Semua Bab Adik Angkatku Istri Kedua Suamiku: Bab 11 - Bab 20

“Kamu beneran tidak ada kelas hari ini?” tanya Cindya setelah meneguk segelas air, kedua matanya menatap adiknya yang sedang menghabiskan makan siang. “Kalau memang tidak ada kelas, Mbak minta tolong sama kamu untuk jagain Mas Dharma,” lanjutnya.UHUK!Cindya menoleh, tangannya spontan mengusap punggung suaminya dan memberikan segelas air mineral kepada sang suami yang langsung diterima dengan gerakkan tergesa-gesa. Sedangkan Harena memfokuskan atensinya menatap Dharmatio yang duduk disebelah Cindya, pria itu menatap Cindya.“Aku bisa jaga diri aku sendiri, Sayang. Lagipula, Harena pasti menggunakan waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Iya kan, Harena?” ujar Dharmatio, memberikan isyarat melalui tatapannya, seolah berkata ‘jawab iya’.Cindya mengalihkan atensinya, menatap Harena yang tersenyum tipis. “Oh ya tidak apa-apa kalau memang kam–”“Aku bisa, Mbak,” potong Harena, melirik tipis ke arah Dharmatio yang melebarkan kedua mata. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan

Kedua mata milik Cindya tengah memperhatikan seorang pria yang keluar dari dalam mobil berwarna hitam, sih pengemudi melangkah masuk setelah melihat sekitar, seolah sedang memastikan situasi aman.Wanita itu memilih untuk mengikuti Dharmatio, rasanya tidak puas jika tidak melihat secara langsung. Dan disinilah ia berada, di basement sebuah apartement yang sering dikunjungi olehnya. Bahkan, hampir setiap hari, tetapi beberapa hari belakangan tidak sempat untuk datang.“Seperti ini mas kamu belakang aku?” monolognya, cengkaraman tangannya pada stir kemudi semakin menguat. Melampiaskan perasaan marah, kesal dan kecewa.Semua berantakan. Cindya sangat membenci sesuatu yang berantakan.Dering ponsel menandakan panggilan suara masuk, membuat wanita itu menoleh dan meraih benda pipih yang menyala. Tertera nama ‘Bu Ninda’, tentu saja membuat keningnya menyipit. Perasaannya semakin tidak beraturan, hancur.“Hallo, Bu Ninda ….” ucap Cindya setelah panggilannya terhubung dengan seorang wanita di

Cindya duduk bersantai di ruang tamu seorang diri dengan sebuah majalah yang sedang ia pegang dan dilihat. Majalah yang berisikan tentang fashion, banyak model fashion yang menjadi trending di kalangan atas, dan dirinya mampu membeli salah satu pakaian tersebut.“Lucu banget yang ini. Kalau aku izin sama Mas Tio, izinkan atau gak yaa,” gumamnya, menipiskan bibir lalu membalikkan halaman majalah ke halaman berikutnya.Bisa dilihat dari tatapan matanya yang berbinar, melihat empat model fashion sekilas, lantas kembali membalikkan majalah ke halam berikutnya. Ia lakukan secara terus menerus, hingga terhenti saat kedua telinganya mendengar suara mesin mobil yang berhenti di carport.Wanita itu menoleh ke arah pintu coklat besar yang tertutup. Rumah dengan dua lantai dan memiliki luas tanah yang sangat luas adalah rumah miliknya sebelum menikah dengan Dharmatio. Jadi, Cindya bisa bebas melakukan apapun dirumahnya, dan Dharmatio yang tidak melarang apapun itu selama kegiatan itu positif.Ci

Cindya memperhatikan suaminya yang sedang bermain dengan putra mereka di kamar Arlantio. Ia duduk di ujung ranjang milik Arlantio, kedua matanya memperhatikan ayah dan anak di depan sana. Tepatnya di atas karpet bulu berwarna abu-abu di dekat sofa.Ingatan wanita itu kembali berputar saat dirinya berbicara empat mata dengan Andrean di coffe shop, ia mendapatkan banyak informasi terkait hubungan Andrean yang merenggang, dan sikap Harena yang semakin memanas di kampus.-“Mbak jangan bicarakan apapun yang Mbak dengar dari aku ke Harena yaa? Karena aku gak mau ada keributan disaat aku juga lagi kesulitan.”Cindya menatap kedua mata Andrean yang memelas, memohon kepadanya untuk meng-iya-kan kesepatakan tanpa ada surat resmi tertandatangan atau bermaterai. Permintaan Andrean terlalu sulit, tetapi sulit jika dirinya tidak konsisten.Pertimbangan demi pertimbangan dipikirkan secara matang olehnya. Perlu diingatkan kembali, Cindya bukan orang yang gegabah dalam mengambil keputusan tanpa memik

Keesokan harinya …. Cindya membuka kedua matanya saat merasakan sebuah tangan melingkar pada pinggang rampingnya. Ia menatap datar seorang pria yang sedang terlelap di sisinya, jika mengingat apa yang terjadi kepadanya, rasa kesal itu kembali hadir.Dengan kasar, Cindya menyingkirkan tangan Dharmatio, sehingga membuat suaminya itu mengernyit alit dan membuka kedua mata. Mereka saling menatap satu sama lain dibawah lampu yang meredup dan hanya mendapatkan cahaya dari matahari yang sudah terbit melalui celah tirai.“Pulang jam berapa, Mas? Aku telfon gak diangkat, aku chat juga gak dibales. Sibuk banget?” tanya Cindya sedikit menggebu-gebu, kedua matanya menyipit saat tubuhnya ditarik mendekat. Dharmatio tidak memberikan celah diantaranya dan sang istri.Dharmatio mengecup bibir wanitanya, hanya singkat tetapi berkali-kali. “Maaf yaa, Sayang. Aku minum tadi malam, soalnya sih Syena ngajak kami untuk merayakan ulang tahunnya di club malam. Dia nyewa ruangan disana,” jelasnya dengan nada