Все главы Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio: Глава 51 - Глава 60
73
Biarkan Aku Pergi
Aku bersiap ke rumah Kak Sari dengan naik ojek online. Akan terlalu kentara jika aku membawa motor sendiri. Aku memakai kacamata hitam dan cadar supaya tidak ada yang mengenaliku. Isma dan Bibi Lia pasti datang. Aku tidak mungkin menampakkan diri di hadapan mereka. Saat aku sampai di depan rumah Kak Sari, benar saja ada Isma dan Bibi Lia. Keluarga Ibuku juga banyak yang hadir. Niatku menciut, aku tidak berani masuk hingga kuputuskan untuk pulang. Kukirimkan pesan kepada Kak Sari jika aku tidak jadi datang. Satu minggu di Kudus hanya kugunakan untuk membereskan barang di rumahku. Pegawai Kak Aldo yang diminta untuk membersihkan rumah ini hanya datang satu minggu dua kali. Tepat saat aku hendak kembali ke Yogyakarta, dia datang. Aku meminta kepadanya untuk selalu menguras kolam ikan di samping rumah.“Bu, tolong kolam ikannya sesekali dibersihkan supaya mereka tetap hidup.”“Iya, Mbak Gita.” Wanita paruh baya itu kemudian mulai bekerja membersihkan rumahku.
Читайте больше
Hari Bersejarah
“Anin!”Aku menoleh kala salah seorang teman memanggilku. Dia Nabila, salah satu orang yang mau berteman denganku meskipun aku berbeda. “Kamu udah lama?” tanya Nabila. “Udah dari tadi. Kamu enggak lihat aku udah menghabiskan dua gelas es teh?” Aku menunjuk dua gelas kosong di depanku. Pagi ini aku sedang duduk di kantin sebuah kampus. Sudah empat tahun aku menempuh pendidikan di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Awalnya aku tidak berniat melanjutkan kuliah kedokteran. Selain mahal biayanya, waktunya juga lebih lama daripada pendidikan S1 lainnya. Selain itu, aku insecure dengan penampilanku. Bagaimana mungkin seorang dokter memakai cadar?Namun, banyak teman dan keluarga yang mendukungku. Beruntung di kampus itu tidak ada larangan memakai cadar. Mungkin mereka akan melihatku sebagai wanita yang aneh, tetapi seiring berjalannya waktu aku bisa membungkam mulut mereka dengan prestasiku. Aku beruntung bisa m
Читайте больше
Happy Ending
Jalanan kota Yogyakarta pagi ini cukup ramai. Aku dan keluargaku sedang perjalanan menuju Grha Sabha Pramana. Di sanalah semua mahasiswa akan melaksanakan wisuda. “Ya ampun, anak ibu cantik banget, deh.” Ibu yang duduk di sampingku selalu memuji dari tadi. Aku sampai bosan mendengarnya. Pasalnya hanya kepada teman sekamar dan di depan keluarga aku tidak memakai cadar. Lama sekali aku tidak mendengar pujian itu dari seseorang. “Ibu, udah deh!” Aku memelototi Ibu karena sedari tadi Om Dani mentertawakanku. “Ibu ‘kan kangen sama kamu, Gita. Lima tahun tidak bertemu itu lama. Ibu takut setelah ini kamu pergi meninggalkan kami.” “Tidak, Bu. Mana mungkin aku meninggalkan Ayah dan Ibu? Aku kuliah demi kalian. Aku akan merawat kalian sampai akhir hayat.” Tiba-tiba Ibu memelukku. Pelukan yang cukup lama dan hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. “Ibu takut kamu akan segera menikah dan meninggalkan kami,” ucap Ibu sembari mengusap air matanya. Aku tertawa hingga memegangi
Читайте больше
NEW SEASON - MERINDUKAN DILAN
“Bakso ... bakso ...!” Terdengar nyaring suara pukulan antara sendok dan mangkuk yang menggema di depan rumah. Aku segera Keluar mengambil mangkuk di gerobak Ayah. “Pak, baksonya dua!” Mendengar teriakanku, membuat abang tukang bakso itu berhenti. Usianya memang terlihat masih muda, tetapi aku sengaja memanggilnya ‘Pak' supaya dia tidak baper. Apalagi dia pernah menanyakan statusku kepada Ayah dan berniat menjadikan istri gara-gara aku memanggilnya ‘Mas'. “Baksonya berapa, Mas?” tanyaku ketika pertama kali membeli baksonya saat lewat di depan rumahku. “Sepuluh ribu. Kalau buat Dek Faiha gratis, deh. Sama calon istri nggak boleh perhitungan.” Seketika aku tersedak ketika dia menyebut sebagai calon istrinya. Entah sejak kapan dia mengetahui namaku. Aku Meminta bantuan Kak Ilham supaya dia tidak macam-macam denganku lagi. Semenjak kejadian itu dia tidak berani menggodaku. “Pedes, Dek?” “Yang satu pedes, satunya lagi biasa.” Kebiasaanku ketika membeli bakso selalu membawa mangkuk
Читайте больше
MERINDUKAN DILAN - 2
What? Ketua panitia? Benar-benar keterlaluan Kak Ilham. Dia tidak mengatakan jika aku menggantikannya menjadi ketua panitia. Rasanya aku ingin segera menghubungi dan memakinya sekarang juga.“Aku nggak bisa jadi ketua panitia, Kak. Baru kali ini aku ikut IRMAS. Aku tidak punya pengalaman apa-apa.” Entah siapa namanya, aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak mau jika mendadak ditunjuk menjadi ketua. Ini semua gara-gara Kak Ilham. Kalau tahu begini aku enggak akan mau datang menggantikannya.“Mau atau enggak, kamu harus mau. Sudah menjadi konsekuensinya kalau mau gantiin Ilham. Punya amanat kok ditinggal.” Lelaki itu tidak menerima apa pun alasanku.“Tapi aku tidak bisa apa-apa!”“Mau aku ajarin? Nanti dapat bonus, latihan jadi makmumku,” ucap lelaki itu sambil mengedipkan sebelah mata. Ya Allah, lelaki macam apa dia? Kenapa teman-teman Kak Ilham sepertinya tidak ada yang beres begini? “Sama aku aja, Fai. Nan
Читайте больше
MERINDUKAN DILAN - 3
“Enggak! Aku nggak bilang keberatan.”“Kamu tenang aja, Fai. Kakak bakal bantuin kamu.” Aku tersenyum lebar mendengar ucapan Kak Malik. “Makasih, Kak.” Aku melirik ke arah Kak Malik kemudian menganggukkan kepala. Acara rapat ditutup dengan bacaan hamdalah. Semua orang langsung pulang karena langit mendung dan petir sudah mulai menyambar-nyambar. Angin bertiup kencang hingga membuat daun mangga di depan masjid jatuh berguguran. Empat wanita yang ikut rapat tadi sudah pulang. Mereka bilang rumahnya dekat sehingga pulang dengan jalan kaki. Tinggal tiga orang di dalam masjid dan aku yang menunggu jemputan dari Ayah. Sudah beberapa kali aku menghubungi ayah, tetapi tidak terjawab. Aku mengerang frustrasi hingga terdengar suara pintu masjid tertutup. Tiga laki-laki memakai sarung keluar dari masjid. Lampu di dalamnya sudah padam. Rasanya aku ingin menangis. Bagaimana jika ayah tida
Читайте больше
MERINDUKAN DILAN - 4
“Astaghfirullah, Ayah.” Aku berucap pelan, tetapi sepertinya Ustaz Dilan mendengarnya. Aku bisa melihat tubuhnya sedikit berguncang menahan tawa. Ya Allah ingin rasanya aku menenggelamkan mukaku ke dalam waduk Logung. “Mampir dulu, Nak. Faiha bikinin kopi sana!” Modus apalagi ini yang dilakukan Ayah? Aku menepuk jidat melihat kelakuan lelaki yang merawatku dari kecil hingga dewasa ini. “Maaf sudah malam, saya harus kembali. Ada wanita yang menunggu saya di rumah,” tolak Ustaz Dilan. Syukurlah dia menolak. Eh barusan dia bilang ada seorang wanita di rumah? Jangan-jangan dia sudah punya istri, tetapi kenapa dia bisa bersikap genit denganku? Ah, mungkin saja aku yang terlalu baper. “Ya sudah, makasih sudah mengantarkan Faiha pulang. Lain kali mampir ke sini kalau ada waktu.” Ayah langsung berbalik dan tidak menunggu sampai Ustaz Dilan pergi. Dapat kulihat dari wajah Ayah jika dia sedikit kecewa.
Читайте больше
MERINDUKAN DILAN - 5
“Nanti Kakak minta tolong sama teman-teman.”“Aku mau balik aja! Moodku sudah hancur.”“Eh jangan! Kamu datang aja ke Masjid, nanti minta tolong sama Dilan. Bilang aja Kak Ilham yang nyuruh,” ucapnya dari seberang sana. “Ustaz Dilan? Enggak! Aku mau pulang aja. Bajuku kotor!”“Kamu di mana sekarang? Biar kakak minta bantuan. Kamu tunggu aja di situ, Kakak kirimkan baju ganti.”Belum sempat aku menjawab, telepon sudah dimatikan sepihak. Mengirimkan baju? Huh, siapa yang mau direpotkan Kak Ilham? Mereka pasti malas hanya untuk sekadar keluar rumah sore-sore begini. Aku menuntun motor dan berbalik arah. Gamis polos warna biru muda kini memiliki corak abstrak gara-gara terkena cipratan genangan air di jalan berlubang. Kulihat jam di ponsel, sudah sepuluh menit aku berjalan dan belum sampai rumah. Aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Kakiku sudah capek dan pegal. Kuletakkan motor di dekat trotoar kemudian
Читайте больше
MERINDUKAN DILAN - 6
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh ....” Pembawa acara memulai kegiatan pagi ini.Setelah pembukaan dimulai, kini sambutan oleh ketua panitia. Beruntung Ustaz Dilan mau menggantikanku. Sebenarnya tidak banyak hal yang disampaikan. Cukup ucapan selamat datang, permohonan maaf dan terima kasih. “Saya di sini mewakili ketua panitia, mengucapkan selamat datang kepada semua santri dan santriwati yang hadir. Semoga di bulan Maulid ini kita bisa mengisi kegiatan dengan hal-hal positif dan bermanfaat bagi kita semua. Cukup sekian dari saya. Apabila ada salah-salah kata saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.”Setelah itu Ustaz Dilan mengucapkan salam dan duduk kembali. Acara selanjutnya penjelasan rencana kegiatan selama pesantren kilat yang dihandle oleh Kak Malik. Aku beberapa kali menguap mendengar penjelasan Kak Malik yang terlihat membosankan. Kulihat banyak anak yang antusias ketika Kak Malik menjelaskan tentang hari k
Читайте больше
MERINDUKAN DILAN - 7
Sepanjang perjalanan aku menangis. Entah apa yang menjadi alasanku menangis, aku tidak tahu itu. Aku sangat mengkhawatirkan Ayah, juga bersedih karena dipermalukan di depan umum. Tidak ada yang berani menyentuhku, tetapi dia beberapa kali melakukannya. Untung aku masih bisa menghindar. “Kamu nangis, Fai?” tanya Mas Junet. Tidak mendengar jawaban dariku, dia berucap lagi. “Kita ke taman dulu, ya! Nanti Ayah kamu sedih lihat putrinya menangis.”Hanya butuh waktu lima menit, kami sudah sampai di taman tempat Mas Junet jualan. Aku duduk di bangku panjang di bawah pohon ketapang. Aku merasa lebih nyaman di sini, perasaanku sedikit tenang dan bisa bernapas lega. Mas Junet membersihkan tempat dia berdagang. Sudah hampir dua tahun dia bekerja dengan Ayah. Dia sudah cukup mengenalku tanpa harus diberi tahu. Dia lelaki yang baik, bisa memperlakukanku dengan benar sebagai seorang perempuan. Dia tidak pernah mendekatiku seperti lelaki yang lain. D
Читайте больше
Предыдущий
1
...
345678
DMCA.com Protection Status