All Chapters of Foto Prewedding di Laci Kerja Suamiku : Chapter 41 - Chapter 50
54 Chapters
Bab 41
"Ya udah, saya ke sana dengan Fika sekarang juga," tuturnya.Papa menutup teleponnya kemudian, aku dengan cepat menanyakan padanya. Khawatir Syakila yang barusan dikabarkan meninggal dunia."Ayo Fika, kita ke rumah Pak Khairul," ajak papa.Aku menautkan kedua alis. "Jadi yang meninggal ....""Ibunya Ari meninggal subuh tadi," kata papa sambil bangkit dari duduknya."Aku pikir Syakila, jujur saja, Pah, nggak kepikiran ke ibunya Ari, waktu kita jenguk kan sudah membaik," ucapku."Umur manusia itu sudah ada sebelum kita lahir, jadi itulah takdir kematian, tidak ada yang menyangka," jawab papa.Memang, manusia tidak akan bisa menyangkal takdir. Terkadang semua sudah disusun rencana dengan rapi, tapi Tuhan kadang berkata lain. Ini yang terbaik, pasti yang terbaik.***Sesampainya di rumah Ari, telah terpasang bendera kuning. Rasanya, baru kemarin becanda dengan Bu Ira. Kini, beliau terbujur kaku di pembaringan. Tak terasa air mataku menetes satu demi satu. Helaan napas menjadi satu-satunya
Read more
Bab 42
'Perjodohan? Itu artinya Ari bakal menjadi calon suamiku?' Mataku membuka lebar saat mendengar pernyataan papanya Ari.Lalu aku menyorot wajah papa yang kini juga terkejut. Kami tidak menyangka obrolan beberapa hari yang lalu di rumah sakit akan menjadi pesan terakhir ibunya Ari."Oh iya, nanti dibicarakan lagi ya. Karena ini masalah hati," timpal papa dengan mimik wajah agak terkejut.Pak Khairul dan Ari berjabat tangan dengan papa. Kemudian, mereka bergegas ke mobilnya. Sudah banyak yang menunggu mereka di rumah tentunya, sebab sebagian tidak ikut dalam prosesi pemakaman. Sementara aku masih berdiri di depan mobil. Ya, tapi Haris ikut dengan kami dan berusaha menepi sebentar.Haris memohon waktu sebentar pada papa. Laki-laki yang selalu jadi pahlawanku pun setuju dan bersedia diajak bicara.Haris menceritakan semuanya tentang dipecatnya ia dari rumah sakit. Haris pun meminta maaf kembali pada papa yang pernah menjadikan dirinya orang kepercayaan namun dikhianati."Pak, saya minta ma
Read more
Bab 43
Papa mengangguk setelah mendengar informasi dari Tante Siska. Kemudian telepon pun dimatikan olehnya dan menyerahkan benda pipih itu padaku."Syakila kenapa, Pah?" tanyaku penasaran. "Ibunya Syakila, tadi meninggal dunia, gerd katanya," terang papa menjelaskan kabar duka dari Tante Siska."Inalillahi wa innailaihi rojiun, semoga beliau husnul khatimah," ucapku.Hal tak terduga datang lagi, padahal kemarin beliau tampak sehat, tidak ada yang menyangka kabar duka yang dibawa oleh Tante Siska untuk ibunya Syakila."Ada lagi kabar dari Syakila, ia harus dibersihkan rahimnya. Karena, dokter tadi bilang, janinnya mengalami kematian mudigah." Papa menambahkan informasi lagi.Aku terdiam, Syakila kini kehilangan semuanya yang ia miliki. Pasti ini sangat berat untuknya. Namun semua sudah takdir, pasti akan ada hikmah di akhir.***Pagi bersinar terang, matahari yang telah terbit membuat mataku terbuka. Tapi, kenapa tiba-tiba suara ini sulit aku ucapkan. Astaga, papa tolong aku! Aku tak mampu
Read more
Bab 44
"Nggak, Tante aku lihat tadi ...." Aku bicara sambil menunjuk, tapi memang tidak ada Syakila di depan kamar mandi."Fika, kamu baik-baik aja?" tanya Tante Siska."Hm, aku baik, Tante. Sepertinya aku halusinasi, entah kenapa ini terjadi," sahutku sambil duduk dan menggigit jari.Kemudian Tante Siska mematikan sambungan teleponnya. Setelah ia yakin aku baik-baik saja.Setelah menutup telepon, aku berinisiatif untuk menyusul Papa ke kantor. Sebab khawatir halusinasi ini semakin menjadi.Dengan cepat aku bersiap-siap. Lalu naik ke mobil dengan diantar sopir.Aku bergegas ke kantor papa, hendak bicara tentang mimpi tadi. Rasa takut ini, membuatku ingin bertemu papa. Sampai-sampai, meminta sopir untuk mengantarkan aku ke sana. Karena khawatir tidak fokus dalam berkendara.Sesampainya di kantor. Papa tidak ada di kantor, makin panik dan cemas terhadap mimpi yang aku alami tadi. "Dinda, Papa di mana?" tanyaku pada wanita yang biasa papa hubungi."Eh Mbak Fika, tadi Pak Wijaya pergi bersama
Read more
Bab 45
"Aku nggak mau, aku tidak gila, Pah!" tegasku pada pada papa dan Haris. Aku tak pernah merasakan kekhawatiran yang berlebih seperti ini. Semenjak mengetahui bahwa Syakila telah kehilangan ibu dan janinnya. Aku agak sedikit memikirkannya."Ya sudah, kamu tenang ya! Jangan berpikiran macam-macam lagi!" pesan papa menenangkan. Kini aku duduk di kantor papa. Sambil berbincang-bincang dengan Haris. Ia coba mengalihkan pikiran ini terhadap sosok Syakila yang selalu menghantui pikiranku.Sambil mengerjakan berkas-berkas. Papa sebentar-sebentar melihat arah layar benda pipih yang ia letakkan di atas meja. Sepertinya papa sedang menunggu seseorang yang menghubungi.Sementara aku, mata ini masih saja melirik ke arah jendela, kadang depan kamar mandi. Di mana tempat aku sering melihat bayangan Syakila."Pah, sedang nunggu telepon?" tanyaku pada papa. Bibirku bertanya tapi mataku tetap mengawasi sekeliling ruangan. Sebab, rasa cemas dan takut masih merasuki."Iya, Papa nunggu telepon dari Pak Kh
Read more
Bab 46
Papa terlihat mengaktifkan speakernya. Kemudian meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Halo, Wijaya ada apa?" Tante Siska bertanya duluan. "Tadi aku dan Danu lagi bertemu dokter, makanya nggak diangkat," tambah Tante Siska."Oh, gitu. Gimana kondisinya Syakila? Di sini Fika halusinasi terus," ungkap papa pada Tante Siska."Hm, tadi pagi juga dia cerita, tapi entah apa ini firasat dari Fika? Mungkin Syakila minta diikhlaskan gitu segala perbuatannya," celetuk Tante Siska membuat kami seketika saling bertumbuk pandangan."Maksud kamu?""Dokter bilang sudah tidak ada perubahan pada Syakila, hanya keajaiban Tuhan yang akan membantunya, tadi kami berembuk ingin mencopot alat medis, tapi Danu masih ingin keajaiban itu terjadi," ungkap Tante Siska. "Jadi gimana solusinya?" "Aku punya usul, bagaimana kalau Fika diajak ke sini. Bicara di telinga Syakila kalau ia sudah benar-benar memaafkannya," usul Tante Siska.Apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga. Bisa saja aku merasa tidak ten
Read more
Bab 47
"Pah, katakan apa yang terjadi dengan Syakila? Tadi tuh aku dibayangi dia terus!" Aku terus mendesaknya untuk mengatakan semua padaku."Syakila sudah sadar dan terus meminta bertemu dengan kamu," terang papa.Aku terdiam, lalu mencari tempat duduk. Tadi aku merasakan bertemu dengan Syakila. Itu artinya hanya halusinasi?"Pah, tapi tadi ....""Tadi Fika halusinasi lagi, Pak. Dia bilang bertemu dengan Syakila," serobot Haris. Aku pun menautkan kedua alis seraya tak menyukai atas tindakan Haris yang memotong pembicaraanku."Benarkah itu bukan halusinasi aku merasa seperti nyata," sanggahku.Ari memintaku untuk menekuk air putih kemudian menyuruhku untuk tenang. "Tarik napas Fika, Jangan memikirkan hal yang di luar kendali kita, jalani saja hidup ini Jangan memikirkan sesuatu yang belum kita hadapi," ungkap Ari.Aku terdiam sejenak, kemudian suara panggilan untuk keberangkatan ke Yogyakarta sudah terdengar. Akhirnya kami pun bergegas supaya cepat tiba di rumah sakit dan menemui Syakila.S
Read more
Bab 48
Aku tersadar tapi tak bisa membuka mata, sebab saat meraba ternyata mataku dibalut perban. Aku sudah berada di ruangan yang tak terlihat di mana tempatnya. Semuanya gelap, aku bahkan tak melihat satu titik pun lampu yang bersinar. Hanya suara gemericik air dan bunyi alat yang sepertinya aku kenal."Aku di mana? Kenapa gelap? Seingat aku tadi ada yang menabrak dari arah belakang, apakah aku di rumah sakit?"Tiba-tiba terdengar suara riuh yang memanggil satu sama lainnya. "Pasien sadar, pasien sadar!"Aku dengar suara riuh itu, hingga suara hentakan sepatu terdengar menghampiriku. Kemudian dadaku seperti ada yang sentuh. "Tenang ya, Bu, kami hanya ingin memeriksa," ucapnya. Aku paham sekarang, saat ini aku berada di rumah sakit. Sebab, sudah ada suara yang memeriksa. Jadi suara alat yang kudengar adalah alat-alat medis untuk mendeteksi jantung."Dok, kenapa saya tidak bisa melihat Dokter?" tanyaku padanya. "Apa karena diperban?" tambahku lagi."Nanti kita buka perban ya, Bu. Setelah sem
Read more
Bab 49
Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak
Read more
Bab 50
"Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status