All Chapters of DIA AYAHKU: Chapter 41 - Chapter 50
111 Chapters
Part 41
Selesai makan aku dan Ayah ngobrol di teras depan, sementara Paman beristirahat di dalam kamar. Aku tak habis pikir kenapa Paman sampai nekat mendatangi temannya itu, kemudian menghajarnya. Seharusnya dia tau, tempat yang dia datangi itu merupakan tempat kost-kostan khusus lelaki. Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam saat tahu teman satu wilayah mereka dipukul oleh orang yang tak dikenal, meskipun sebenarnya mereka berteman. Alhasil Paman dikeroyok dan dipukuli habis-habisan."Kalau satu lawan satu tentu aku sudah menang dari awal," jawab Paman dengan lantang saat makan siang tadi. Ayah bukannnya memarahi, malah memuji keberaniannya dalam membela harga diri. Wajah Paman yang tadinya murung tampak berseri mendengar penuturan Ayah. "Begitulah laki-laki sejati," ucap Ayah. Paman tertunduk menyembunyikan senyum sumringahnya. ***************"Bos, Minggu depan boleh pinjam mobil tidak? Aku dan Paman ingin membawa Ayah berendam di air panas," bujukku kepada
Read more
Part 42
Saat itu Ayahku sudah terlanjur jatuh cinta dan sulit untuk diberi tahu. Sehingga dia abai dan memutuskan untuk diam-diam pergi dari rumah dan meninggalkan cita-cita yang sudah lama diimpikan oleh Kakekku. Ayah dan Ibu memilih kawin lari dan pergi merantau ke kota Medan. Di sinilah mereka tinggal dan hidup sederhana sampai diusia satu tahun pernikahan mereka, Dan Ibu mulai mengandung.Ayah memberanikan diri membawa Ibu pulang ke rumah orang tuanya. Berharap mereka mau menerima dan mengakui keberadaan istri dan juga calon anaknya. Sekejam-kejamnya orang tua, tak akan mungkin tega mengusir kembali buah hatinya. Akhirnya pernikahan Ibuku di pestakan secara adat dengan mengundang seluruh penduduk kampung. Untuk berapa waktu lamanya, mereka tinggal di rumah Kakek dan Nenek. Namun bukan Ibu namanya, jika tak bisa membuat orang lain naik darah. Dia terlibat perselisihan dengan Nenek dan kembali memutuskan untuk pindah dan kembali merantau ke kota. Dengan pilihan yang berat, lagi-lagi Ayah
Read more
Part 43
Aku berusaha untuk bersikap sewajarnya. Menetralkan segala rasa, yang dulu pernah singgah dan sempat menetap di dalam hati. Ayah dan orang itu sudah menyadari keberadaanku, sesaat setelah terdengar suara deru mesin kendaraan Paman. Sekuat tenaga aku mencoba menahan gejolak pertanyaan yang selama ini aku simpan rapat-rapat. Bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja? Bagaimana pekerjaannya, kenapa tiba-tiba pergi dan menjauh? Pertanyaan itu sering sekali terukir di papan pesan whatsapp yang di atasnya masih tersimpan namanya. Namun kata demi kata itu selalu saja kuhapus kembali dan mengembalikannya ke posisi semula. Kini semua pertanyaan itu lenyap bersama air mata Ayah yang membanjiri pipi dan menyesakkan dadanya. Apakah posisi berlutut itu tidak terlalu berlebihan? Hanya karena dia meninggalkan Ayah, begitu tahu Ayah lumpuh dan jatuh miskin? Haruskah sampai sebegitunya dia menyesali diri. Ataukah ada hal lain yang membuatnya begitu merasa bersalah?Sebisa mungkin kuatur suar
Read more
Part 44
"Kalau tidak ingin menjawab, pulang saja!" Lagi-lagi aku seperti orang yang berbicara pada diri sendiri karena tak ada jawaban dari mulut mereka. "Kau hanya akan mengganggu kesehatan Ayahku."Aku menarik tangan Ayah, mencoba membantunya lebih cepat berdiri. "Kita masuk saja, Yah," ucapku mencoba untuk tak terpengaruh dengan kediaman mereka. Namun tanpa diduga, tangan besar itu menyentuh dan meraih pergelangan tanganku. Aku membalikkan badan, kudapati dia yang kembali menatapku dengan tatapan intens dengan matanya yang kini telah memerah. Bisa kuartikan kalau dia memintaku untuk tidak pergi dan tetap dalam posisiku semula. "Ada apa lagi?" Aku membiarkan tangan itu kembali menyentuh kulitku seperti waktu itu. Seperti saat kami masih berpacaran dan dia menggenggam erat tanganku sepanjang jalan."Aku tak menyalahkanmu untuk semua keputusan itu. Kau punya hak untuk memilih yang terbaik. Jika aku bukanlah hal terbaik dalam hidupmu, kau berhak untuk pergi. Jadi pergi saja. Jangan sampai k
Read more
Part 45
Gemuruh di dada kian menyesak. Bak tersambar petir telinga ini begitu mendengar pengakuannya. Dengan kekuatan seperti apa yang dia bawa hingga sanggup bersikap jujur dan berterus terang kepada kami? "Kau... yang sudah membuat Ayahku menjadi seperti ini?" Air mataku mengalir deras begitu saja. Kubiarkan tanpa berniat menahannya. Beraninya dia kembali datang dalam kehidupan kami lagi setelah melarikan diri begitu saja. "Maafkan aku. Aku tak bisa lagi hidup dalam rasa bersalah seperti ini." Dia kembali berlutut sambil memegangi kedua bahuku yang kini masih bergetar. Ayah tak dapat lagi berkata apa-apa. Hanya bisa menangis menyaksikan aku yang kini tengah hancur. Ada rasa nyeri yang menusuk di dalam hati. Bayangan masa lalu saat Ayah terbaring lemah menutup mata kembali hadir di ingatan. Kaki dan kepala Ayah yang terbungkus kain perban membuat ngeri semua orang yang melihatnya. Kupikir Ayahku akan segera mati mengingat begitu lamanya dia tak sadarkan diri. Hanya mukjizat saja yang me
Read more
Part 46
"Kau tidak berangkat kerja?" Kepala Paman muncul dari balik pintu kamar. Aku kembali menarik selimut sampai ke kepala tanpa menjawab pertanyaannya. "Kau baik-baik saja?" dia menarik selimut yang menutupi wajahku. "Menurut Paman aku baik-baik saja?" aku duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur. Kurasakan mataku memberat dan agak kabur. Mungkin membengkak akibat menangis semalaman. "Temuilah Ayahmu. Kau tahu dia lebih terluka ketimbang kau. Tadi malam Andar bilang ingin melamarmu, dan dia ingin merawat Ayahmu serta menanggung hidup kalian selamanya," terang Paman. Wajahnya terlihat kecewa. Aku memandang wajahnya yang masih penuh dengan memar itu. Dia sudah terlihat rapi menggunakan kemeja kantornya dan bersiap-siap untuk berangkat. "Paman sudah sarapan?" "Nanti saja. Kau jangan mencemaskan apapun tentang aku.""Apa Ayah berada di kamarnya? Dia menangis?""Dia hanya memikirkan perasaan kau saja. Bagaimana kini kau bisa hidup dan mencintai laki-laki yang seharusnya paling kau
Read more
Part 47
Aku kembali bersandar di kursi kasir. Mengamati para pelanggan yang hilir mudik keluar masuk untuk makan atau hanya sekedar minum dan bersantai.Suasana kafe dengan nuansa berwarna oranye itu terlihat lenggang. Tak seramai saat sore atau malam hari. Hana baru saja tiba dan langsung berdiri memandangiku dengan perasaan iba. Dipandanginya wajahku lamat-lamat, kemudian menghela nafas. "Ikutlah ke ruanganku!" perintahnya. Tanpa membantah aku langsung mengekor dari belakang. Sama sekali tak ada niatan menggodanya seperti yang hari-hari biasa kulakukan. "Kau baik-baik saja?" gadis berkacamata tebal itu meletakkan tas dengan merek bergambar simbol dari 'lelaki mata keranjang' yang tadi di jinjingnya di atas meja. Posisinya yang masih berdiri di hadapanku itu dia gunakan untuk memandangi sorot mataku. Dia sepertinya mengerti betul perasaanku saat ini, begitu tau tentang kejadian malam itu melalui sambungan udara. "Entahlah, Han. Aku hanya memikirkan Ayah saja. Bagaimana dia bisa tenang m
Read more
Part 48
Pemuda dengan dahi tertutup perban itu terus saja berjalan melewati meja demi meja yang biasanya dia singgahi. Aku membuang pandangan begitu dia sampai di depan meja kasir menatapku dengan tatapan sendu. Dan memang tempat inilah satu-satunya tujuannya. "Kau baik-baik saja?" suara itu seperti tanpa merasa berdosa berucap kepadaku. Aku hanya bergeming tak menjawab. "Bisakah kita bicara dengan tenang sekarang?" lagi, kata-kata itu terdengar seperti memaksa di telingaku. Aku bangkit dan berdiri, melangkah untuk menghindari pertemuan kali ini dengannya. Namun belum sempat aku menjauh, seperti sudah terbiasa dia langsung menarik paksa tanganku agar tak lagi meninggalkannya. "Jangan pergi!" pintanya. "Kau yang pergi! Aku tak sudi lagi melihat wajahmu!" aku mencoba menepiskan pegangan itu. Seperti sudah membaca reaksiku, diapun mempersiapkan diri menguatkan pegangannya. "Lepaskan!" aku mulai memberontak. "Aku tidak ingin lagi melepaskanmu," genggamannya semakin terus mengencang saat ak
Read more
Part 49
"Wow. Adegan seperti apa ini? Kau sekarang punya pacar, Kak?" suara Dara membuatku dan Andar menoleh bersamaan. Gegas ku hempaskan genggamannya yang masih melekat saat dia mulai lengah. Kuusap pergelangan tanganku yang mulai memerah. Dia bahkan tak menyadari sudah menyakiti fisikku seperti ini. "Kau siapa?" wajah Andar terlihat tidak suka. "Aku adiknya. Apa kalian berpacaran? Dia bahkan tak mengenalkan kau padaku," sahut Dara sambil melengkungkan rambutnya ke dalam dengan telapak tangannya. "Aku juga tidak ingin mengenalmu," sikap Andar terlihat sinis. Ayah pasti telah bercerita sampai sedetil-detilnya tentang permasalahan keluarga kami hingga dia turut merasakan kebencian terhadap adikku. "Sombong sekali. Memangnya kau siapa? Berani berkata seperti itu.""Kau mau apa ke sini?" tanyaku menyela pembicaraan mereka."Berikan aku uang, Kak. Kau lihat wajahku sedang mengering." Dibukanya masker yang tadi menutupi separuh wajahnya. "Sudah sebulan lebih aku tak memakai perawatan," renge
Read more
Part 50
"Untuk mempertanggungjawabkan semuanya. Namun Kakakmu menolak. Kau bisa membujuknya? Gadis mata duitan sepertimu pasti akan melakukan berbagai cara jika aku memberimu upah, kan?"Apa? Apa yang sedang dibicarakannya? "Benar kau datang untuk bertanggung jawab? Kenapa Kak Sarah sampai menolak? Berapa yang kau tawarkan padanya?""Aku akan menikahinya, dan Ayahnya sudah setuju.""Bicara apa kalian? Kau bermaksud menyembunyikan semua ini pada aku dan Ibu, Kak? Kau ingin menikmati hidup enak hanya berdua dengan Ayah?" Dara balik menoleh ke arahku."Kau bicara apa? kau pikir aku mau?" aku mengelak. "Kau salah orang, Bung," lagi, Dara kembali menoleh ke arahnya. "Jika kau ingin bertanggung jawab, maka hanya kepadaku kau wajib melakukannya," Dara kembali mengoceh. "Kau harus mengganti semua yang telah hilang dari kami. Uang, rumah, mobil. Kembalikan itu semua baru kami akan memaafkanmu.""Dara!" bentakku. Gadis ini semakin tak punya harga diri saja. Dia hanya akan membuat Andar semakin meman
Read more
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status