Lahat ng Kabanata ng Gara-gara Selembar 50 Ribu: Kabanata 41 - Kabanata 50
87 Kabanata
Bab 41
Para pahlawan renovasi akhirnya datang pada pagi hari. Batu kali dan yang lainnya juga sudah datang pada malam harinya."Saya Oseng, Pak, Bu." orang yang seperti mandornya itu mengenalkan diri. Nisa menahan senyumnya. "Namanya lucu. Kenapa nggak 'tumisan' sekalian?'"Kopi, Mah!" tegur Iman melihat Nisa tersenyum - senyum sendiri."Mbaaak!" alih - alih mengerjakan perintah suaminya, Nisa malah berteriak memanggil art nya.Si Mbak muncul dengan sapu di tangannya. Ia juga baru datang. Si Mbak ini juga membantu menjaga warung saat malam hari, dibantu oleh anak tetangga sini yang membutuhkan uang untuk biaya sekolahnya. Ia sudah tidak punya Ayah. Ayahnya sudah lama meninggal dan ibunya menikah lagi. Ayah tirinya justru menyuruhnya berhenti sekolah karena ia enggan mencukupi kebutuhan sekolah anak tirinya itu.Anet, anak ini cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Makanya sang Ibu meminta Nisa menerima Anet untuk bekerja padanya. "Kasihan, Bu. Dia ingin terus sekolah." Nisa tentu saja me
Magbasa pa
Bab 42
Nisa tersadar saat melihat 3 karyawan Iman seperti sedang menunggu sesuatu. Nisa bergegas ke dalam rumah. Ia lupa belum memberikan upah untuk mereka. "Mau kemana, Mah? Buru - buru amat." tegur Iman heran. "Itu, upah buat mereka belum." tunjuk Nisa pada Juned dan kawan - kawan yang langsung melebarkan senyumnya mendengar ucapan Nisa. "Ibu Bos memang pengertian." ucap Juned dengan maksud menyindir Iman. "Apaan! Mereka kalau udah seminggu aja, Mah! Sekalian!" ucapan Iman menhapus senyum yang sedang merekah di bibir mereka. "Tapi, Pah..""Nanti aja!" Iman bersikeras dengan ucapannya. "Tapi Kita libur besok nggak bisa jalan dong, Bos.." rayu Firman. "Pakai buat istirahat, dong! Jangan malah kelayapan!" bentak Iman. Ia menatap anak buahnya satu persatu. Mereka menunduk untuk menyembunyikan kekesalan mereka. "Ngapain lagi? Pulang sana!" gertakan Iman membuat mereka lari terbirit - birit. "Bos tega banget, sih!" keluh Juned saat mereka sudah tak terlihat lagi oleh Iman. "Iya. Seka
Magbasa pa
Bab 43
Iman merasa sudah sekuat mungkin berteriak. Tapi bang Edi masih juga tidak dapat mendengarnya. "Dasar budek!" gerutunya kesal. "Kamu ngatain Aku budek?" teriak Edi seraya menepuk helm yang Iman kenakan. 'Busyet, dah! Giliran ngomong begitu malah kedengeran." dumel Iman. Edi mendekatkan kepalanya. "Kamu ngomong apa?""Besok Kita mancing lagi, ya!" Edi terlihat senang. "Sip!" ia menunjukkan jempolnya. Mereka ini pemancing mania, tapi Edi tidak mau mengeluarkan uang untuk jajan mereka. Sementara Iman sangat royal dalam keadaan seperti ini dan Edi mengerti itu. Edi mengandalkan Iman untuk jajan, makan dan minum."Aku balik!" Edi menenteng korang ikan yang hanya beisi 2 ekor itu. Sebelum melangkah pulang ia tersenyum - lebih tepatnya - menyeringai pada Nisa. Nisa membalas dengan senyumnya. "Kok sudah pulang, Pah?" Nisa heran melihat Iman sudah pulang. Padahal biasanya menjelang maghrib ia baru menunjukkan batang hidungnya."Ikannya mana? Nisa merasa lebih heran lagi. Iman tidak perna
Magbasa pa
Bab 44
Bang Oseng melihat Iman yang terus menekuk wajahnya. "Santai, Bos!""Gimana bisa santai? Uangku habis!" dengus Iman kesal. Bukannya sakit hati, Bang Oseng malah tertawa terbahak - bahak. "Amal, Bos! Amaal!" Iman mengerucutkan bibirnya. Nisa tersenyum. Sepertinya Iman cocok dengan Bang Oseng ini. Ia begitu bebas menyatakan perasaannya tanpa takut ada yang tersinggung karenanya. Biasanya Ia hanya berani menggerutu di belakang. Bang Osengpun menganggap ucapan Iman seperti sebuah lelucon karena ia terus tertawa terbahak - bahak."Udah cepetan makan! Jangan tertawa terus! Nanti gigi Kamu kering, lagi!" kali ini bukan hanya bang Oseng yang tertawa, Nisa dan si Mbak juga ikut tertawa. "Mbak, gelarin karpet di dalam, ya. Kasih bantal. Biar si kunyuk ini bisa tidur!" titah Iman. Si Mbak mengangguk.Bang Oseng menghentikan kunyahannya. "Tapi kerjaan Saya, Bos?!" Iman melambaikan tangannya. "Jangan membantah! Hari ini Situ harus benar - benar istirahat!" Bang Oseng melongo. Tadi di mobi
Magbasa pa
Bab 45
"Biar Saya yang pisahin buat Dia, Mbak." Iman biasanya ingin makan bersama - sama mereka. Berkumpul untuk saling melempar canda. Tapi kali ini sepertinya harus ada pengecualian. Nisa bergegaa memisahkan jatah untuk Iman dan meletakkannya di lemari makan. "Minta mereka berhenti bekerja, Mbak. Kita makan siang dulu." si Mbak pun langsung melaksanakan perintah Nisa. "Asyik! Akhirnya makan juga." dengan cepat Juned berlari ke arah dapur sementara yang lain mencuci tangan dan kakinya dulu. "Juned!" si Mbak menarik tangan Juned yang berdebu dan menjauhkannya dari tempat makanan. "Cuci tangan dulu. Jorok banget, siiih!" ucap si Mbak geregetan. Juned nyengir kuda. Ia mencuci tangannya di wastafel dapur. "Kok malah nyuci di situuu.. !" teriak si Mbak gemas. Nisa hanya tertawa melihat kelakuan Juned yang seperti takut kehabisan makanan. "Mbak bawel banget, ih! Tuh, Ibu Bos nggak ngapa - ngapa juga!" Juned meleletkan lidahnya seraya mengambil piring. Si Mbak mendengus kesal. "Ngambilnya
Magbasa pa
Bab 46
Selamat siang menjelang sore semuanyaa!" suara yang diharapkan kehadirannya oleh Iman akhirnya terdengar. Bang Oseng datang dengan senyum kocaknya. Ia diantarkan oleh istri tercinta dengan mengendarai motornya. "Ngapain datang? Udah sore juga!" Iman mendengus. Tentu saja ia berbicara tidak sesuai dengan kata hatinya karena matanya terlihat berbinar cerah."Kan mau kontrol dulu, Bos? Besok baru kerjanya." seperti biasa Bang Oseng tidak merasa sakit hati karena ucapan Iman."Saya langsung pulang ya, Pak." kata istri bang Oseng seraya mencium punggung tangan suaminya."Kok buru - buru, Teh? Duduk dulu, minum teh dulu." cegah Nisa. Ia menggeleng. "Nggak usah, Bu. Makasih. Takut kemalaman nyampe rumahnya, Bu." tolaknya halus."Atuh, pakai segala dianterin! Udah kayak Bocah bae!" sungut Iman. "Namanya juga suami kesayangan." Bang Oseng meleletkan lidahnya. Wajahnya selalu terlihat kocak. "Iya, Bu. Hati - hati, ya." Bang Oseng melepas istrinya pergi sebelum akhirnya menatap Iman lekat -
Magbasa pa
Bab 47
Sudah lebih dari sebulan renovasi berjalan. Sudah 2 minggu pemancingan diliburkan. Tidak ada pemasukan lain karena Iman lebih memilih ikut turun tangan membantu renovasi daripada menerima servis mobil."Uang mobil udah tinggal segini, Pah." Nisa menunjukkan catatannya. Iman terkesiap. Ternyata sudah begitu besar dana yang sudah mereka habiskan untuk renovasi ini. "Mamah masih ada tabungan?" "Ada. Sedikit.""Pakai dulu, ya? Nanti Papah ganti." Nisa mengangguk. Ia tahu Iman hanya asal bicara. Ia tidak pernah benar - benar mengganti uang yang ia pinjam dari istrinya ini. Tapi untuk kali ini Nisa sama sekali tidak keberatan. 'Nggak papa, lah. 'Kan buat pemancingan juga.' Tanpa pemancingan Nisa juga tidak dapat berjualan. Setelah tinggal finishing dan Iman merasa anak - anak buahnya mampu mengerjakannya, Iman menyudahi pekerjaan Bang Oseng dan kawan - kawannya. "Kenapa? Padahal tinggal sedikit lagi." protest salah satu temannya yang ingin menuntaskan pekerjaan mereka. Iman menatap B
Magbasa pa
Bab 48
Mereka kembali bekerja dengan giat selesai istitahat sejenak tadi. Mereka semakin bersemangat bukan hanya setelah mendapat minumang segar seperti tadi, juga karena ada Deni yang dengan lincah mengantarkan kebutuhan mereka. Setelah 2 jam lebih bekerja mereka pun istirahat lagi untuk makan siang. "Waaah! Hari ini lauknya spesial, Bu?" Firman senang melihat ada sayur asam dan ayam goreng, tahu dan tempe bacem plus sambal dan lalapannya. "Iya, dong. Biar tambah semangat!" si Mbak yang menjawab. "Nggak ada petai, Mbak?""Tuh, kan. Ngelunjak, Bu." Nisa tertawa. Iman kini sedang mengawasi empangnya. Sesuai perkiraannya, ini semua dapat diselesaikan hari ini. "Sekarang tinggal nge cat." senyum Iman puas."Pah, makan dulu." Iman segera mencuci tangannya dan bergegas ke warung yang sekarang menjadi dapur juga. Nisa tidak mau memasak di dapur yang satunya."Di sana panas, Pah." memang benar. Iman tidak meletakkan jendela di tempat memasak. Jendela justru di letakkan dekat kamar mandi. Ak
Magbasa pa
Bab 49
Seteleh makan siang, Doni menyerah."Doni udahan ya, Pah?" dia terlihat lelah. Tubuhnya saja yang besar, tapi dia tetap cuma anak kelas lima SD.Iman mengangguk."Mandi dulu sana!" Doni berlari menuju keran air untuk membersihkan dirinya. Nisa membawakannya handuk yang lebar dan membelitkannya ke pinggang Doni. "Buka celananya disitu, Nang. Lanjut mandi yang bersih di dalam, ya?" Doni menurut.Dua jam kemudian Deni yang menyerah. "Deni udah ya, Pah?" kulit jari jemarinya pucat dan mengeriput."Kamu capek?""Banget." Deni mengangguk. Tubuhnya bergetar menahan dingin. "Ya udah sana." Deni langsung naik ke atas empang dan berlari masuk ke dalam rumah. "Lho - lho!" si Mbak berteriak melihat jejak kotor dan basah yang di tinggalkan Deni. "Den! Kamu bukannya bersih - bersih dulu di luar!" tegur Nisa yang sudah membawakan handuk di tangannya. "Terlanjur, Mah! Ma'af!" teriak Deni dari dalam kamar mandi. Nisa hanya dapat menghela nafas. Ia lalu mengambil tonkat pel untuk membersihkan da
Magbasa pa
Bab 50
Selesai renovasi, pemancingan berjalan tidak seperti yang diharapkan. Jumlah pemancing menurun. Nisa terpaksa harus melepas Anet karena tidak mampu membayarnya. "Maafin Ibu, ya. Nanti kalau Pemancingan normal lagi, Anet Ibu panggil lagi mau, ya?" Anet mengangguk. Kebetulan saat ini dia sudah kelas 3 SMP, tahun dimana sudah tidak banyak kegiatan di sekolah karena sudah harus mempersiapkan diri untuk ujian. Tapi ia juga sangat membutuhkan uang untuk study tour ke Jogja. Darimana ia mengumpulkan uangnya jika tidak bekerja pada Nisa?"Anet ngamuk di rumah. Nangis sampai menjerit - jerit." lapor ibunya pada Nisa yang menjadi serba salah karenanya. Ia bingung. Ia hanya mampu membayar si Mbak. Ia juga harus turun tangan membantu si mbak setiap malam. "Maafin Ibu, ya." ucap Nisa penuh penyesalalan. Ibu Anet menggeleng. "Ibu nggak salah. Saya ngerti keadaan Ibu." Nisa tersenyum pahit. Renovasi empang yang istilahnya menghabiskan 1 buah mobil malah tidak menunjukkan kemajuan. Bahkan pemanci
Magbasa pa
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status