Senja telah runtuh, dan malam kembali menurunkan tirainya di desa kecil itu. Di langit, bulan sabit perlahan merayap naik, redup, bersembunyi di balik awan. Namun, bagi Artha, Raden, Saka, dan Pak Ranu yang baru saja keluar dari hutan larangan, malam itu seperti tak memberi ruang istirahat.Keringat dingin masih menempel di dahi mereka, meski udara sekitar menusuk dengan hawa lembap. Artha menggenggam kerisnya begitu erat, seolah pusaka itu adalah satu-satunya yang mengikatnya pada kewarasan. Ia menatap ujung senjata itu, yang masih berkilau samar, bergetar halus seakan menyimpan napas hidup.“Pak Ranu,” suara Artha akhirnya pecah, lirih namun dipenuhi kegelisahan. “Apa maksudnya… aku keturunan yang membawa kunci? Apa pusaka ini memang… ditakdirkan untuk menahan roh itu?”Pak Ranu berhenti melangkah, menatap Artha lama. Wajahnya yang tua semakin suram diterpa cahaya obor. “Artha, leluhurmu—leluhur kita semua—dulu adalah orang yang membuat perjanjian pertama. Tapi ada satu yang berkhia
Last Updated : 2025-09-24 Read more