All Chapters of Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio: Chapter 41 - Chapter 50
73 Chapters
Liburan
Aku berjanji kepada diri sendiri akan mewujudkan semua mimpi dan cita-citaku. Ibu mengelus punggungku berkali-kali. “Ibu juga akan pergi. Doakan kami semoga masalah kami juga segera selesai.” Kurasakan tetesan air membasahi pundakku. “Ibu menangis?” Kulepaskan pelukanku darinya. Mata tua itu sudah berlinang air mata. “Ibu sangat berat melepasmu, Nak. Ibu sayang sama kamu. Semua ini kami lakukan hanya untuk kebaikanmu. Jangan pernah berpikir kami tega membuangmu ke pesantren. Maafkan Ibu, Gita,” ucap Ibu sambil menggenggam tanganku erat, seolah sedang berusaha meyakinkanku. “Gita juga sayang sama Ibu.” “Ehem! Kami boleh gabung?” Ayah dan Kak Sari sudah berada di ambang pintu. Mereka bergabung bersama kami dan larut dalam pelukan hangatnya sebuah keluarga. “Maafkan kakak jika selama ini terlalu mengabaikanmu, Gita!” ujar Kak Sari. “Aku sudah memaafkanku, Kak. Doakan aku semoga betah di sana.” “Kakak akan menjengukmu tiap bulan. Kakak janji, jika Aldo libur akan pergi ke Yogyakar
Read more
Bila Nanti
Kami berangkat menggunakan mobil Om Dani. Dia mengajak istrinya yang sedang hamil. Kak Sari dan Aldo duduk di belakang, sedangkan aku duduk sendiri di tengah. Aku tidak mau duduk di belakang mereka karena banyak adegan 18+ yang tidak seharusnya kulihat.Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, sampailah kami di sebuah kafe yang diceritakan Om Dani. Betapa takjubnya diriku melihat pemandangan ini. Kerlap-kerlip lampu menghiasi setiap sudut kafe. Terpampang jelas sebuah tulisan Pendopo Lawas Yogyakarta, di depannya ada musisi yang selama ini aku idam-idamkan. Semua pengunjung menikmati alunan musik yang dimainkan dan ikut bernyanyi bersama. Mereka duduk rapi tanpa saling berdesakan seperti saat sedang menonton dangdut. Kakiku melangkah maju ke depan, seperti ada yang memanggil. Saat kesadaranku kembali, kulihat Om Dani dan Kak Sari menggelengkan kepala. Mereka masih jauh di belakangku. Aku baru sadar jika sedang berdiri bersama Nabila
Read more
Mengejar Cintamu
“Maksud kamu apa, Gita? Mengapa selama ini membohongiku?” Suara Ilham terdengar sedikit emosi. Dia bahkan sampai berteriak. Sesak, itulah yang kurasakan. Aku sudah pernah mencoba jujur kepadanya, tetapi dia tidak merespons. Dia hanya menganggapku fans, tidak lebih. Kejujuranku hanya membuatku semakin tersiksa hingga akhirnya aku lebih suka menutupi semua kebenaran ini. “Gita, kenapa kamu diam?”“Aku sudah pernah jujur, tetapi kamu malah mentertawakanku, Mas. Tidakkah kamu ingat saat aku pergi dari rumahmu karena perbuatan nakalmu itu?” Aku tersenyum masam dan bulir air mata mulai berjatuhan. Aku sudah tidak kuat lagi menahannya. “Kamu tidak pernah jujur, Gita! Kamu pembohong. Mengapa kamu tidak mengatakan siapa dirimu yang sebenarnya? Sekarang kamu puas, kan? Kamu bisa mentertawakanku karena sudah berhasil mempermainkan perasaanku. Kamu tega, Anindya!”Mempermainkan perasaan? Apa maksudnya?“Maksu
Read more
Pesantren Al Falah
Deg!Apakah Faiha mengatakan semuanya? Bagaimana keadaan Isma sekarang? Dia pasti sedang tidak baik-baik saja. “Sebanyak apa yang kamu ketahui?”“Aku sudah tahu semuanya. Aku minta maaf, Gita. Sungguh aku menyesal karena terlambat menyadari perasaanku.”Aku menggeleng, mencoba menahan sekuat hati agar tidak menangis. “Tidak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah berbeda, Mas Aril.”“Kumohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” “Apa yang perlu diperbaiki? Aku sudah menerima dengan ikhlas jika aku hanyalah fans. Aku tidak pantas untukmu dan sadar akan hal itu. Lebih baik kamu jelaskan kepada Isma. Dia pasti terluka.”“Dia belum tahu semuanya,” jawab Ilham. Jika Isma belum mengetahuinya, dia akan semakin berharap banyak pada Ilham. Kupikir semua usai setelah Ilham mengetahui kebenarannya, tetapi ternyata maaih ada satu hati yang harus kujaga. Lebih baik aku tidak menghub
Read more
Sepertiga Malam
Mulai hari ini aku menjalani rutinitasku di pesantren. Kedua orangtuaku, Kak Sari dan Om Dani sudah pulang setelah menemui pengurus pesantren ini. Aku tinggal satu kamar dengan gadis bernama Lia. Entah mengapa nama itu membuatku semakin merasa bersalah kepada Isma. “Lia, bisakah kamu membantuku untuk berkeliling pondok?”“Ayo kuantar, tetapi pondok ini masih sepi. Belum banyak santri yang kembali setelah liburan semester.”Aku berjalan beriringan bersama Lia mengelilingi pondok pesantren. Dia juga menceritakan semua kegiatan yang ada di pesantren ini. Aku sangat antusias menyimak penjelasan darinya. Dia sudah lima tahun di sini, tinggal satu tahun lagi dia lulus. Sedangkan aku? Baru sehari mondok dan belum mendapatkan apa-apa. Hanya pakaianku yang berubah menjadi tertutup. Selebihnya masih sama, aku adalah Gita Anindya seorang gadis lemah yang harus pura-pura kuat.Lia mengajakku salat di masjid ketika azan Maghrib berkumandang. Pesantren putri ini masih sepi. Biasanya para santri a
Read more
Tidur di Kelas
Semenjak kejadian di masjid waktu itu, aku sudah tidak punya muka lagi. Rasanya aku ingin membenamkan wajahku ke perut bumi. Lia tidak henti-hentinya mentertawakanku. Aku sudah seperti selebgram yang mendadak terkenal. Semua santri mengenalku karena salah jalan ke pesantren putra. Sekolah sudah mulai masuk semenjak satu minggu yang lalu. Semua santri sudah kembali ke pondok. Dalam waktu beberapa hari, aku sudah memiliki banyak teman. Sikapku yang humble membuatku dikenal dan disukai banyak orang, termasuk laki-laki yang kutemui di toilet masjid waktu itu. Dalam sekejap dia mengenalku, tahu namaku dan semua tentangku. “Jelas dia tahu namamu, Anin. Dia itu kepala Madrasah Aliyah. Dia punya wewenang untuk melihat data santrinya,” ujar Lia. “Iya juga, sih. Ngapain aku pusing memikirkannya.” Kuserutup kembali kuah soto ayam di depanku. Kami sedang makan di kantin istirahat salat Zuhur. Masih ada waktu lima belas menit untuk mengisi perut. S
Read more
Jalan Terbaik
Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di pondok pesantren ini. Banyak sekali perubahan yang kualami. Kulitku menjadi putih bersih karena memakai pakaian tertutup. Jiwa barbar yang ada dalam diriku mulai berkurang, tetapi ada satu hal yang kutahan selama ini. Jiwa kegesrekanku meronta-ronta. Setiap akhir bulan ada jadwal sambangan di pondok pesantren ini, tetapi aku tidak yakin akan ada orang yang mengunjungiku. Kak Sari pasti sudah hamil sedangkan kakek dan nenek tidak akan bisa datang ke sini jika tidak diantar Om Dani. “Anin, temenin aku ke dhuyuf, yuk! Aku kenalkan sama orangtuaku!” ajak Lia. Aku berpikir sejenak, daripada di kamar sendirian mungkin lebih baik aku ikut dengan Lia. Kali aja Lia punya saudara yang tampan yang ikut datang, bisa cuci mata. “Oke, aku ikut denganmu.” Kuambil jilbab dan memakai cadar sebelum keluar. Semenjak kejadian memalukan waktu itu, aku benar-benar malu. A
Read more
Liburan Sekolah
Dengan senyum merekah aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel. Setelah setengah tahun, akhirnya aku akan pulang untuk liburan sekolah. Aku sudah mengirimkan surat untuk Kak Sari, kukatakan jika aku belum bisa pulang ke Kudus. Aku ingin menghabiskan liburan di rumah nenek saja. “Kamu nanti dijemput sama siapa, Nin?” tanya Lia sembari melipat pakaiannya. Aku sudah menghubungi Om Dani supaya menjemputku. Aku belum hafal jalan pulang jika naik angkutan umum atau bus. “Om Dani yang jemput aku. Kamu enggak pulang?” “Aku hanya pulang saat libur lebaran, Anin. Aku harus berhemat. Jika aku pulang, banyak sekali uang yang harus kukeluarkan. Belum lagi pas balik kudu minta uang saku juga, lebih baik tinggal di pondok saja.” Lia melipat baju seragamnya yang sudah kering. Dia mencucinya tadi pagi di kamar mandi sambil menangis. Dia tidak bisa pulang ke rumahnya karena perjalanan terlalu jauh. Orang tuanya akan datang ke sini sa
Read more
Pulang
Kulihat matahari terbenam di ufuk barat. Dari lantai dua masjid Al Falah ini, aku menunggu azan Maghrib bersama Lia, Shafia, dan Nadia. Kami berempat sudah seperti sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Waktu satu tahun terasa begitu cepat. Sebentar lagi aku lulus sekolah dan melanjutkan kuliah. Shafia dan Nadia akan pulang ke kampung halaman, tetapi aku harus tetap tinggal di pesantren untuk melanjutkan hafalanku. Tahun pertama aku mulai terbiasa dengan kesibukanku, aku pun mulai melupakannya. Jika dulu merindukannya terasa berat di hati, sekarang aku mulai merasa lelah. Perlahan rindu itu memudar seiring berjalannya waktu. “Anin, kamu yakin akan tetap tinggal di sini?” tanya Lia. “Iya, bagaimana denganmu?”“Aku akan pulang, Gita. Orang tuaku menjodohkanku dengan anak sahabatnya.” Lia berucap pasrah. Orang tuanya selalu bilang jika dia harus menurut kepada orang tuanya. “Aku juga harus pulang, Anin,” ujar Shafia.
Read more
Dua Istri
“Gita, bangun!” Seseorang menggoyangkan bahuku hingga membuatku mengerjap. “Sudah sampai?” tanyaku gelagapan. “Belum. Kita salat Maghrib dulu!” ajak Tante Suci. Aku berjalan mengikuti om dan tanteku ke sebuah musala di pom bensin daerah Semarang. Setelah ini kami akan mencari makan dahulu dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Pukul delapan malam, kami sampai di rumah Kak Sari. Aku langsung memeluknya erat. Kami sudah lama tidak bertemu, sangat lama. “Kenapa kamu makin kurus, Gita? Kamu tidak makan?” Kak Sari mengecek semua anggota tubuhku yang sedikit kurus. “Aku selalu makan, Kak. Kurus atau gemuk, tidak ada yang tahu. Sekarang pakaianku tertutup rapi.”Kak Sari mengajakku melihat bayinya yang sudah tertidur di ayunan. Bayi mungil itu tidak mau diletakkan di kasur. Dia ingin selalu dalam dekapan seseorang. “Kak Sari juga kelihatan kurus. Kakak tidak bahagia?” tanyaku sa
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status