Kesunyian malam hanya dipecah oleh isak tangis Ayudia dan doa lirih yang dipanjatkan para pemuda desa. Di dalam balai desa, Arthayasa terbaring pucat di atas tikar. Ki Sangkala dengan telaten membersihkan luka di dadanya, namun darah terus merembes keluar. Nisa, ibu Arthayasa, tak henti-hentinya menggenggam tasbih, bibirnya bergerak membaca mantra-mantra penyembuhan. Fajar mulai menyingsing, mewarnai langit timur dengan gradasi jingga dan ungu. Cahaya mentari pagi perlahan menyelinap masuk melalui celah dinding balai desa, menerangi wajah-wajah penuh harap yang menanti di sekeliling Arthayasa. Namun, wajah Arthayasa tetap tenang, seolah jiwanya telah berlayar jauh dari raganya. Ayudia menggenggam erat tangan Arthayasa, air matanya terus membasahi pipi. "Artha, kumohon bangunlah," bisiknya lirih. "Jangan tinggalkan aku sendiri di sini." Tiba-tiba, jari Arthayasa bergerak sedikit. Ayudia tersentak, matanya membulat penuh harap. "Ki Sangkala, lihat! Dia bergerak!" serunya. Ki Sang
Last Updated : 2025-08-28 Read more