All Chapters of Gairah Saudara Ipar: Chapter 81 - Chapter 90

Malam itu udara terasa berat. Lampu kamar hanya menyala redup, dan ketegangan di antara mereka begitu pekat. Mona duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat, matanya basah. Raka berdiri di hadapannya, napasnya berat, rahangnya mengeras. "Jadi… semua yang Andri katakan, benar?" suaranya rendah tapi tajam seperti belati. "Kau… kau menjalin hubungan dengan adikku sendiri, Mona?" Wanita itu menunduk, tak sanggup menatap tatapan suaminya. Jantungnya berdetak cepat, seolah ingin melarikan diri dari dadanya. "Raka, aku-" "Jawab aku!" bentak Raka, kali ini suaranya lebih tinggi. "Aku bahkan tidak bisa membayangkan, apa saja yang sudah kalian lalukan di belakangku." Mona mengusap pipinya, menahan tangis yang sudah menggenang. "Semua itu tidak akan pernah terjadi." Dia menatap tajam suaminya. "Jika kau tidak membiarkan aku kesepian di rumah." "Kesepian?" Raka tertawa getir, langkahnya maju mendekat. "Kau merasa kesepian sementara aku bekerja siang malam untukmu? Untuk keluarga ini?!" "Untuk ke

Hari-hari terus bergulir tanpa terasa, membawa Mona semakin dekat pada hari penentuan. Hari dimana bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Usia kehamilannya kini memasuki bulan kesembilan. Perutnya sudah membesar, langkahnya makin berat, dan tubuhnya sering terasa nyeri. Kadang, di malam-malam sepi, kontraksi palsu datang menghantam begitu tiba-tiba hingga ia terbangun dengan napas memburu.Namun, tak seperti dulu, kini tak ada tangan hangat yang membantunya menenangkan diri. Tak ada suara lembut yang menanyakan apakah dia baik-baik saja.Raka seolah tak lagi menjadi Raka yang dulu.Lelaki itu masih tinggal serumah dengannya, tapi jarak di antara mereka lebih dingin dari dinding batu. Dia jarang berbicara, jarang menyentuh Mona, bahkan jarang memandang wajahnya. Jika pun bicara, hanya soal hal-hal praktis. Dokter, pemeriksaan, kebutuhan bayi, dan jadwal melahirkan.Tidak ada lagi belaian lembut di rambut, tidak ada lagi pelukan saat malam, tidak ada lagi senyum hangat yang dulu s

Lampu-lampu di lorong rumah sakit memantulkan cahaya pucat di wajah Andri yang duduk gelisah di bangku tunggu. Hujan di luar belum reda, menetes di jendela kaca besar, menciptakan suara lirih yang menyatu dengan deru langkah perawat yang lalu-lalang. Kemeja Andri masih basah, sebagian menempel di kulitnya. Jemarinya terus menggenggam ponsel yang dari tadi belum juga dia gunakan. Sudah hampir satu jam sejak Mona dibawa masuk ke ruang bersalin. Dan setiap menit terasa begitu panjang."Mona....berjuanglah."Pintu ruang bersalin tiba-tiba terbuka. Seorang dokter wanita keluar dengan wajah serius, ditemani dua perawat."Keluarga pasien?" tanyanya. Andri segera berdiri. "Iya, saya…. Bagaimana keadaan Mona, Dok?"Dokter itu menarik napas panjang sebelum menjawab, suaranya tenang namun jelas."Ibu Mona sudah masuk pembukaan enam. Tapi kondisinya agak melemah. Kami khawatir karena tekanan darahnya turun, dan dia tampak syok. Kami terus pantau kondisinya, tapi… mohon bersiap kalau nanti ada

Udara di ruang perawatan itu terasa dingin dan berat. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan suara mesin monitor yang berdetak pelan. Tanda bahwa kehidupan masih berdenyut di tubuh yang lemah di ranjang itu.Kelopak mata Mona bergerak perlahan. Dunia di sekitarnya terasa kabur, samar antara nyata dan mimpi. Tenggorokannya kering, seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk jarum halus. Suara samar di dekatnya terdengar. Langkah kaki, napas seseorang yang gelisah.Dan ketika pandangannya mulai fokus, hal pertama yang dia lihat adalah sosok lelaki yang duduk di sisinya."Andri…" suaranya nyaris tak terdengar.Lelaki itu langsung menoleh, matanya berbinar lega. "Mona… kau sudah sadar."Dia segera menggenggam tangan wanita itu erat, jemarinya hangat meski tangan Mona masih dingin. "Syukurlah. Aku takut kehilanganmu."Mona menatapnya lemah. Nafasnya teratur tapi masih berat. "Anakku… bagaimana anakku?"Andri tersenyum kecil, matanya lembut menatap wanita itu. "Bayimu selamat. Laki-la

Dua hari telah berlalu sejak sampel DNA diambil. Suasana rumah sakit masih sama. Putih, dingin, dan dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Tak ada yang benar-benar tenang. Bahkan Kania, yang selama ini selalu tampak kuat dan berwibawa, hari itu berjalan dengan langkah yang sedikit gemetar menuju ruang dokter.Suara ketukan sepatunya terdengar bergema di lorong panjang. Sesekali dia mengusap dadanya, menahan napas yang terasa berat. Di tangannya, tas kecil dia genggam erat, seolah benda itu bisa memberinya kekuatan.Begitu pintu ruang dokter terbuka, aroma antiseptik langsung menyambut. Dokter paruh baya yang menangani pemeriksaan itu berdiri dari kursinya, menyambut dengan sopan."Bu Kania," ucapnya sambil menyerahkan selembar amplop putih dengan segel resmi. "Ini hasil yang Ibu tunggu."Kania menatap amplop itu lama, jantungnya berdebar keras. "Bagaimana hasilnya, Dok?" tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.Dokter menarik napas pelan. "Hasil tes menunjukkan bahwa bayi y