Mendengar itu, Felicia langsung memelototinya. Sorot matanya memancarkan perasaan yang rumit.Dia tahu, ke depannya Afkar mungkin akan menghadapi bahaya yang jauh lebih besar, tantangan yang jauh lebih mengerikan.Halaman terakhir di buku harian itu, dengan tulisan merah darah "Keluarga Rajendra Kuno", selalu membuat jantung Felicia berdebar ngeri setiap kali mengingatnya.Saat ini, Shafa yang polos justru tertawa bangga dan berseru, "Papa paling hebat! Orang jahat pasti kalah sama Papa! Hehehe ...."Afkar mengelus kepala mungil Shafa, lalu nada bicaranya berubah saat dia berkata kepada Felicia, "Aku berencana bawa Shafa ke Provinsi Yemal."Mendengar itu, ekspresi Felicia membeku sejenak, alisnya sedikit berkerut tanpa disadari. Namun, dia segera tersenyum, berpura-pura mengangguk dengan santai. "Ya, pergilah! Aku bisa jaga diri. Kalau benar-benar butuh bantuan, aku bisa ke rumah orang tuaku."Afkar mengangguk. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi Keluarga Samoa. Mereka nggak akan men
Baca selengkapnya