Semua Bab Kapan Kamu Menyentuhku?: Bab 21 - Bab 30
121 Bab
21. Gembira Melepas Rindu
"Mbak Nuri gak kursus?" tanya Nura saat mereka tengah menikmati makan siang dengan menu urap sayuran, ikan asin dan telur balado buatan Bu Fatma. "Libur hari ini, Nura. Besok baru masuk. Aku ijin sama Mas Dika kemarin, katanya boleh." Nuri tersenyum senang. "Berarti dari kemarin mau ke sini gak boleh?" balas Nura dengan tatapan jengah. "Nura, yang penting Nuri sudah di sini hari ini. Sehat dan keliatan segar. Kalau wanita perawan ting-ting setelah beberapa hari menikah, bahkan beberapa minggu, aura cantik dan segarnya masih terlihat. Ibu udah gak sabar mau punya cucu dari kamu Nuri." Nuri tersenyum. Ada yang menghempas dadanya saat ibunya mengatakan cucu darinya. Cucu? Entahlah, Bu, mungkin bukan dari Dika nanti cucunya atau entah berapa tahun lagi saya punya bayi. Tentu saja hal itu hanya ia ucapkan dalam hati. Tidak mungkin ia lontarkan begitu jelas pada ibu dan adiknya, bisa-bisa mereka marah. Ia juga takkan mungkin sanggup mengatakan pada Nura, bahwa suaminya sangat mencintai
Baca selengkapnya
22. Menggantikan Peran Tika Sementara
Nuri baru masuk ke kamar pada pukul sepuluh malam. Ia baru saja mencuci piring, membereskan dapur, menyapu, serta mengepel rumah dua lantai suaminya. Kenapa ia melakukan semua itu malam hari? Agar esok hari, ia tidak terlalu repot dan bisa langsung memasak. Entah makanannya nanti dimaka suaminya atau tidak, yang jelas ia harus melakukan semua tugasnya sebagai istri. Barulah ia tenang pergi kursus setelah semua urusan rumah tangga beres. "Mas belum tidur?" tanya Nuri. "Belum, saya mau bicara sesuatu sama kamu." Nuri menelan ludahnya. Apakah suaminya akan menceraikannya? "Saya bersih-bersih dan sikat gigi dulu, Mas." Nuri pun masuk ke kamar mandi untuk menenangkan detak jantung yang tidak beraturan. Wajah serius Dika membuatnya punya firasat tidak baik atas hal yang ingin dibicarakan oleh suaminya. Tidak ingin suaminya menunggu lama, Nuri pun bergegas menyikat gigi, mencuci muka, serta mengganti baju piyama bagian atasnya karena tadi sudah kebasahan saat mencuci piring. Suaminya mas
Baca selengkapnya
23. Apa Cemburu?
"Ya ampun, kain putih untuk ujian hari ini tertinggal!" Nuri menepuk jidatnya karena sudah teledor. "Wah, punya Luna hanya satu lembar, Tan, seukuran tugas yang diminta. Kita putar balik aja gak papa.""Oke, kita putar balik saja, belum jauh kok, masih dalam komplek rumah kamu." Daniel tersenyum pada Nuri dari spion depan. "Maaf ya, Mas Daniel, Luna, saya jadi merepotkan." Nuri benar-benar tidak enak hati pada Luna dan papanya karena harus putar balik, kembali ke rumah. Mobil pun berhenti persis di depan rumah Nuri. Wanita itu turun dengan tergesa-gesa. Ada Dika yang ternyata sedang memanaskan motor, mau berangkat bekerja. "Kenapa?" tanya Dika singkat. "Ada yang ketinggalan, Mas." Nuri berlari naik ke kamar praktek. Kain putih itu sudah ia siapkan di waras meja kerjanya, tetapi malah ia lupa membawanya. Tidak lama kemudian, Nuri sudah kembali memakai separuh dengan tergesa di depan pintu rumah "Kamu dijemput siapa?" tanya Dika yang saat ini sudah duduk di atas motor. "Oh, itu t
Baca selengkapnya
24. Buket Bunga
Nuri mencebik saat membaca pesan dari Dika, tentu saja tanpa niat membalasnya. Ia menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celana kulitnya, tersenyum pada Luna yang saat ini sedang menikmati makan siang buatannya. "Keasinan gak, Luna?" tanya Nuri. Luna tak langsung menjawab, gadis itu masih adik terus mengunyah makanan Nuri hingga tandas tak bersisa. "Sempurna, Tante dan mulai besok, setiap ada jadwal kursus, Luna catering sama Tante Nuri aja. Sekalian buat makan sore Luna dan papa ya, Tante. Papa pasti setuju. Masalah bayaran, nanti bisa cincai. Ya, mau ya?" wajah Luna memelas penuh harap."Saya gak pandai masak, Luna. Kalau hari ini rasanya pas, itu kebetulan saja." Nuri tidak ingin GR dengan pujian Luna tetapi ia cukup lega karena masakannya pagi ini tidak keasinan. "Pokoknya, besok mau makan masakan Tante!" Nuri menghela napas. Ingin bersikeras menolak, tetapi tidak tega. Apalagi Luna sampai menjilati jari-jemarinya untuk menghabiskan sisa makanan darinya."Oke, tapi kalau besok
Baca selengkapnya
25. Bertengkar
"Buang, Nuri!""Tidak mau, Mas Dika!" Nuri melebarkan bola matanya, lalu bergerak turun dari ranjang. Wanita itu mengambil bunga mawar yang sudah rapi ia tata di atas meja rias, lalu ia bawa keluar kamar. Satu-satunya tempat yang paling aman ia menaruh bunga itu adalah di kamar kerjanya. Dika hanya bisa berdecak kesal melihat Nuri tergolong keluar dari kamar. "Kamu baik-baik di sini dulu ya. Pak Bos lagi datang bulan, jadi labil." Nuri bicara pada bunga mawar yang sudah berada di atas meja kerjanya. Nuri kembali mengunci pintu kamar kerja itu, lalu bergegas ke dapur untuk menghangatkan sayur yang pagi tadi ia masak. Lalu ia juga menyiapkan teh untuk suaminya. Meskipun Dika bersikap semaunya, tetapi sebagai istri, ia harus tetap melayani. "Mas mau langsung makan atau mau mandi dulu?" tanya Nuri sambil membawakan teh ke dalam kamar. "Di mana kamu taruh bunga itu? Sudah kamu buangkan?" hanya Dika lagi. "Saya simpan. Sayang bunga mahal kalau dibuang. Apalagi yang ngasihnya tulus. Suda
Baca selengkapnya
26. Kabur dari Rumah
"Oke, kalau Mas gak mau jawab, berarti saya yang harus mengalah di sini." Nuri berlari naik ke kamarnya. Ia mengunci pintu agar suaminya tidak bisa masuk ke dalam kamar. Segera ia berkemas memasukkan pakaian lamanya, bukan pakaian yang dibelikan oleh suaminya atau pakaian yang ia beli dengan uang suaminya. Perhiasan, buku nikah, buku tabungan, dan uang simpanan ia bawa. Tidak ada air mata yang tumpah, karena hatinya seakan mati untuk merasakan kesedihan. Dika sudah membuat semua cinta dalam dirinya pergi begitu saja. Setelah semua yang ia perlukan masuk ke dalam tas, Nuri melemparkan tasnya dari balkon kamar. Dengan gagah, Nuri ikut lompat dari balkon. Jaman di kampung, ia senang memanjat pohon tinggi, lalu melompat dari atas pohon tersebut. Ia juga suka lompat dari jembatan, lalu tercebur ke sungai. Jadi, tidak masalah baginya untuk lompat dari balkon lantai dua rumah suaminya, karena ia sudah terbiasa. Hanya luka lecet pada telapak tangan saja.Nuri menunggu ojek online di dekat po
Baca selengkapnya
27. Mencari Nuri
Jadi berputar-putar di sekeliling komplek sampai dengan perempatan jalan besar rumahnya, tetapi tetap tidak menemukan Nuri. Ia mengira, Nuri akan berjalan seorang diri sambil membawa tas, tanpa tahu arah tujuan, seperti kebanyakan wanita-wanita melow di drama yang pernah ia saksikan, tetapi sepertinya Nuri berbeda, sudah jauh ia mengendarai motor, malam pun semakin pekat, tetapi ia belum menemukan istrinya. Dika memutuskan menepikan motor di sebuah cafe kopi untuk membeli minuman kopi dingin. Tenggorokannya kering dan juga angin malam tak mampu menghilangkan rasa gerahnya. Dika memesan kopi dingin cappucino untuk melegakan tenggorokan, sekaligus menenangkan pikirannya. Sambil menunggu, Dika memeriksa ponselnya. Ia menekan kontak Nuri untuk menelepon istrinya, tetapi hanya nada sambung saja yang terdengar, tetapi tidak diangkat. Sampai dengan kopi selesai diracik, Nuri tidak kunjung mengangkat teleponnya. Kamu ke mana, Nuri? Apa kamu pulang ke rumah orang tua kamu? Batin Dika. Pria
Baca selengkapnya
28. Berusaha Minta Maaf
"Nuri, buka pintunya, kita perlu bicara!" Dika sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu mendengar perkataan mamanya tentang gugatan cerai, Dika pun panik dan bersikeras harus bicara dengan Nuri malam ini juga. Hatinya berdebar tidak tenang dan dapat dipastikan ia tidak bisa tidur."Nuri, buka, aku janji tidak akan lama bicaranya," bujuk Dika lagi."Kamu pulang saja! Jangan ganggu Mama dan Nuri, malam ini biar Nuri tidur di sini." Bu Widya menarik lengan putranya agar menjauh dari pintu. Namun, Dika tidak mau."Dika gak mau pulang, Ma, Dika mau di sini saja. Gak papa kalau malam ini memang Nuri ingin menenangkan diri dulu. Mama bantu Dika untuk ....""Males! Udah tiada kesempatan kedua bagimu!" Bu Widya menatap sinis Dika, lalu masuk ke kamar. Dika tidak punya pilihan lain selain tidur di sofa ruang tengah. Willy pasti tidak akan menginjinkannya untuk tidur seranjang karena Willy pun pasti kecewa dengannya saat ini.Di dalam kamar, Nuri masih belum bisa memejamkan matanya. Wanita
Baca selengkapnya
29. Menghubungi Keluarga Tika
"Mas pasti tidak bisa, karena yang ada di otak Mas itu adalah Nura, tetap Mas juga gak tega dengan yang namanya Tika. Oleh karena itu, sepertinya Mas memang lebih cocok dengan Tika. Karena Nura sebentar lagi akan menikah dengan Willy. Sudah, kita jangan berdebat di depan orang tua!" Nuri kini menoleh pada mertuanya. "Saya siap-siap dulu, Ma." Bu Widya mengangguk. Wanita itu berjalan cepat masuk ke dalam kamar, tanpa diketahui olehnya, Dika pun ikut di belakang Nuri."Saya mau ambil baju di dalam," alasannya saat Nuri hendak menutup pintu, lalu ditahan oleh lengannya. Terpaksa Nuri memberikan tempat dan juga waktu, tetapi ia tidak mau masuk ke dalam kamar yang sama dengan Dika. Lebih baik ia menjauh, karena ia sudah tidak mau berdekatan dengan Dika. "Nuri, apa hubungan ini tidak bisa diperbaiki?" tanya Dika lagi dengan wajah lesunya. "Gak bisa, Mas, batas sabar saya udah sampai di titik paling akhir. Kita jalani hidup masing-masing ya. Kita masih bisa berteman kok. Bagaimanapun kit
Baca selengkapnya
30. Satu Masalah Selesai
"Oh, baik Pak Dika. Saya sebagai kakak dari Tika meminta maaf kalau selama bekerja di sini, adik saya banyak kurangnya. Itu karena dia memang tidak sekolah dan jarang bergaul. Terima kasih sudah memberikan tempat untuk Tika mendapatkan pengalaman kerja lebih dari setahun." Pria bernama Budi itu menatap Dika dengan perasaan campur aduk. Perasaan malu yang lebih mendominasi karena kelakuan adiknya yang tidak tahu terima kasih."Gak papa, saya harap Tika bisa dapat kerjaan lebih baik setelah dari sini. Oh, iya, ini ada sedikit biaya untuk mengobati sakit Tika. Semoga cukup ya. Maaf, saya gak bisa kasih banyak juga, karena sekarang saya sudah punya istri. Pengeluaran yang tidak biasanya, tentu saja harus saya laporkan pada istri saya." Dika merasa kalimatnya sangat menggelikan. Sejak kapan pula ia begitu nampak manis dan bertanggung jawab terhadap pernikahannya, khususnya pada sang Istri. "Aamiin, makasih, Pak Dika. Kalau begitu saya dan Tika pamit dulu." Budi melihat ke depan rumah Dika
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status