Atau jangan-jangan Bang Ridwan tak pergi sendirian, dia m
Read more
Bab 118
POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat
Read more
PREV
1
...
8910111213
DMCA.com Protection Status