Hari ini sesuai janji, aku dan Paman mengajak Ayah untuk pergi berlibur. Kolam air panas di kaki gunung Sibayak menjadi pilihan kami. Ayah bilang ingin mengendurkan urat-urat syarafnya yang tegang. Mungkin ada enaknya setelah kedatangan terakhir kami ketika Nenek dan yang lainnya datang kemarin. Teringat saat Ayah menikmati pijatan Om Juar tempo hari. Saat itu, Om Juar berendam di dalam kolam, sementara Ayah duduk di tepian degan kedua kaki terjulur di dalam air. Ayah terlihat merasakan kelegaan, mungkin sakitnya sedikit berkurang karena pijatan itu..Paman bersemangat menyetir mobil yang diidam-idamkannya selama ini. Wajah Ayah yang duduk di sampingnya juga terlihat sumringah. Terlebih lagi gadis yang tidak mau kalah yang kini duduk di samping kiriku. Pipi cabinya terlihat merona memandangi wajah Paman dari kursi belakang tempat kami duduk. Belum lagi gadis yang memakai headset yang kini duduk di samping kananku. Ditambah lagi tiga orang sekawanannya yang tiada henti bercerita dan
Jatuh sudah air mata kebahagiaanku melihat sesekali Ayah mengusap pucuk kepala Paman. Hubungan mereka memang lebih pantas sebagai Ayah dan anak. Hanya karena tuturan silsilah, kini mereka terjebak dalam hubungan Abang beradik. Aku terus memandangi kegiatan mereka sambil merendam kakiku di sumber mata air gunung Sibayak di tanah Karo ini. Dinginnya udara terbayar dengan kakiku yang kini mulai menghangat. "Hei, kenapa tidak bergabung di sana?" suara Hana mengagetkanku sembari menyentuh pundakku. "Tidak ada. Aku hanya tak ingin mengganggu aktivitas mereka," sahutku tanpa mengalihkan pandangan. "Paman kau itu begitu penyayang," pujinya sambil ikut menurunkan kaki di hangatnya air belerang. "Kau menyukainya?""Kau tahu aku menyukai semua pria tampan.""Kalau begitu, kenapa tak kau perdulikan penampilanmu itu?""Tidak cukupkah kalau aku kaya saja?"Aku tertawa kecil. Hana benar-benar sedang menguji kesabaranku. "Ya, itu cukup," sindirku. "Cukup untuk morotin semua milikmu, setelah itu
Standar motor telah diturunkan. Helm berwarna merah senada dengan warna kendaraan, juga dia lepaskan. Diulurkan tangan ke arah Ayah, langsung meraih dan menciumnya sebelum Ayah menyambutnya. Dia seperti sudah terlihat akrab dan merasa diterima. Kupandangi wajah Paman yang sama sekali tak menyukai keadaan itu. Sorot matanya tajam kepada lelaki yang mungkin akan merusak suasananya malam ini. Pintu pagar telah tergeser dibuatnya. Paman diam saja, lalu masuk meninggalkan kami. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku atas kediamannya. "Masuklah!" pinta Ayah kepadanya. "Sudah malam, Yah. Ayah tidak lihat wajah Paman tadi?" sahutku cepat sebelum Andar merasa kedatangannya kami sambut. "Tidak enak dilihat orang, bicaralah di dalam. Jangan berbicara di pinggir jalan seperti ini.""Tidak akan lama, Yah. Dia akan segera pulang. Benarkan, Andar?" yakinku. Andar menatapku, kemudian mengangguk ke arah Ayah. ."Apa kau tidak lelah?" ucapku saat Ayah sudah menyusul Paman ke dalam rum
"Dia Pamanku. Sama halnya seperti Ayahku. Jangan usik lagi masalah status hubungan kami, atau aku tak akan bicara lagi padamu," ancamku. "Ya. Aku akan mencobanya. Tapi kau tak akan menghindariku lagi, bukan?""Itu cukup bagimu?" "Ya. Aku akan terus datang. Kau tahu aku tak akan menyerah secepat itu.".Aku bersiap untuk berangkat kerja. Ini adalah minggu terakhir liburan semester. Minggu depan adalah tahun ajaran baru dan aku akan naik ke tingkat berikutnya. Otomatis jadwal kerjaku akan kembali normal seperti biasanya. Jam kerjaku akan dimulai sepulang kuliah, dan akan pulang pada malam hari. Sepeda motorku yang mirip dengan kepunyaan Paman, akan beraksi kembali menemaniku melintasi jalan. Namun waktuku akan kembali tersita dan hanya punya sedikt waktu untuk Ayah. Aku keluar dari kamar setelah mengenakan pakaian keseharianku. Kemeja lengan panjang dan juga celana bahan berwarna hitam. Kulihat Ayah duduk di meja makan seorang diri. Menghadapi masakan yang kusiapkan tadi, sebelum ma
"Kau menungguku?" pria dengan kaos putih, berbalut kemeja kotak-kotak lengan panjang yang tidak dikancing itu bicara asal. Aku memutar bola mata malas, dan tak menjawabnya. "Kau sudah berjanji untuk tak mengacuhkanku!" tuntutnya. Dengan terpaksa aku mengalah dan mengikutinya masuk. Aku juga merasa lelah menegangkan urat leher yang baru saja kuterapi di sumber mata air panas kemarin. "Kau sudah pulang kerja?" aku memberikan daftar menu saat dia duduk dan meletakkan ransel itu di atas meja. "Kau lupa, kalau aku tak punya kantor dan jam kerja? Aku bisa mengerjakan tugasku dimana saja," dia mulai menyulut rokok. Andar memanglah bukan pegawai seperti kami. Dia hanya meneriman pekerjaan dari satu pesanan ke pesanan yang lain. Dengan koneksi dan juga hasil kerja yang memuaskan, tentulah pekerjaan itu dengan mudah dia dapatkan. Belum lagi, waktu dan tempat yang sama sekali tidak mengikat, membuat dia betah dengan profesinya sebagai designer ruangan itu. Tak lama pesanannya datang, aku
Aku kembali mengendalikan kendaraan roda dua berbodi besar ini. Meluncur dengan kecepatan sedikit meninggi dari biasanya. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat sampai ke rumah. Apa lagi kesalahanku kali ini. Paman tak pernah lagi merajuk setelah kedatangan Nenek tempo hari. Setelah tahu sifatnya seperti itu, aku juga tak pernah menggodanya hingga melewati batas. Aku bahkan selalu meminta maaf atas sikapku yang mungkin sedikit nakal telah menggodanya. Paman juga sudah mengampuni saat kemarin aku memberikan kakiku kepadanya. Dia tak marah sama sekali atas sikap kurang sopanku waktu itu. Terlebih lagi, dia bahkan mengajakku berenang bersama di kolam renang air dingin yang letaknya tepat bersebelahan dengan kolam air panas tempat kami tadi. Ayah merasa terhibur saat melihat kami melucur dari atas perosotan itu. Paman sengaja mengambil posisi di depan agar aku saja yang menimpa tubuhnya jika terjatuh. Dan benar saja, begitu dia meluncur kebawah, aku menyusul dan langsung menenggelamkan t
Sudah beberapa hari ini Paman masih saja mendiamkanku. Berbagai macam cara sudah kulakukan untuk mencoba mengajaknya berbicara. Mulai dari mengantar susu panas setiap malam ke kamarnya, bahkan mengelap debu-debu di motornyapun aku rela. Namun hasilnya tetap sama. Dia tetap saja mengabaikanku. Dia bahkan terus menghindari pertemuan kami. Pernah aku berpikir bahwa dia benar-benar bosan dengan kehadiranku dan Ayah. Namun melihat sikapnya yang masih seperti biasa dan masih perhatian terhadap Ayah, membuatku berpikir bahwa ini adalah murni kesalahanku. Ini mungkin rekor terlamanya sama sekali tak berbicara. Biasanya hanya bertahan satu hari saja, begitu aku merengek dan minta dimaafkan. Dia hanya cemberut dan mengomel layaknya Nenek. Namun kali ini keadaanya berbeda. Paman sama sekali tak ingin melihat wajahku. Aku jadi merindukan tatapan yang biasanya tersenyum atau bahkan cemberut sekalipun. Aku benar-benar merindukannya. Aku mencoba mengulik kembali kejadian-kejadian yang mungkin m
Sejak kejadian itu aku tak pernah lagi berhubungan dengan Dara. Dia pun tak lagi datang untuk menggangguku. Lalu dari mana dia mendapatkan uang yang disebutkan Ibu tadi? Atau jangan-jangan, dia kini berhubungan dengan Andar dan meminta uang darinya sebagai bentuk tanggung jawab? Memalukan. Gadis itu benar-benar membuatku muak. Pantas saja pria yang kini menjadi mantan kekasihku itu terus saja datang dan berharap aku akan kembali. Apakah dia berpikir dengan membayar Dara, dia jadi bisa bersikap sesuka hati terhadapku? Tak lama, terdengar suara klakson mobil dari arah pagar. Ibu segera bangkit dan membukakannya dengan lebar. Pintu kaca depan terbuka setengahnya, wanita paruh baya yang masih tampak awet muda itu memandangku dari balik kacamata hitam besarnya tanpa ekspresi.Aku membalas tatapannya dalam diam, kemudian melihatnya berlalu pergi sambil kembali menurunkan kaca mobil. "Apa dia akan memarahi Ibu jika tahu aku ke sini?" tanyaku melihat Ibu yang dari tadi hanya diam. "Dia ba