Udara desa sore itu punya aroma yang Clarissa kenal sejak kecil—perpaduan antara wangi tanah, kayu bakar, dan suara jangkrik di kejauhan.Mobil mereka berhenti di depan rumah tua bercat krem muda, yang kini dikelilingi bunga kamboja putih. Zahra langsung bersorak, “Rumah Nenek! Papa, Ma, aku duluan ya!” lalu berlari kecil ke halaman.Clarissa tertawa kecil, tapi di balik senyumnya ada getar halus yang sulit disembunyikan. “Akhirnya kita pulang juga…”Raihan menatap rumah itu, matanya teduh. “Pulang yang sesungguhnya, ya, Clar.”Ibunya Clarissa muncul di teras, mengenakan daster biru muda, wajahnya berseri-seri. “Zahraaa! Sini, sayang!”Zahra langsung memeluk neneknya erat. “Nenek! Aku bawa gambar buat Nenek!”Sementara di belakang, Clarissa dan Raihan berjalan pelan. Ada sesuatu yang berbeda dalam langkah mereka—lebih mantap, lebih tenang, seolah semua badai yang dulu men
Last Updated : 2025-11-14 Read more