“Pa, Syifa mau es krim.” Gadis di pangkuanku itu berujar sembari menunjuk pedagang es krim yang berada di depan, padahal kami sudah bersiap hendak pulang.“Iya, boleh.” Pak Abidzar menjawab sambil tersenyum.“Astagfirullah.”“Kenapa, Bi?” tanya ibu mertuaku saat melihat perubahan ekspresi wajah Pak Abi.“Tas Abi masih di balai panitia, Bu. Dompet, ponsel, laptop sama berkas-berkas acara juga ada di sana.”“Ya ampun, Abi. Ya sudah, ayo ambil dulu sana!”“Papa, mau es krim …,” Syifa merengek kembali.“Beli sama Mama, ya?” Aku mencoba membujuk, Syifa menggeleng, sepersekian detik tangisnya meledak. Karena kekecewaannya perihal tak diajak ke Jakarta, Syifa jadi lebih sensitif sekarang.“Kalau begitu biar Imas saja yang ambil.”“Tapi−“ Tangis Syifa semakin kencang, tak memberi kesempatan pada Pak Abi untuk merampungkan perkataannya.Mau tidak mau, aku pun menyerahkan Syifa pada ayahnya. Lantas bergegas pergi ke balai panitia untuk mengambil tas Pak Abi, takutnya ada orang tak bertanggung j
[Ke sini kalau Syifa sudah tidur. Ada yang mau aku bicarakan] Aku langsung menghela napas panjang saat membaca pesan yang masuk dari Pak Abidzar. Kulirik Syifa yang sudah terlelap sekitar sepuluh menit lalu, wajah polosnya membuatku tersenyum. Entah sejak kapan rasa sayang pada anak ini tumbuh, dan kini mengakar di hatiku. Pelan, kutarik selimut dan menutupkan benda hangat ini pada setengah tubuhnya. Dengan penuh hati-hati pula aku mengecup keningnya, lantas mematikan lampu utama, membiarkan lampu tidur menyala di ruangan ini. Setelah meninggalkan kamar Syifa, aku mematung di depan pintu, kembali membuka dan membaca pesan dari ayah anak itu. Apa yang mau dia bicarakan? Mungkin kah Pak Abidzar akan memarahiku karena perihal tadi? Tapi wajar saja jika dia marah, secara aku terlalu gegabah dalam bertindak. Seharusnya tak kugubris perkataan Pak Azzam, entah tentang apa pun itu. Andai saja aku langsung pergi, mungkin Pak Abidzar takkan kena imbasnya. Sehabis pulang dari rumah Teh Nen
"Imas! Imas! Keluar kamu, Imas!" "Ya Allah, siapa itu?" sahut Ibu mertuaku sembari menoleh ke arah pintu, aku yang baru saja datang dari dapur membawa camilan untuk Syifa pun ikut terkejut. "Imas, keluar kamu!" teriakannya saling bersahutan dengan suara gedoran pintu. "Biar Imas yang buka, Bu," ucapku sambil bangkit kembali. "Siapa itu, Nak? Kenapa panggil-panggil kamu begitu?" tanyanya, aku menggeleng, walau hati ini menebak jika pemilik suara itu adalah Wa Muniroh. Setelah meminta Syifa menunggu sebentar, gegas aku berjalan menuju pintu. Langkahku tersendat kala melewati tangga, kulihat Pak Abidzar tengah turun. Tatapan kami beradu, namun aku kembali dengan aktivitasku. Suara teriakkan yang memanggil namaku masih terus terdengar, bahkan terasa semakin nyaring. "Wa Muni, ada apa?" tanyaku saat membuka pintu. Ternyata tebakanku benar. Bukan jawaban yang kudapatkan, melainkan sebuah tamparan keras di pipi kiri ini. Rasanya sungguh panas, sampai aku terpaku beberapa detik tanpa
"Tunggu, Imas! Jangan tutup pintunya! Aku mohon," pinta Pak Azzam saat aku hendak mendorong pintu, tangannya menahan benda tinggi itu sampai tak bisa tertutup dengan rapat. "Aku sudah cerai dengan Neneng!" katanya lagi membuat aktivitasku terhenti, dari balik pintu yang hampir tertutup aku bisa melihat dadanya naik turun. "Aku ke sini hanya ingin pamit." Mendadak pelupuk mataku terasa panas, entah karena apa hatiku jadi sedih seperti ini. "Aku juga ingin minta maaf," katanya lagi, tapi aku masih tetap menahan pintu, tak ingin membiarkannya menatap apa lagi masuk ke rumah ini. "Buka saja pintunya." Aku langsung menoleh ke belakang, mata ini terasa terbuka dengan sempurna saat melihat sosok di belakang. "P-Pak Abi?" ucapku tergagap. Kapan dia bangun? Kapan pula dia turun? "Buka pintunya," titahnya lagi. Aku terdiam sejenak, lantas dengan ragu aku melepaskan pegangan, membiarkan pintu dua muka itu terbuka. Kini, nampak lah lelaki berbaju hitam di hadapan. Matanya sendu, rambutnya
“Kamu ngapain Uwamu sampai dia pingsan begini, Imas?” Belum apa-apa, aku sudah dituduh Nenek. Padahal bukan hanya aku yang mengantar Wa Muniroh ke rumah, ada Teh Wiwin dan beberapa ibu lain. Tapi beliau langsung berprasangka buruk pada cucunya ini.“Imas gak ngapa-ngapain Ceu Muni, Mak Asih. Dia tiba-tiba pingsan pas mau pulang, iya ‘kan, Ibu-Ibu?” ucap Teh Wiwin, para wanita di sini langsung membenarkan.“Ya masa tiba-tiba pingsan! Gak mungkin kalau gak ada sebabnya! Kamu pasti berulah lagi ‘kan, Imas?” Mendengarnya aku hanya bisa mengembuskan napas, sepertinya kebencian untukku sudah mengakar pada darah daging wanita yang usianya lebih dari setengah abad itu.“Nek, Wa Muni pingsan tiba-tiba. Mungkin dia kaget, karena dengar rumah orang tua Imas mau jadi dua lantai.” Merasa jengah dengan segala tuduhan, aku pun terpaksa menjawab demikian. Lagi pula memang aneh, kenapa Wa Muni pingsan tiba-tiba? Dia juga buru-buru pulang setelah mendengar hal tersebut dari mulut Teh Wiwin.“Eh, iya. T
“Ayo, Imas. Dengan kerendahan hati, Uwa mohon bawa Azzam ke sini …,” pintanya seraya merendahkan tubuh dan menyatukan kedua telapak tangan layaknya seorang prajurit yang tengah memohon pada Rajanya.“Jangan begini, Wa. Jangan begini.” Aku semakin terisak, tidak tega sekali melihat keadaan mereka.“Uwa, mohon, Imas. Uwa mohon ….” Tangisnya semakin menjadi, membuat air mataku lebih deras membanjiri pipi.“Iya, Imas. Pasti kamu bisa membawa Azzam kemari.” Wa Muslihin menambahkan.“Kenapa tidak dicoba dulu sama Uwa?” “Sudah, Imas. Tadi Subuh sudah Uwa telepon, tapi tidak diangkat. Satu jam lalu Uwa baru pulang dari rumah Nak Azzam, tapi dia tidak mau bertemu Uwa. Katanya mau berangkat kerja juga.” Mendengarnya aku semakin kalut. Mana bisa aku menjemput seorang lelaki tanpa izin dari suami sendiri.“Demi kebaikan, bawa dia ke mari, Nak Imas.” Aku langsung menoleh tatkala mendengar suara itu. Ternyata Bu Ayu, kapan dia sampai?“Ibu ….” ucapku dilema.“Kasihan kalau terus dibiarkan begini.
ABIDZAR POV“Bi, sampai kapan kamu mau seperti ini? Bukannya Ibu tidak sayang dengan Rumi, tapi bagaimana pun kamu dengannya sudah berbeda alam, Bi. Kamu harus melanjutkan hidup, kamu butuh seorang pendamping. Tidak mungkin ‘kan segala keperluanmu Ibu yang siapkan? Apa lagi Syifa, dia butuh sosok seorang Ibu.”“Menikah lah, Anakku. Ibu lihat, Imas anak Pak Misbah sangat lah baik. Syifa juga sangat menyukainya. Dia juga cantik dan mendamaikan hati. Ibu yakin, dia akan menjadi istri yang soleha untukmu.”Masih terngiang dengan jelas ucapan Ibu saat berulang kali membujukku untuk mengakhiri masa sendirian selepas ditinggal Rumi, cinta pertamaku yang harus pergi setelah melahirkan buah hati kami, Syifanazia El Rumi.Ah … pikirku sangat kalut waktu itu. Bagaimana bisa aku menikahi wanita lain, sedangkan hatiku masih tertaut pada dia yang sudah meninggalkan dunia. Bagaimana bisa aku membagi cinta, sedangkan Rumi masih menempati takhta tertinggi di hati ini.Namun, benar apa yang dikatakan I
*BAB 32*“Bukan gadis? Jelas bukan, karena sekarang saya sudah menikah dengan Bapak,” jawabnya kembali memanggilku dengan sebutan demikian.“Bukan itu maksudku,” kataku membuat dahi indah Imas mengernyit.“Lalu?” tanyanya. Aku mengalihkan pandangan lagi sambil menghela napas, gejolak di dada masih belum sirna, Imas terlalu cantik malam ini, kalau tak bisa menahan hawa nafsu, mungkin sesuatu yang indah sudah terjadi sedari tadi.“Kamu pernah melakukan hubungan suami istri dengan lelaki lain, ‘kan?”“Astagfirullah,” sahutnya cepat hingga aku menoleh kembali padanya.“Kenapa Pak Abi bisa berpikiran seperti itu?” cetusnya terdengar sedih.“Jujur saja, Imas.” Aku masih kukuh dengan prasangkaku sendiri, walau sebenarnya aku berharap wanita yang dimaksud Dewi bukan lah Imas.“Pak Abi memfitnah saya?” katanya lagi lirih. Aku langsung menunduk dan mengambil napas dalam, rasanya hatiku begitu berantakkan.“Tidak mungkin seorang lelaki begitu tergila-gila padamu jika kamu tak pernah memberikanny