Tuan Lukman menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, rasa haru jelas terlihat dari sorot matanya. “Terima kasih, Tuan Air.”“Panggil saja ‘Air’, Papi mertua. Kita ini keluarga, tak perlu pakai formalitas,” sela Air cepat, tersenyum ramah, menunjukkan niat tulusnya untuk lebih dekat dengan keluarga barunya.Tuan Lukman mengangguk pelan, senyum hangat terpahat di wajah pria setengah baya itu saat kembali menoleh ke arah putri kecilnya yang masih tertidur lelap. Dari sorot matanya, terpancar rasa syukur dan harapan akan masa depan Bulan bersama Air.“Kalau dia nanti manja, rewel, atau bahkan cengeng, harap dimaklumi,” ujarnya lirih, penuh kasih. “Justru di saat-saat seperti inilah—saat dia sakit—kamu bisa melihat siapa Bulan sebenarnya. Dia gadis yang rapuh, butuh diperhatikan, ingin didengar setiap keluh kesahnya. Mungkin karena sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran Maminya…”Ia menarik napas, sejenak menahan sesak di dadanya sebelum melanjutkan, “Meski saya sudah beru
Last Updated : 2025-05-06 Read more