All Chapters of Gara-gara Selembar 50 Ribu: Chapter 51 - Chapter 60
87 Chapters
Bab 51
Mereka mengangguk. Mereka senang Iman benar - benar tidak berniat memecat mereka hingga menyiapkan pengganti merekapun tidak. "Ya udah, Bos. Kita pulang, ya?" mereka berpamitan dan mencium punggung tangan Iman. "Salam buat Ibu, Pak.""Ya. Kalian tetap sering main ke sini, ya? Ibu pasti senang kalau Kalian datang.""Siap, Bos!" Iman melihat mereka berlalu dengan perasaan campur aduk. Lega tapi juga sedih. Meskipun ia tahu mereka tidak melakukan apa yang di tuduhkan para pemancing itu kenyataannya ia tetap tidak bisa membela mereka, bahkan mengikuti keinginan para pemancing itu. Iman masuk ke kamarnya dan melihat Nisa sudah tertidur dengan setitik air di ujung matanya. Ia pasti habis menangis. Iman merebahkan tubuhnya perlahan agar tidak membangunkan Nisa. Tapi Nisa ini sangat peka dengan gerakan. Ia langsung membuka matanya."Bagaimana, Pah?" Nisa langsung duduk menghadapi suaminya. Iman menghela nafas."Sudah?" tanya Nisa. "Sudah." Iman mengangguk. Tak disangka Nisa terlihat be
Read more
Bab 52
Iman kebingungan karena teman - teman Anda yang ingin bekerja sama sekali belum berpengalaman dalam nyerok menyerok ikan. "Kan bisa Deni ajarin, Pah. Tapi, wani piro?" Deni tersenyum lebar. "Kayak yang udah pinter aja!" sungut Iman. "Seenggaknya lebih pinter dari mereka, Pah!"Anda tertawa melihat Iman menepuk kepala Deni perlahan. Hari ini dapat mereka lalui dengan keengganan Iman melayani para pemancing itu. "Nyatetnya yang bener, Bos!" Ada saja pemancing yang complain atau sekedar meledek Iman yang sedang sensi.Hampir jam 12 malam. "3, 2, 1, selesai!" teriak Iman penuh kelegaan. Ia langsung masuk ke dalam. "Pah! Nggak mau nungguin bagi hasil?" teriak Deni. "Jatah Papah kasihin Mamah!" Iman balas berteriak. Para pemancing masih bersiap - siap untuk pulang."Asyik, nih." Nisa tertawa. Si Mbak ikut senang melihatnya. "Tiap hari aja, Pah. Nyeroknya.""Ih! Najis!" Iman mendecih. Tidak lama kemudian Deni memberikan lembaran warna merah pada Nisa. "Emang dapetnya cuma segitu?"
Read more
Bab 53
Diantara para pemancing itu ada juga pemancing wanita. Memang hanya ada beberapa orang tapi yang seringkali datang bahkan hampir setiap hari menyebut dirinya 'bunda'.Bunda ini selalu datang berdua bersama suaminya yang memakai nama 'Ayah' sebagai nama pemancingnya. Sesuai janji Nisa, begitu pemancingan kembali berjalan normal, Nisa memanggil Anet lagi. Anet dengan suka cita menerima panggilannya. "Ini anak tau - tau udah gede aja." celetuk si Mbak saat melihat Anet lagi."Dulu waktu pertama dateng gedenya segini." si Mbak mengukur setinggi bahunya. "Mbak, Bunda minta milor." kata Anet. Milor itu sebutan untuk indomi rebus pakai telor. "Ayah nggak ikutan pesan milornya?""Nggak." Anet menggeleng. "Apa nggak tau kalau Bunda pesan. Mereka duduknya jauh - jauhan."Si Mbak langsung membuatkan pesanan. Setelah ada Anet, Nisa dapat beristirahat di kamarnya. Tidak perlu menghadapi pemancing - pemancing itu. Laporan dan setoran uangnya akan di letakkan si Mbak di atas lemari kabinet di
Read more
Bab 54
"Kenapa dikasih hutang lagi, sih? Suruh bayar dulu hutangnya. Memang mau ditumpuk sampai berapa?" ini Nisa."Apaan sih, Mbak?! Baru juga segitu udah rewel banget, sih?!" ini Bunda. Bibirnya yang dower karena suntikan silikon semakin terlihat melebar. Merah merekah.xSama seperti ikan - ikan yang dipancingnya itu."Itu pesan dari Ibu, Bun." kata si Mbak nyaris frustasi."Tobat!" si Mbak mengeluh saat berada sendirian di warung dan Bunda lagi - lagi menambah hutangnya. Sekarang hutang Bunda mendekati 200 ribu. "Ini nggak bisa dibiarkan lagi." Nisa bertekat mengajak Bunda berbicara dari hati ke hati malam ini juga. Bunda datang seperti biasa dengan tawanya yang berkumandang ke seluruh area pemancingan. Biasanya Ia akan langsung duduk di meja dekat papan sampai nomor lampak dikocok dan ia mendapat nomor lampaknya. Kali in Nisa menahannya di depan warung. "Bunda, bisa Kita bicara sebentar?""Ibu! Ada apa, ya?" Nisa mengajaknya masuk dan duduk di ruang tamu. "Bunda, Saya mau minta tolong
Read more
Bab 55
"Suara apa itu, Mbak?" Nisa keluar dari kamarnya. Padahal ia ingin tidur setelah sholat Isya tadi. Tapi suara musik itu terlalu bising. "Siapa yang nyetel musik sampai kayak gitu, sih?" suara sound system yang keras itu begitu menghentakkan dadanya.Nisa mengusap dadanya yang terasa sakit. "Ada rombongan pangamen, Bu. Pak Mumu yang ngundang.""Pengamen sampai pakai sound system begitu? Hebat banget." mulut Nisa memuji meski hatinya tidak menyukai ini.Si Mbak mengangguk. "Pak Mumu yang ngundang. Jadi Dia yang bayar." Oh.. Iman masuk dan melihat Nisa Duduk di warung. Tangannya terulur. "Mah, minta 50 ribu." tentu saja itu membuat dahi Nisa berkerut. "50 ribu? Buat apa?""Patungan buat bayar dangdut itu." Nisa nenatap suaminya. Ia bingung. Katanya Bang Mumu yang bayar? "Bukannya Bang Mumu yang ngundang, ya?""Iya. Bang Mumu cuma ngundang doang. Kita yang di suruh patungan.""Kok begitu?""Udah cepetan dong, Mah. Yang lain udah ngasih, tinggal Kita." Nisa menghela nafas. "Kitanya
Read more
Bab 56
Nisa speechless. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi ia sangat kesal pada Iman. Bagaimana sih, cara Iman menyampaikan cerita Nisa pada saudara - saudaranya? "Aku, nggak..." hanya itu yang mampu ia ucapkan. Satu kalimat saja yang akan ia katakan akan mereka balas dengan kata - kata yang lebih menyakitkan. Mereka jagonya. Lalu kemana Iman saat keluarganya melabraknya saat ini? Belum sampai seminggu pengamen - pengamen itu datang lagi. Kali ini Nisa memperingatkan si Mbak, "Kalau mereka pesan, minta dulu uangnya. Bilang aja di suruh Ibu begitu." si Mbak mengangguk patuh. Ia sangat mengerti perasaan Nisa. Nisa bertengkar hebat dengan suaminya gara - gara mereka. "Papah bilang apa sih, sama mereka?""Papah bilang apa adanya, Mah!" Iman berkelit. "Apa adanya gimana?" netra Nisa mencapai batas maksimal. "Mamah nggak ngerumpiin sama tetangga! Dia yang protes ke Mamah, Pah!" Nisa meradang. Iman diam. Ia tau Nisa tidak menyukai dangdut, sangat bertolak belakang dengan Iman dan kel
Read more
Bab 57
"Hari ini hari selasa, Bu." si Mbak mengingatkan Nisa. 'Ya." Nisa mengangguk. Ia ingat akan menagih Mumu, seperti yang ia janjikan. Sampai siang Nisa tidak melihat Mumu keluar dari rumahnya. "Apa langsung ke rumahnya aja, ya?" Nisa bermonolog ria. "Mbak, tolong sandal Ibu, dong." pinta Nisa. Ia akan ke rumah Mumu melalui pintu belakang. Si Mbak baru saja meletakkan sandal di depan kaki Nisa saat Mumu terlihat keluar dari rumahnya. "Tunggu di sini aja, deh." ujar Nisa senang. Ia memilih berdiri di depan pintu belakang rumahnya. Mumu lewat dan melihat Nisa. Ia tahu Nisa menunggunya tapi ia sengaja melihat lurus ke depan. "Bang!" tapi Nisa memanggilnya. 'Ini anak nggak ada takut - takutnya.' dumel hati Mumu. Ia berhenti melangkah. "Apa?!" nada suaranya sudah tidak enak di dengar. Tapi Nisa tidak perduli."Abang janji bayar hari ini. Mana? Tangan Nisa terulur. Mumu mendengus kasar."Kalau sudah ada uangnya juga pasti Kubayar!""Tapi 'kan Abang yang janji hari ini mau bayar?""Iya
Read more
Bab 58
Dari 3 anak mereka, hanya Nino yang sama sekali tidak suka memancing. Deni sama persis seperti Papahnya dan sering ikut Papahnya memancing dimana - mana. "Deni puas kalau ikut mancing sama Papah, Mah." ceritanya pada Nisa. Nino yang tidak suka memancing melengos. "Apa enaknya? Duduk seharian ngeliatin kumbul.""Tapi kalau ditarik sama ikan umpannya, rasanya bagaimanaaa... Gitu.." sergah Deni.'Persis sama yang Papahnya bilang.' gumam hati Nisa."Lagian, Papah kalau di sana royal banget, mah! Deni kenyang jajan!" Deni tertawa. "Mau ambil apa aja boleh." bibir Nino mengerucut. Memang begitu saat Papahnya mengajaknya mancing saat ia masih kecil dulu. Tapi tetap saja itu tidak membuatnya betah untuk berlama - lama di sana. Saat itu Iman memancing bersama abang - abangnya, Mumu dan Edi. "Bang, tolong anterin Nino pulang, ya." pinta Iman pada Mumu. Sejak saat itu Nino tidak pernah mau bila diajak memancing lagi. Kalau Iman memaksa menemaninya, ia akan berteriak, "Nino nggak suka, Paaah
Read more
Bab 59
Nisa kembali berdua dengan cepot menjaga warung. Si Mbak seperti biasa absen lagi. "Mah, itu si Mbak gimana hitungannya?" tanya Iman. Ia juga kesal melihat si Mbak semakin seenaknya. "Gampang. Nanti Mamah hitung hariannya aja.""Nanti Dia nggak marah?""Emang berani, udah salah mau marah - marah?" Cepot menyerah pesanan dari lampak besar."Ini, Bu." dia langsung keluar lagi untuk mencatat pesanan dari lampak kecil. Nisa membuatkan pesanan kopi dan es lalu menyusunnya di atas nampan. "Mana yang belum, Bu?""Itu, 3 nomor terakhir."Saat Cepot datang ia segera membantu membuatkan pesanan yang belum sempat Nisa buat. Setelah selesai ia langsung membawa nampan untuk di bawa ke lampak besar. Lampak kecil itu sebutan untuk lampak no 1 - 20. Lampak besar dari 21 - 40.Nisa membuatkan lagi pesanan dari lampak kecil. Setelah selesai ia duduk memainkan hpnya."Bu, ada yang pesan lagi, nih." Cepot menyerahkan kertas pesanan baru. Nisa meletakkan hpnya sedang Cepot mengantar pesanan ke lampak
Read more
Bab 60
Si Mbak menelusuri nama - nama yang tertera di catatan yang ditulis Cepot. "Bang Mujii... Lampak 34. Tuh anak, tinggal nyebutin nomor lampaknya aja susah!" bibir si Mbak mengerucut tajam. Cepot duduk di samping bang Muji setelah mengantarkan pesanannya. "Capek ya, Pot?" tanya bang Muji. "Capek mah enggak, cuma kesel!""Kesel kenapa?" Cepot tidak ingin menjawab. 'Kalau nggak ingat udah janji sama Bu Nisa untuk jangan bolos - bolos rasanya Aku pengen bolos besok!' dumelnya dalam hati. "Pot! Minta es susu, dong!" teriak orang di seberang mereka. Teriakannya cukup keras. Seharusnya si Mbak juga mendengarnya.Cepot melihaht ke warung. Dilihatnya si Mbak tidak bergerak dari kursinya. Seharusnya ia langsung membuatkan es susu itu untuk dibawa Cepot. Tapi tidak. Ia terlihat sibuk dengan buku catatannya. Cepot diam di tempatnya untuk beberapa lama. "Pot! Cepetan, lah! Haus, nih!" Cepot melihat si Mbak tetap tidak bergeming. "Benar - benar dah, tuh orang!" Cepot bangun dan bergegas ke
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status