Cindya menghentikan mobil putihnya di carport sebuah rumah berlantai tiga. Ia mematikan mesin mobil, lalu melirik ke sisi kirinya setelah melepaskan seatbeltnya. Kedua matanya memperhatikan Arlantio yang tersenyum kepadanya.Bocah laki-laki itu melepaskan seatbelt terlebih dahulu sebelum akhirnya menatap Sang Bunda yang sedang menatapnya. “Grandma sama Grandpa ada di rumah?” tanyanya, dijawab dengan anggukkan kepala dari wanita yang telah melahirkannya ini.Sebelum akhirnya Cindya mengarahkan mobilnya ke rumah kedua orangtuanya, ia sudah lebih dahulu menanyakannya kepada kedua orangtuanya. Memastikan bahwa tujuannya itu bertuan.Cindya dan Arlantio keluar dari mobil putih milik Cindya. Arlantio melangkahkan kakinya mendekati Cindya yang mengulurkan tangan, menyambut senang kedatangannya. Menurut Cindya, selama masih bersama dan masih ada Arlantio, ia kuat dan siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk dikemudian hari.Setibanya mereka di depan pintu utama rumah, Cindya menekan bel yan
Kedua mata milik Cindya tengah memperhatikan seorang pria yang keluar dari dalam mobil berwarna hitam, sih pengemudi melangkah masuk setelah melihat sekitar, seolah sedang memastikan situasi aman.Wanita itu memilih untuk mengikuti Dharmatio, rasanya tidak puas jika tidak melihat secara langsung. Dan disinilah ia berada, di basement sebuah apartement yang sering dikunjungi olehnya. Bahkan, hampir setiap hari, tetapi beberapa hari belakangan tidak sempat untuk datang.“Seperti ini mas kamu belakang aku?” monolognya, cengkaraman tangannya pada stir kemudi semakin menguat. Melampiaskan perasaan marah, kesal dan kecewa.Semua berantakan. Cindya sangat membenci sesuatu yang berantakan.Dering ponsel menandakan panggilan suara masuk, membuat wanita itu menoleh dan meraih benda pipih yang menyala. Tertera nama ‘Bu Ninda’, tentu saja membuat keningnya menyipit. Perasaannya semakin tidak beraturan, hancur.“Hallo, Bu Ninda ….” ucap Cindya setelah panggilannya terhubung dengan seorang wanita di
Keesokan harinya ….Cindya menaikkan sebelah alisnya saat melihat isi peran yang dikirim oleh adiknya kepada suaminya. Ia melirik kamar mandi yang tertutup, lantas membuatnya menggerakkan tangan untuk melihat pesan-pesan sebelumnya.Kening wanita mengkerut, alis bertaut. Ingatannya kembali pada saat dirinya bertanya kepada Harena, apakah adiknya itu sedang menjalin hubungan dengan seseorang atau tidak, pasalnya saat bersama dengannya kemarin siang, Harena senyam-senyum melihat layar ponsel.Cindya menghela nafasnya perlahan, kembali menyimpan benda pipih itu di atas meja nakas. Ia meraih sebuah jepitan berwarna hitam, lalu dipakai di surai rambut hitamnya. Saat dirinya ingin pergi, satu pesan kembali masuk sehingga membuatnya menoleh.“Sorry, Mas. Salah kirim,” gumamnya sambil membaca satu pesan dari Harena tanpa harus membuka pesan tersebut.Cindya bergeming, ia menoleh saat mendengar suara pintu dibuka, dan berasal dari pintu kamar. Sedetik kemudian, Cindya tersenyum melihat suaminy
“Kamu beneran tidak ada kelas hari ini?” tanya Cindya setelah meneguk segelas air, kedua matanya menatap adiknya yang sedang menghabiskan makan siang. “Kalau memang tidak ada kelas, Mbak minta tolong sama kamu untuk jagain Mas Dharma,” lanjutnya.UHUK!Cindya menoleh, tangannya spontan mengusap punggung suaminya dan memberikan segelas air mineral kepada sang suami yang langsung diterima dengan gerakkan tergesa-gesa. Sedangkan Harena memfokuskan atensinya menatap Dharmatio yang duduk disebelah Cindya, pria itu menatap Cindya.“Aku bisa jaga diri aku sendiri, Sayang. Lagipula, Harena pasti menggunakan waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Iya kan, Harena?” ujar Dharmatio, memberikan isyarat melalui tatapannya, seolah berkata ‘jawab iya’.Cindya mengalihkan atensinya, menatap Harena yang tersenyum tipis. “Oh ya tidak apa-apa kalau memang kam–”“Aku bisa, Mbak,” potong Harena, melirik tipis ke arah Dharmatio yang melebarkan kedua mata. Ia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan
“Papa udah bangun?”Dharmatio menatap datar Harena yang datang bersama putranya, perasaannya masih tidak nyaman jika harus berada diruangan yang sama dengan adik iparnya itu. Ia menghela nafasnya perlahan, harus diingat-ingat ada Arlantio bersamanya.Pria itu tersenyum manis kepada Arlantio yang mendekat, ia menepuk space kosong di sisinya, memberikan isyarat kepada putranya untuk duduk disebelahnya, dan bocah laki-laki itu mengindahkannya tanpa banyak bicara.“Kamu habis bantu Bunda?” tanya Dharmatio dengan lembut dan penuh kasih sayang, menatap putranya yang menggelengkan kepala. “Lalu?” tanyanya lagi, merasa tidak puas dengan jawaban sang putra.“Aku minta ke Bunda untuk bikinin susu, soalnya aku ada tugas dari Bu Guru,” jelas Arlantio, menatap papanya yang mengangguk-anggukkan kepala mengerti.“Susunya tante taruh sini ya.”Suara Harena yang lembut membuat atensi Arlantio dan Dharmatio teralihkan. Arlantio menganggukkan kepala, sedangkan kedua mata Dharmatio meloto saat melihat ba
“Kamu memang sengaja datang ke sini?” tanya Cindya kepada adiknya, menatap perempuan yang duduk dihadapannya dengan kepala yang mengangguk. “Kamu tidak ada kelas memangnya?” tanyanya, ditanggapi bergumam dan kepala yang menggeleng.“Karena itu bingung di apar sendirian. Jadinya aku milih ke sini, kan ada Mbak sama Arlan. Jadinya gak terlalu kesepian,” ucap Harena diiringi dengan senyum manis, menatap kakak perempuannya yang sedang memotong bawang-bawangan.Cindya hanya menanggapinya dengan kepala yang mengangguk-angguk, dan kembali fokus dengan pergerakannya. Ia tidak ingin hanya karena kehadiran Harena, membuatnya lambat dalam menyiapkan makan siang untuk suaminya dan putranya.Setelahnya tidak ada lagi yang berbicara, hingga akhirnya keheningan itu dipecah oleh Harena yang bertanya tentang Dharmatio, membuat Cindya menghentikan gerakkannya tangannya yang ingin menyalakan kompor.“Mbak, Mas Tio memangnya darimana? Kok bisa kecelakaan? Bukannya dia harusnya ke kantor?” tanya Harena be
“Mas ….”Cindya mendekati suaminya yang pulang dengan kondisi memprihatinkan, dan beberapa orang yang menemani sang suami membuatnya mengerut kening. Ia memperhatikan kening, siku dan celana suaminya yang robek di bagian lutut, sehingga terlihat luka.“Suami Mbak kecelakaan tunggal menabrak tiang listrik,” ucap salah pemuda, kedua matanya bertemu dengan kedua mata Cindya yang sendu.“Kemungkinan suami mbaknya sedang banyak pikiran, jadi tidak fokus mengendarai motor,” tambahnya.Cindya menghela nafasnya perlahan, lantas ia tersenyum kepada tiga laki-laki yang berdiri dihadapannya saat ini. “Oh iya … makasih abang-abang sudah menolong suami saya,” tuturnya dengan suara lembut, nada bicaranya pun terdengar tulus sehingga membuat keempat pemuda itu menganggukkan kepala dan pamit undur diri.Wanita itu memapah suaminya yang lemas ke dalam rumah. Sesekali Dharmatio meringis kesakitan, tentu saja Cindya ikut meringis, seolah merasakan apa yang dirasakan oleh sang suami. Bagaimanapun juga ia
“Kenapa, Mas? Ada sesuatu hal terjadi?”Dharmatio menoleh, menatap kedua mata adik iparnya yang cantik menurutnya. Seperkian detik, ia mengerjapkan kedua mata lantas mengalihkan atensinya ke sembarang arah. “Mbak kamu hamil.”Hanya satu kalimat, tiga kata yang diucapkan oleh pria itu, tetapi memberikan serangan tiba-tiba terhadap Harena yang seketika terdiam.“Aku harus sepenuhnya menemani Cindya supaya aku tidak kehilangan semuanya,” lanjutnya. Kali ini, kedua matanya menatap dalam kedua mata Harena yang terkunci hanya untuknya, dan tatapan itu membuatnya mengernyit alis.“Mbak Cindya punya Mommy dan Daddy.”“Kamu juga punya orangtua, Harena.”Harena menyunggingkan senyum miring, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kedua tangan yang terlipat. Atensinya kini hanya tertuju menatap layar televisi yang sedang menampilkan sebuah berita kebakaran.“Kamu gak mau mas gimana perlakuan mereka ke aku disaat Mbak Cindya gak ada sama aku,” ucap Harena tenang, tetapi menyiratkan nad
Beberapa hari kemudian ….Dharmatio mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara keras dari arah kamar mandi yang terbuka, sehingga membuatnya menyikap selimut lalu melangkahkan kaki mendekati kamar mandi. Semakin dekat, suara itu semakin terdengar jelas ditelinganya.“Sayang ….”Cindya menoleh setelah mendengar panggilan sang suami. Wajahnya pucat, tersenyum tipis lantas menyalakan air kran untuk membasuh wajah dan berkumur. “Maaf suaraku mengganggu tidurmu, Mas,” tuturnya lemah.Dharmatio memeluk sang istri, menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Kedua matanya memperhatikan wanitanya, perasaannya khawatir saat melihat wajah istrinya yang pucat, dan suara yang melemah.“Kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian, menangkup rahang Cindya dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya lagi berada di belakang pinggang Cindya. “Kita ke dokter,” tukasnya tanpa menunggu persetujuan dari wanitanya.Dharmatio menggendong ala bridal style tubuh sang istri, melangkahkan ka