Udara dini hari itu menempel di kulit seperti kabut dingin yang menolak pergi. Jam sudah lewat tengah malam ketika Ayudia masih terduduk di kursi panjang di teras vila keluarga, tubuhnya kaku, seperti boneka yang kehilangan jiwa. Cahaya lampu halaman yang putih pucat membuat bayangannya tampak rapuh, terguncang oleh angin malam yang bertiup pelan. Di dalam rumah, suara langkah Darma Wijaya sempat terdengar—berat, terukur, lalu menghilang di lantai atas. Pria itu tidak berkata apa-apa lagi setelah memberikan ultimatum mematikan, Pilih. Malam ini. Papi atau dia. Kalimat itu berulang-ulang di kepala Ayudia, seperti pisau yang menggores, tidak memberi ruang bagi pikirannya untuk bernapas. Arthayasa berdiri di dekat pagar, tak berani terlalu dekat tapi juga tak mau pergi. Wajahnya seperti batu, keras di luar, tapi di dalam, matanya menjerit. Ia menggenggam kunci motornya erat-erat, tapi tak ada tenaga untuk memutarnya. “Yu.” Suara itu pelan, hampir tidak terdengar, tapi cukup untuk
Last Updated : 2025-08-02 Read more