Share

S2 bab 60

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-08-03 13:00:20

Pria tua itu mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sudah berumur, wajahnya penuh garis kehidupan dan bekas luka di pelipis kiri. Ia berjalan mendekat dengan langkah berat, seolah setiap langkah membawa bobot cerita masa lalu.

“Artha,” panggilnya dengan suara serak namun penuh wibawa.

Arthayasa segera berdiri tegap. “Pak Tyo.”

Pria itu — yang tampaknya pemimpin di tempat ini — menatap Ayudia dari ujung kepala hingga kaki. “Kamu bawa orang luar ke sini?”

Ayudia merasakan dingin menusuk dari tatapan itu, bukan hanya menilai, tapi menguji.

“Dia bukan orang luar, Pak,” jawab Arthayasa cepat.

“Siapa dia?”

“Calon istri saya,” kata Arthayasa tanpa ragu.

Ayudia menoleh cepat, kaget dengan kata-kata itu, tapi ia tahu Arthayasa tidak asal bicara — ia sengaja memilih kata itu agar posisinya lebih aman di sini.

Pak Tyo mengangkat alis. “Istri? Kamu pikir ini rumah singgah buat main rumah tangga? Kamu tahu aturan tempat ini.”

“Aku tahu, Pak,” jawab Arthayasa mantap. “Makanya aku ngga
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 133

    Malam itu tidak hanya memeluk hutan — ia meresap sampai ke dasar akar, menyalakan napas tua yang tertidur selama ratusan tahun.Lira duduk bersila di depan makhluk itu, tubuhnya perlahan terbiasa dengan hawa dingin yang terbit setiap kali sang cahaya kecil merespons dunia. Reno berdiri setengah lingkaran di belakangnya, sementara tiga elder — Biru, Keemasan, dan Putih — melayang seperti bintang yang memilih menetap di bumi.Semua menunggu.Semua mendengarkan.Cahaya kecil itu terus berdenyut, seperti sebuah hati yang mencari irama pertamanya. Lira merasakan getaran kecil menyentuh kulitnya — seperti bulu halus air di permukaan sungai.Lalu sebuah bisikan muncul lagi:…Titik itu… memanggilku…Lira menarik napas. “Bisakah kau mendeskripsikannya?”Hening.Kabut menari sebentar, menyelip di antara akar seperti ular putih lembut.Lalu:Seperti… cahaya yang tidak lengkap.Seperti… akar yang belum menyentuh tanah.Seperti… aku.Reno bergerak sedikit. “Ia menemukan resonansi.”“Resonansi?” ta

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 132

    Cahaya kecil itu tertidur.Jika “tidur” adalah kata yang benar untuk menggambarkan keadaan makhluk yang belum sepenuhnya memiliki wujud. Namun demikianlah ia tampak: melayang tenang di atas akar waringin, berdenyut lembut seperti hembusan napas pertama anak manusia yang baru lahir. Kabut yang tadi terbelah kini berkumpul pelan, mengerut mengelilingi wujud mungil itu seolah menjadi selimut.Lira duduk bersila tak jauh darinya, kedua telapak tangannya hangat oleh sisa getaran makhluk tersebut. Ia merasa lelah — bukan lelah tubuh, melainkan lelah batin yang datang setelah menghadapi sesuatu yang belum sempat ia pahami sepenuhnya.Reno berdiri di sampingnya, cahaya tubuhnya memancar seperti api unggun yang dipenuhi kesabaran.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Lira tanpa membuka mata.“Mengawasinya,” jawab Reno. Suaranya tidak lebih keras dari desau kabut. “Ia belum menemukan bentuk, belum mengenali batas antara dirinya dan dunia.”Lira mengangguk pelan. “Ia menghilangkan energ

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 131

    Fajar merayap perlahan dari balik lembah, menyebarkan garis-garis cahaya keemasan yang menembus sela-sela pohon tinggi. Embun yang masih menempel di ujung daun memantulkan sinarnya, membuat hutan tampak seperti dipenuhi serpihan kaca kecil yang berkilau. Pada pagi itu, keheningan terasa bukan sebagai kekosongan, melainkan sebagai ruang luas tempat dunia bernapas dengan damai.Di bawah pohon waringin, tempat cahaya selalu kembali berkumpul, Lira duduk bersandar pada akar raksasa yang seolah memeluknya. Ia memejamkan mata, membiarkan suara dari kedalaman hutan memasuki dirinya perlahan, sampai ia bisa membedakan setiap detaknya: denyut sungai, bisik dedaunan, getar halus cahaya yang menari di udara.Namun pagi itu, ada sesuatu yang tidak sepenuhnya sama.Ada desah samar di antara irama hutan — suara yang bukan milik Reno, bukan milik para penjaga lama, dan bukan pula gema nyanyian Lira sendiri.Suara itu… muda.Seperti ranting kecil yang patah, atau seperti helaan napas yang belum diaja

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 130

    Pagi datang tanpa tergesa.Kabut tipis masih melayang di antara batang-batang pohon, membentuk tirai putih yang bergeser perlahan ketika cahaya pertama menyentuh daun-daun basah. Di udara, aroma tanah dan lumut berpadu lembut, seperti ingatan yang menolak pudar. Suara air menetes dari ujung daun terdengar seperti denting kecil, mengisi kesunyian yang tidak benar-benar sunyi.Reno berjalan tanpa suara.Langkahnya tak meninggalkan jejak di tanah, hanya pantulan samar cahaya yang sesekali menyala di sekitar rumput yang ia lewati. Wujudnya kini nyaris tak bisa dibedakan dari kabut—kadang tampak, kadang lenyap, seperti bagian dari napas hutan itu sendiri.Ia telah belajar hidup dalam keabadian yang tenang.Tidak ada siang, tidak ada malam; hanya irama panjang antara cahaya dan kabut, antara embun yang turun dan sungai yang bangun. Namun meski segalanya mengalir dalam keseimbangan, ia tahu hutan tak pernah benar-benar berhenti berubah. Setiap daun yang gugur, setiap akar yang merambat sedik

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 129

    Sejak malam purnama itu, hutan menjadi tempat yang berbeda.Tidak ada yang benar-benar berubah — pohon-pohon masih berdiri di tempatnya, akar-akar masih berkelindan di tanah lembab, dan kabut masih turun setiap malam — namun ada sesuatu yang kini berdenyut di bawah semuanya.Sebuah napas baru.Sebuah kesadaran yang lebih dalam dari diam.Kabut yang dulu sekadar tirai lembut kini bergerak seperti benang cahaya yang hidup. Ia melingkupi batang-batang pohon, menelusuri lekuk batu dan daun, membawa bisikan halus yang tak dapat diucapkan dalam bahasa manusia. Di sanalah Artha dan Reno kini tinggal — bukan lagi sebagai sosok yang terpisah dari hutan, melainkan sebagai bagian dari harmoni besar yang berputar tanpa akhir.Reno tumbuh di dalam cahaya.Tidak ada ukuran waktu di tempat itu, namun dalam setiap nyala lembut yang bergetar di udara, jiwanya bertambah matang. Ia belajar mendengarkan akar berbicara, belajar memahami bahasa serangga dan embun, belajar mengenali setiap suara yang tidak

  • Cacian Keluarga SuamiKu    S2 bab 128

    Kabut di hutan itu tak lagi menakutkan. Ia turun setiap malam, perlahan seperti tirai lembut yang menutupi dunia, membawa keheningan yang lebih dalam dari tidur, lebih hangat dari doa.Di bawah pohon waringin yang tua, cahaya putih lembut mengalir dari akar hingga ujung ranting. Tidak menyilaukan — hanya bersinar seperti napas bumi yang tenang. Di sanalah tiga sosok itu tinggal kini. Tidak benar-benar tubuh, tidak pula sekadar bayangan. Sesuatu di antara keduanya — bentuk dari kenangan yang masih ingin bertahan.Artha duduk di akar besar yang menonjol dari tanah lembab, jemarinya menelusuri guratan kayu yang hangat. Reno berlari kecil di sekitar mereka, tertawa dengan suara yang bergema pelan, seperti gema dari masa lalu yang kembali hidup.Dan Ayudia… berdiri di tepi cahaya, matanya menatap kabut yang bergulung di kejauhan.Ia tahu, di luar sana masih ada dunia lain — dunia ladang dan sungai, dunia tempat ayam berkokok di pagi hari, tempat suara genta sapi terdengar menjelang senja.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status