All Chapters of ANAK TUKANG CUCI PIRING : Chapter 21 - Chapter 30
63 Chapters
Berbulan Madu
Imas POVHidangan makan malam kali ini tak membuatku berselera, bukan karena menunya yang sederhana, justru sore tadi ibu mertuaku mengundang adiknya, Bu Yuni, untuk memasak sajian mewah.Masih tergambar jelas di ingatanku, wajah Pak Azzam yang muram dan sendu saat di mini market tadi. Ya, tak sengaja aku bertemu dengannya juga Teh Neneng saat membeli es krim dan beberapa peralatan mandi.Tiga minggu lalu, Pak Azzam pergi dari rumah, katanya dia bertengkar hebat dengan istrinya. Bahkan aku juga mendengar berita, jika alasan dari pertengkaran mereka itu adalah karena Pak Azzam mengetahui rahasia besar yang disembunyikan Teh Neneng dan Nenek.Aku sendiri mencoba tak percaya, mana mungkin Teh Neneng serta Nenek melakukan hal keji dan memalukan seperti yanag digembor-gemborkan banyak orang. Namun, mengingat kejanggalan sebelum pernikahan mereka terlaksana, aku jadi berpikir kembali, jika gosip itu benar adanya.Apa lagi aku pernah mendengar cerita tentang Nenek dari Mih Enur, kalau beliau
Read more
Pertanyaan Abidzar
“Ayo, masuk.”“I-iya, Pak.” Aku tergagap mendengar suara Pak Abidzar, lalu menyudahi keterpanaan saat melihat ruangan yang terlihat mewah dan megah.Setelah masuk ke dalam, aku malah merasa bingung harus berbuat apa. Sedangkan Pak Abidzar lenyap ke ruangan yang sepertinya adalah sebuah kamar mandi.“Kenapa masih berdiri di situ?” tukasnya membuatku terkejut.“Tidur, lah, istirahat. Atau mau makan dulu?” tawarnya.“Terserah Bapak saja,” jawabku sambil mengulas senyum, tapi hatiku grogi bukan main.Pak Abidzar mengangguk-angguk, lalu menyuruhku duduk kembali. Aku pun menurut dan mendekat ke dekat ranjang yang luasnya entah berapa hektare. Terlalu berlebihan memang, tapi baru pertama kali ini aku melihat tempat tidur sebesar itu.“Sebentar, ya. Aku mau telepon dulu.” “Iya, Pak.” Tanpa berkata apa pun lagi dia langsung pergi, ketiadaannya di ruangan ini kugunakan untuk menghela napas sedalam mungkin.“Ya Allah, empuk sekali kasurnya.” Aku bergumam sendiri sembari mengelus selimut tebal y
Read more
Kebaikan Sang Suami
“Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara.“Apa aku tidak boleh tahu masa lalu istriku sendiri, ya?” katanya membuatku tertegun lagi.Dia bilang, istri? Pak Abidzar memanggilku istrinya? Apa namaku sudah tertulis di hatinya walau masih dengan huruf kecil?“Benar, ‘kan?” Suaranya membuatku tersadar, cepat aku memalingkan pandangan.“Kenapa Bapak bisa tahu?” tanyaku sambil menatap Monumen Nasional kembali. “Karena aku lihat dia sangat perhatian denganmu.”“Tidak, Pak. Dia tidak perhatian.”“Tapi saat kamu kena tumpahan air panas waktu di rumah makan, dia begitu sigap memegangi dan menyingkirkan tanganmu.”“Itu hanya refleks, Pak.”“Memangnya kamu tahu itu refleks?” ujarnya lagi, entah kenapa malam ini Pak Abidzar lebih banyak bicara.“Iya, Pak. Sama halnya dengan Bapak yang refleks meraih tangan saya dari genggaman Pak Azzam waktu itu.” Sengaja aku memberanikan diri menatap matanya saat menjawab demikian, entah kenapa Pak Abidzar malah terd
Read more
Kebahagiaan Imas
Semalaman aku tak bisa tidur karena memikirkan sikap kemarin pada Pak Abidzar. Kenapa pula aku memiliki keberanian sebesar itu untuk memeluknya? Akhirnya aku malu karena ulah sendiri. "Halo, Imas ...." Aku dikejutkan dengan suara tak asing, melihat wanita yang berjalan dari arah pintu, aku lekas berdiri sambil menyunggingkan senyuman. "Bu Yuni. Apa kabar, Bu?" tanyaku merasa begitu bahagia karena bisa melihatnya lagi. Setelah menikah dengan Pak Abidzar, aku memang diperintahkan untuk fokus mengurus rumah tangga juga Syifa, sehingga terpaksa meninggalkan pekerjaan di fotocopy milik Bu Yuni yang baik hati ini. "Baik sekali, Imas sayang. Lagi pada ngapain ini?" tuturnya setelah memelukku beberapa saat, matanya kini menatap Syifa yang masih asyik menggambar. "Lagi nemenin Syifa menggambar, Bu. Masih sedikit merajuk dia karena kemarin tidak ikut ke Jakarta." "Oalah ...." ucapnya sambil terkekeh. "Kenapa atuh di Jakartanya sebentar pisan?" tanyanya. "Pak Abi harus kerja, Bu." "Pak?
Read more
Perseteruan Keluarga
“Pa, Syifa mau es krim.” Gadis di pangkuanku itu berujar sembari menunjuk pedagang es krim yang berada di depan, padahal kami sudah bersiap hendak pulang.“Iya, boleh.” Pak Abidzar menjawab sambil tersenyum.“Astagfirullah.”“Kenapa, Bi?” tanya ibu mertuaku saat melihat perubahan ekspresi wajah Pak Abi.“Tas Abi masih di balai panitia, Bu. Dompet, ponsel, laptop sama berkas-berkas acara juga ada di sana.”“Ya ampun, Abi. Ya sudah, ayo ambil dulu sana!”“Papa, mau es krim …,” Syifa merengek kembali.“Beli sama Mama, ya?” Aku mencoba membujuk, Syifa menggeleng, sepersekian detik tangisnya meledak. Karena kekecewaannya perihal tak diajak ke Jakarta, Syifa jadi lebih sensitif sekarang.“Kalau begitu biar Imas saja yang ambil.”“Tapi−“ Tangis Syifa semakin kencang, tak memberi kesempatan pada Pak Abi untuk merampungkan perkataannya.Mau tidak mau, aku pun menyerahkan Syifa pada ayahnya. Lantas bergegas pergi ke balai panitia untuk mengambil tas Pak Abi, takutnya ada orang tak bertanggung j
Read more
Obrolan Suami Istri
[Ke sini kalau Syifa sudah tidur. Ada yang mau aku bicarakan] Aku langsung menghela napas panjang saat membaca pesan yang masuk dari Pak Abidzar. Kulirik Syifa yang sudah terlelap sekitar sepuluh menit lalu, wajah polosnya membuatku tersenyum. Entah sejak kapan rasa sayang pada anak ini tumbuh, dan kini mengakar di hatiku. Pelan, kutarik selimut dan menutupkan benda hangat ini pada setengah tubuhnya. Dengan penuh hati-hati pula aku mengecup keningnya, lantas mematikan lampu utama, membiarkan lampu tidur menyala di ruangan ini. Setelah meninggalkan kamar Syifa, aku mematung di depan pintu, kembali membuka dan membaca pesan dari ayah anak itu. Apa yang mau dia bicarakan? Mungkin kah Pak Abidzar akan memarahiku karena perihal tadi? Tapi wajar saja jika dia marah, secara aku terlalu gegabah dalam bertindak. Seharusnya tak kugubris perkataan Pak Azzam, entah tentang apa pun itu. Andai saja aku langsung pergi, mungkin Pak Abidzar takkan kena imbasnya. Sehabis pulang dari rumah Teh Nen
Read more
Kecupan Pertama
"Imas! Imas! Keluar kamu, Imas!" "Ya Allah, siapa itu?" sahut Ibu mertuaku sembari menoleh ke arah pintu, aku yang baru saja datang dari dapur membawa camilan untuk Syifa pun ikut terkejut. "Imas, keluar kamu!" teriakannya saling bersahutan dengan suara gedoran pintu. "Biar Imas yang buka, Bu," ucapku sambil bangkit kembali. "Siapa itu, Nak? Kenapa panggil-panggil kamu begitu?" tanyanya, aku menggeleng, walau hati ini menebak jika pemilik suara itu adalah Wa Muniroh. Setelah meminta Syifa menunggu sebentar, gegas aku berjalan menuju pintu. Langkahku tersendat kala melewati tangga, kulihat Pak Abidzar tengah turun. Tatapan kami beradu, namun aku kembali dengan aktivitasku. Suara teriakkan yang memanggil namaku masih terus terdengar, bahkan terasa semakin nyaring. "Wa Muni, ada apa?" tanyaku saat membuka pintu. Ternyata tebakanku benar. Bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah tamparan keras di pipi kiri ini. Rasanya sungguh panas, sampai aku terpaku beberapa detik tanpa
Read more
Cemburu
"Tunggu, Imas! Jangan tutup pintunya! Aku mohon," pinta Pak Azzam saat aku hendak mendorong pintu, tangannya menahan benda tinggi itu sampai tak bisa tertutup dengan rapat. "Aku sudah cerai dengan Neneng!" katanya lagi membuat aktivitasku terhenti, dari balik pintu yang hampir tertutup aku bisa melihat dadanya naik turun. "Aku ke sini hanya ingin pamit." Mendadak pelupuk mataku terasa panas, entah karena apa hatiku jadi sedih seperti ini. "Aku juga ingin minta maaf," katanya lagi, tapi aku masih tetap menahan pintu, tak ingin membiarkannya menatap apa lagi masuk ke rumah ini. "Buka saja pintunya." Aku langsung menoleh ke belakang, mata ini terasa terbuka dengan sempurna saat melihat sosok di belakang. "P-Pak Abi?" ucapku tergagap. Kapan dia bangun? Kapan pula dia turun? "Buka pintunya," titahnya lagi. Aku terdiam sejenak, lantas dengan ragu aku melepaskan pegangan, membiarkan pintu dua muka itu terbuka. Kini, nampak lah lelaki berbaju hitam di hadapan. Matanya sendu, rambutnya
Read more
Nasib Neneng
“Kamu ngapain Uwamu sampai dia pingsan begini, Imas?” Belum apa-apa, aku sudah dituduh Nenek. Padahal bukan hanya aku yang mengantar Wa Muniroh ke rumah, ada Teh Wiwin dan beberapa ibu lain. Tapi beliau langsung berprasangka buruk pada cucunya ini.“Imas gak ngapa-ngapain Ceu Muni, Mak Asih. Dia tiba-tiba pingsan pas mau pulang, iya ‘kan, Ibu-Ibu?” ucap Teh Wiwin, para wanita di sini langsung membenarkan.“Ya masa tiba-tiba pingsan! Gak mungkin kalau gak ada sebabnya! Kamu pasti berulah lagi ‘kan, Imas?” Mendengarnya aku hanya bisa mengembuskan napas, sepertinya kebencian untukku sudah mengakar pada darah daging wanita yang usianya lebih dari setengah abad itu.“Nek, Wa Muni pingsan tiba-tiba. Mungkin dia kaget, karena dengar rumah orang tua Imas mau jadi dua lantai.” Merasa jengah dengan segala tuduhan, aku pun terpaksa menjawab demikian. Lagi pula memang aneh, kenapa Wa Muni pingsan tiba-tiba? Dia juga buru-buru pulang setelah mendengar hal tersebut dari mulut Teh Wiwin.“Eh, iya. T
Read more
Dilema
“Ayo, Imas. Dengan kerendahan hati, Uwa mohon bawa Azzam ke sini …,” pintanya seraya merendahkan tubuh dan menyatukan kedua telapak tangan layaknya seorang prajurit yang tengah memohon pada Rajanya.“Jangan begini, Wa. Jangan begini.” Aku semakin terisak, tidak tega sekali melihat keadaan mereka.“Uwa, mohon, Imas. Uwa mohon ….” Tangisnya semakin menjadi, membuat air mataku lebih deras membanjiri pipi.“Iya, Imas. Pasti kamu bisa membawa Azzam kemari.” Wa Muslihin menambahkan.“Kenapa tidak dicoba dulu sama Uwa?” “Sudah, Imas. Tadi Subuh sudah Uwa telepon, tapi tidak diangkat. Satu jam lalu Uwa baru pulang dari rumah Nak Azzam, tapi dia tidak mau bertemu Uwa. Katanya mau berangkat kerja juga.” Mendengarnya aku semakin kalut. Mana bisa aku menjemput seorang lelaki tanpa izin dari suami sendiri.“Demi kebaikan, bawa dia ke mari, Nak Imas.” Aku langsung menoleh tatkala mendengar suara itu. Ternyata Bu Ayu, kapan dia sampai?“Ibu ….” ucapku dilema.“Kasihan kalau terus dibiarkan begini.
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status