All Chapters of DIA AYAHKU: Chapter 51 - Chapter 60
111 Chapters
Part 51
Aku berjalan gontai memasuki pagar rumah menuju halaman depan. Belum ada Ayah yang selalu setia menungguku pulang kerja setiap sore. Hana mengijinkanku pulang lebih awal agar bisa menenangkan diri. Aku berjalan pelan memasuki rumah dengan tembok cat berwarna putih bersih itu. Kutelusuri halaman yang beberapa bagian berpaving blok, sementara bagian yang lain masih ditumbuhi rumput jepang sebagai penghijau mata yang memandang. Ku ketuk pintu perlahan agar Ayah tahu aku pulang. Sengaja tak kugunakan kunci cadangan, karena pasti kunci depan masih menggantung dan tak bisa dibuka. Wajah Ayah heran melihatku pulang lebih cepat. Dia terlihat khawatir melihat mataku yang kini sembab. Tak dapat lagi kutahan rasa sesak ini. Segera kuterkam tubuh Ayah sesaat setelah pintu terbuka sebelum sempat masuk ke rumah. Ayah terdiam membelai lembut rambut lurusku yang kini terurai melewati pundak. Bahuku bergetar tanpa sanggup tuk berkata apa-apa. Ayah membiarkanku menangis tanpa bertanya. Mungkinpun A
Read more
Part 52
Usai mandi dan berbenah diri aku keluar dari kamar. Kulihat Ayah melipati pakaian yang mungkin tadi baru diangkatnya dari jemuran. Pakaian itu hanya pakaian sehari-hari yang jarang aku setrika. Selain untuk menghemat listrik di rumah Paman, baju-baju kaos dan juga celana dengan bahan ringan milik kami juga tak terlalu kusut karena kujemur dengan menggunakan gantungan baju. Aku menuju dapur dan melihat makanan apa yang tersisa. Ternyata selera makan Ayah kembali berkurang. Bisa kulihat dari sedikitnya berkurang makanan yang tadi pagi aku masak. Sikap yang Ayah tunjukkan tadi hanyalah sebuah kebohongan. Hatinya pasti masih merasakan perih, hingga mengganggu selera makannya yang akhir-akhir ini sudah stabil. Kurasakan panci sup masih terasa hangat. Mungkin baru saja dipanaskan oleh Ayah. Jikapun mungkin kompor ini diletakkan di bawah, Ayah akan memasak untuk aku dan Paman.Tapi saat ini dia sama sekali tak bisa melakukan hal itu. Kaki Ayah tak dapat bertumpu jika tangan kanannya terl
Read more
Part 53
"Paman tidak lihat aku sudah mandi?""Aku bukan anak kecil yang bisa kau suruh-suruh seperti ini.""Sudah, menurut saja!" Kami sampai di dalam dan aku melepaskan tanganku dari lengannya. Wajahnya kembali memerah. Selalu saja dia bersikap begitu saat aku menyentuhnya. Dia tak harus marah jika hanya masalah sepele seperti ini. Lagipula apa yang kulakukan, tak akan mungkin sampai menyakiti kulit putih yang mungkin jauh lebih mulus dari kulitku itu. "Aku baru akan bercerita pada Ayahmu soal adikmu... ""Itulah yang ingin aku katakan pada Paman," selaku. "Jangan katakan apapun pada Ayah.""Kau tidak ingin dia tahu?""Lupakan saja dulu masalah itu. Ayah masih ingin pergi berlibur.""Benarkah?""Hemm..." aku mengangguk. **********'Ibu ada di seberang jalan.' Kulihat ada nomor baru masuk dan mengirim pesan singkat melalui pulsa.Gegas aku yang tadi tidur-tiduran di kamar segera keluar. Kulirik Ayah dan Paman masih asik menonton acara liga dangdut di ruang tivi. Per
Read more
Part 54
Aku kembali melepaskan pelukan Ibu. Kemudian menatapnya. "Bukan itu, Bu. Sarah merasa sakit karena dia mengatakan kalau Sarah bukanlah anak Ayah.".Aku masuk setelah melihat Ibu menjauh dibawa seseorang dengan berjaket dan helm hijau. Kuselipkan selembar sisa-sisa uang yang kupunya untuk membayar jasanya. Aku kembali berjalan sembari mengunci pagar dengan gembok. Langkah demi langkah kupijakkan sampai akhirnya kulihat Paman duduk di lantai teras dengan kedua tangan bertumpu di kedua lututnya. Aku terkejut bukan main. Entah sudah berapa lama dia di sini menungguku. Sadarkah dia jika tadi aku keluar secara diam-diam? Lalu bagaimana dengan Ayah? "Paman sedang apa?" tanyaku ragu-ragu. "kenapa kau masih saja menemuinya?" suaranya terdengar datar. Eh? Paman melihat Ibuku datang? "Aku..., itu... ""Kau bilang sudah melupakannya," nada bicaranya sedikit meninggi. "Benar. Tapi aku tidak bisa, Paman. Hubungan kami tidak mungkin bisa terputus begitu saja.""Tapi kau sudah berjanji.""It
Read more
Part 55
Aku dan Paman sampai di ruko sebelum pukul delapan. Seperti biasa, karena aku sampai sebelum jam operasional kafe dimulai, aku hanya bisa menunggu di depan ruko, tanpa berniat membangunkan penghuni-penghuni yang tinggal di lantai atas hanya untuk membukakan pintu untukku. Paman sudah masuk ke kantornya. Aku duduk di pinggiran teras sembari mengubah setelan paket data menjadi wifi di ponselku. Kumainkan layar dengan berselancar di dunia maya. Tanpa menduga orang itu sudah berdiri dan menarik tanganku hingga terbangkit dan berdiri. Aku mengikutinya berjalan menjauh dari kafe. Sengaja aku tak menampik pegangan tangannya karena tahu dia pasti tidak akan melepaskanku begitu saja. Kami sampai di ruko ujung, yang agak jauh dari kafe dan juga kantor Paman. Dia menghentikan langkah dan mulailah aku melepaskan tangan besar itu. Dia pun tak lagi menahannya. "Kau lagi," ucapku datar. "Mau apa?""Kau sudah tahu aku pasti tidak akan menyerah, bukan?" sahutnya penuh harapan. "Jangan datang lagi
Read more
Part 56
"Tentu saja, sayang. Pria manapun pasti akan tertarik padamu. Dan aku tidak suka itu." Dia mengembalikan tangannya seperti semula. Mengerti bahwa aku menolak sentuhannya. "Apa hatimu sakit?""Benar-benar sakit."Hatiku tertawa bahagia. Orang ini masih merasakan cemburu dan juga rasa sakit. Artinya aku benar-benar masih berada dalam hatinya. Kini tanganku yang mulai mengudara. Kusentuh sedikit rambut depannya yang hampir menutupi mata, andai tak di sisir rapi ke arah samping. Namun sesering apapun rambut lurus itu disisir kebelakang, tetap saja kembali dan menjuntai kembali ke tempatnya semula. Kusingkap sedikit rambut berwarna hitam pekat itu, demi melihat luka yang tadinya ditutupi perban. Kini sudah mulai membaik dan hanya ditempel plaster berwarna coklat saja. Apakah lukanya sudah mengering? Kuusap perlahan bekas pukulan yang kubuat kemarin. Membelai lembut hingga menyentuh plasternya dengan ibu jariku. Dia memejamkan mata perlahan, mencoba menikmati belaian yang mungkin selama
Read more
Part 57
Hari ini sesuai janji, aku dan Paman mengajak Ayah untuk pergi berlibur. Kolam air panas di kaki gunung Sibayak menjadi pilihan kami. Ayah bilang ingin mengendurkan urat-urat syarafnya yang tegang. Mungkin ada enaknya setelah kedatangan terakhir kami ketika Nenek dan yang lainnya datang kemarin. Teringat saat Ayah menikmati pijatan Om Juar tempo hari. Saat itu, Om Juar berendam di dalam kolam, sementara Ayah duduk di tepian degan kedua kaki terjulur di dalam air. Ayah terlihat merasakan kelegaan, mungkin sakitnya sedikit berkurang karena pijatan itu..Paman bersemangat menyetir mobil yang diidam-idamkannya selama ini. Wajah Ayah yang duduk di sampingnya juga terlihat sumringah. Terlebih lagi gadis yang tidak mau kalah yang kini duduk di samping kiriku. Pipi cabinya terlihat merona memandangi wajah Paman dari kursi belakang tempat kami duduk. Belum lagi gadis yang memakai headset yang kini duduk di samping kananku. Ditambah lagi tiga orang sekawanannya yang tiada henti bercerita dan
Read more
Part 58
Jatuh sudah air mata kebahagiaanku melihat sesekali Ayah mengusap pucuk kepala Paman. Hubungan mereka memang lebih pantas sebagai Ayah dan anak. Hanya karena tuturan silsilah, kini mereka terjebak dalam hubungan Abang beradik. Aku terus memandangi kegiatan mereka sambil merendam kakiku di sumber mata air gunung Sibayak di tanah Karo ini. Dinginnya udara terbayar dengan kakiku yang kini mulai menghangat. "Hei, kenapa tidak bergabung di sana?" suara Hana mengagetkanku sembari menyentuh pundakku. "Tidak ada. Aku hanya tak ingin mengganggu aktivitas mereka," sahutku tanpa mengalihkan pandangan. "Paman kau itu begitu penyayang," pujinya sambil ikut menurunkan kaki di hangatnya air belerang. "Kau menyukainya?""Kau tahu aku menyukai semua pria tampan.""Kalau begitu, kenapa tak kau perdulikan penampilanmu itu?""Tidak cukupkah kalau aku kaya saja?"Aku tertawa kecil. Hana benar-benar sedang menguji kesabaranku. "Ya, itu cukup," sindirku. "Cukup untuk morotin semua milikmu, setelah itu
Read more
Part 59
Standar motor telah diturunkan. Helm berwarna merah senada dengan warna kendaraan, juga dia lepaskan. Diulurkan tangan ke arah Ayah, langsung meraih dan menciumnya sebelum Ayah menyambutnya. Dia seperti sudah terlihat akrab dan merasa diterima. Kupandangi wajah Paman yang sama sekali tak menyukai keadaan itu. Sorot matanya tajam kepada lelaki yang mungkin akan merusak suasananya malam ini. Pintu pagar telah tergeser dibuatnya. Paman diam saja, lalu masuk meninggalkan kami. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku atas kediamannya. "Masuklah!" pinta Ayah kepadanya. "Sudah malam, Yah. Ayah tidak lihat wajah Paman tadi?" sahutku cepat sebelum Andar merasa kedatangannya kami sambut. "Tidak enak dilihat orang, bicaralah di dalam. Jangan berbicara di pinggir jalan seperti ini.""Tidak akan lama, Yah. Dia akan segera pulang. Benarkan, Andar?" yakinku. Andar menatapku, kemudian mengangguk ke arah Ayah. ."Apa kau tidak lelah?" ucapku saat Ayah sudah menyusul Paman ke dalam rum
Read more
Part 60
"Dia Pamanku. Sama halnya seperti Ayahku. Jangan usik lagi masalah status hubungan kami, atau aku tak akan bicara lagi padamu," ancamku. "Ya. Aku akan mencobanya. Tapi kau tak akan menghindariku lagi, bukan?""Itu cukup bagimu?" "Ya. Aku akan terus datang. Kau tahu aku tak akan menyerah secepat itu.".Aku bersiap untuk berangkat kerja. Ini adalah minggu terakhir liburan semester. Minggu depan adalah tahun ajaran baru dan aku akan naik ke tingkat berikutnya. Otomatis jadwal kerjaku akan kembali normal seperti biasanya. Jam kerjaku akan dimulai sepulang kuliah, dan akan pulang pada malam hari. Sepeda motorku yang mirip dengan kepunyaan Paman, akan beraksi kembali menemaniku melintasi jalan. Namun waktuku akan kembali tersita dan hanya punya sedikt waktu untuk Ayah. Aku keluar dari kamar setelah mengenakan pakaian keseharianku. Kemeja lengan panjang dan juga celana bahan berwarna hitam. Kulihat Ayah duduk di meja makan seorang diri. Menghadapi masakan yang kusiapkan tadi, sebelum ma
Read more
PREV
1
...
45678
...
12
DMCA.com Protection Status