Share

Siap-siap Di Hukum

last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 20:49:44

Air pulang larut malam dalam keadaan letih usai menyelesaikan tumpukan pekerjaan di kantor. Saat memasuki kamar, ia mendapati istrinya sudah terlelap. Ia melangkah pelan ke arah ranjang, memandangi wajah damai Bulan. Lelahnya seketika sirna.

“Kalau tidurmu tidak heboh, bukan Siput Nakal namanya,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Setelah puas menatap Bulan, Air menuju kamar mandi. Ia melepas baju kerja dan meletakkannya di keranjang pakaian kotor dekat pintu.

Untuk meredakan penat, ia memilih berendam air hangat dengan aromaterapi. Usai berendam, ia membilas tubuh di bawah shower, lalu mengeringkan diri.

Dengan handuk melilit pinggang, ia mengambil piyama dari lemari dan mengenakannya. Setelah siap, ia berbaring di samping Bulan, menghadap istrinya yang masih tidur pulas.

Air tersenyum kecil saat melihat mulut Bulan sedikit terbuka. Obat yang diminum benar-benar membuat istrinya tertidur nyenyak, tak terusik sedikit pun oleh kehadirannya.

“Kalau diem gini, cantik banget. Tapi gilira
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Rencana Gila

    “Za, kamu sudah gila?” Brian menatap tajam, tidak percaya dengan rencana Mirza.“Aku akui, aku bodoh. Menyia-nyiakan gadis seperti Bulan. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi, Yan.” Suara Mirza terdengar getir, matanya dihantui rasa bersalah yang dalam.“Kamu harus terima kenyataan, Za. Itu harga dari semua yang sudah kamu lakukan. Kamu selingkuh, terus kata-kata kamu juga sangat menyakitkan untuk Bulan. Bagaimana pun, aku yakin Bulan tidak akan mau kembali sama laki-laki yang sudah jelas-jelas membuang bahkan menghina dia.” Kalimat Brian seperti tamparan keras yang membuat Mirza terdiam.Ia teringat dengan jelas saat mempermalukan Bulan di depan teman-teman sekolah, hanya karena percaya omongan Shallo. Tapi kini, keinginannya untuk memiliki Bulan kembali jauh lebih besar dari egonya.“Semua orang berhak dapat kesempatan kedua, Brian. Dan aku mau kesempatan itu... dari Bulan.” Tekad Mirza sudah bulat.Ia merasa marah setiap mendengar laki-laki lain memuji Bulan, apal

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Pengakuan

    Jam istirahat tiba. Semua siswa berhamburan keluar kelas menuju kantin. Setelah otak diperas menerima pelajaran, kini giliran perut yang menuntut diisi. Bulan dan Yona pun tak terkecuali. Perut mereka sudah keroncongan.“Yah, penuh!” keluh Bulan begitu menginjakkan kaki di kantin sekolah. Matanya menyapu ruangan yang dipenuhi siswa. Tak ada satu kursi pun tersisa.“Pesan eaja dulu, nanti gampang cari tempat,” usul Yona sambil melangkah ke arah gerobak bakso Mang Ucup, yang sudah dikerubungi siswa lain.“Mang, seperti biasa ya, dua!” teriak Yona dari belakang kerumunan.“Siap, Neng. Ditunggu,” sahut Mang Ucup, mengangkat jempolnya tinggi-tinggi.“Antri, woi!” seru siswa lain.“Aku juga antri. Lihat tidak aku berdiri di mana?” cetus Yona santai, lalu melenggang pergi.“Cewek tidak jelas,” gerutu salah satu cowok yang melihat sikapnya.“Hati-hati, Dre. Kalau dia denger, bisa dihajar kamu,” ucap temannya mengingatkan.“Buat apa takut,” balas Andre santai, meski matanya masih mengikuti ara

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Beri Dia Peringatan

    Suasana di meja makan pagi ini terasa berbeda. Aura kebahagiaan menyelimuti pasangan suami istri itu, menembus dinginnya kabut pagi. Bibi Tini, yang menyaksikan perubahan suasana hati mereka, tersenyum lega. Hatinya ikut hangat melihat keduanya.“Wah...! Sepertinya ada yang terlewatkan, nih!” suara bariton yang familiar menggema dari arah pintu.Pasangan itu sontak menoleh. Mata Bulan langsung berbinar ketika melihat sosok pria setengah baya berdiri di ambang pintu. Ia segera bangkit dan berlari memeluk pria yang dirindukannya.“Kapan Papi pulang? Kenapa Bulan tidak dikasih tahu?” tanyanya manja, pipinya menempel di dada Tuan Lukman.“Semalam. Kamu pasti sudah tidur,” jawab Tuan Lukman sambil mengusap kepala anak gadisnya.Bulan menggumam kesal, wajahnya berubah sendu. “Papi tuh suka banget ya pergi mendadak, pulangnya juga tiba-tiba sudah di rumah, terus besoknya ke luar negeri lagi. Kasih kabar ke Bulan tuh susah banget. Papi sudah tidak sayang Bulan, ya?”Tuan Lukman melepas peluka

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Pengusiran

    “Om, melamar aku?” tanya Bulan, pelan.Jujur saja, ia bingung saat tiba-tiba ditembak dengan pertanyaan seperti itu oleh Air. Meski lega karena tidak membatalkan pernikahan mereka, tetap saja perasaan was-was menyelimutinya. Ah, dia terlalu parno. Padahal, jauh di lubuk hatinya, Bulan tak ingin berpisah dari pria dewasa itu—meski perbedaan usia mereka begitu mencolok. Kadang ia merasa lebih cocok jadi keponakan Air daripada istrinya.“Kita sudah menikah. Untuk apa melamar lagi?” tanya Air, satu alisnya terangkat.“Tapi... Tidak ada lamaran romantis waktu itu,” sahut Bulan sambil manyun.“Harus, ya?” Air balik bertanya, terdengar tak mengerti. Usianya yang matang membuatnya memandang hal-hal semacam itu sebagai sesuatu yang tidak perlu—buang waktu dan tenaga, pikirnya. Baginya, jika sudah yakin, ya langsung menikah saja. Sat set, sah, selesai.Dunia mereka memang berbeda. Dari pola pikir saja sudah kelihatan. Tapi mungkin di situlah letak menariknya pernikahan beda usia—yang satu ter

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Aku Tau Ini Egois

    Lewat sudut matanya, Air melirik Bulan yang baru selesai mandi. Wajahnya segar, tapi bibir pucat itu tak bisa berbohong—istri kecilnya belum benar-benar pulih.Air menarik napas pelan, terselip rasa sesal—seharusnya ia tak minta Bulan menyiapkan sarapan pagi ini.Matanya tak lepas dari setiap gerak gadis itu. Dengan kaus kebesaran dan celana pendek di atas lutut, Bulan tampak begitu kekanak-kanakan. Tubuh mungilnya semakin menegaskan kesan itu—manis, polos, dan... menggemaskan.Seketika, Air menahan senyum miris. Dia menikahi bocah—jarak usia mereka membuatnya merasa seperti pria aneh yang tergila-gila pada gadis belia.Sementara itu, Bulan tampak sibuk mengais laci meja rias, mencari pengering rambut. Ia hanya akan mengeringkan sebagian rambutnya, sisanya dibiarkan kering alami—seperti kebiasaannya.Begitu melihat Bulan selesai dengan ritual paginya, Air bersuara pelan, tapi cukup jelas.“Bulan, duduk sini sebentar.” Ia menepuk sofa di sampingnya. “Saya mau bicara.”Nada suaranya cuk

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Siap-siap Di Hukum

    Air pulang larut malam dalam keadaan letih usai menyelesaikan tumpukan pekerjaan di kantor. Saat memasuki kamar, ia mendapati istrinya sudah terlelap. Ia melangkah pelan ke arah ranjang, memandangi wajah damai Bulan. Lelahnya seketika sirna.“Kalau tidurmu tidak heboh, bukan Siput Nakal namanya,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Setelah puas menatap Bulan, Air menuju kamar mandi. Ia melepas baju kerja dan meletakkannya di keranjang pakaian kotor dekat pintu. Untuk meredakan penat, ia memilih berendam air hangat dengan aromaterapi. Usai berendam, ia membilas tubuh di bawah shower, lalu mengeringkan diri.Dengan handuk melilit pinggang, ia mengambil piyama dari lemari dan mengenakannya. Setelah siap, ia berbaring di samping Bulan, menghadap istrinya yang masih tidur pulas. Air tersenyum kecil saat melihat mulut Bulan sedikit terbuka. Obat yang diminum benar-benar membuat istrinya tertidur nyenyak, tak terusik sedikit pun oleh kehadirannya.“Kalau diem gini, cantik banget. Tapi gilira

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Bertemu

    Bulan cepat-cepat membalik layar ke bawah. Wajahnya pucat. Di layar tertera ‘Air Raksasa’.Untung saja Yona belum sempat melihat namanya.Yona menatap curiga. “Kenapa, Lan? Kayak orang ketakutan gitu.”“Lagi nunggu telepon dari Papi… tadi titip beli makanan,” kilah Bulan, suara dan senyumnya sedikit dipaksakan.Yona mencibir. “Ck. Aku kirain gebetan baru. Reaksinya lebay banget! Ya udah, buruan angkat. Aku juga sudah lapar.”“Iya, ini aku jawab dulu ya…”Bulan menekan tombol hijau, “Pi, makanannya sudah dikirim? Kebetulan Yona juga datang.”Di seberang sana, Air sempat mengernyit heran mendengar sapaan ‘Pi’. Tapi ia cepat menangkap maksud Bulan. Ia menghela napas pendek, lalu menjawab tenang, seolah paham situasinya.Sementara itu, Bulan melirik Yona yang sibuk bermain game di sofa. Hatinya masih berdebar“Kamu pesan makanan apa?” tanya Air, suaranya tenang dan penuh perhatian.Nada itu langsung menenangkan Bulan. Ia menjawab dengan nada manja, “Oh… sudah habis ya, Pi. Emm, kalau gitu

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Seperti Menelan Duri

    “Morning, Papi…” seru Bulan sembari menuruni anak tangga terakhir bersama suaminya.“Morning, princesnya Papi. Kok turun, sayang? Kamu belum sembuh betul. Kenapa nggak istirahat saja di kamar? Biar nanti sarapannya Papi minta Bi Tini antar ke atas,” ujar Tuan Lukman sambil menyambut kedatangan putri dan menantunya. Nada suaranya terdengar khawatir, terlebih saat melihat Bulan berjalan perlahan dengan bantuan rangkulan Air.“Bulan ingin sarapan di meja makan, sama suami Bulan… dan sama Papi juga,” jawab Bulan lembut.Ia sudah bosan harus terus-menerus sarapan di kamar. Lagi pula, hari ini tubuhnya terasa sedikit lebih kuat, meski kadang rasa pusing masih datang tiba-tiba.Tuan Lukman segera menarik kursi di sebelahnya, memberi ruang bagi Air untuk membantu Bulan duduk dengan nyaman. Setelah memastikan Bulan duduk dengan aman, Air pun mengambil tempat duduknya sendiri, diikuti oleh Tuan Lukman.Cara Air memperlakukan Bulan—penuh perhatian, sabar, dan pelan-pelan—entah mengapa mengingatk

  • Terpaksa Menikah Dengan Mr. Arogan   Demi Istri

    Tuan Lukman menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, rasa haru jelas terlihat dari sorot matanya. “Terima kasih, Tuan Air.”“Panggil saja ‘Air’, Papi mertua. Kita ini keluarga, tak perlu pakai formalitas,” sela Air cepat, tersenyum ramah, menunjukkan niat tulusnya untuk lebih dekat dengan keluarga barunya.Tuan Lukman mengangguk pelan, senyum hangat terpahat di wajah pria setengah baya itu saat kembali menoleh ke arah putri kecilnya yang masih tertidur lelap. Dari sorot matanya, terpancar rasa syukur dan harapan akan masa depan Bulan bersama Air.“Kalau dia nanti manja, rewel, atau bahkan cengeng, harap dimaklumi,” ujarnya lirih, penuh kasih. “Justru di saat-saat seperti inilah—saat dia sakit—kamu bisa melihat siapa Bulan sebenarnya. Dia gadis yang rapuh, butuh diperhatikan, ingin didengar setiap keluh kesahnya. Mungkin karena sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran Maminya…”Ia menarik napas, sejenak menahan sesak di dadanya sebelum melanjutkan, “Meski saya sudah beru

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status