All Chapters of Dinikahi Sang Penguasa : Suami Kontrakku Memberi Segalanya: Chapter 381 - Chapter 390

Lily tersenyum tipis mendengar ucapan Arsen. Dia melangkah maju dan menaruh seikat bunga segar di depan batu nisan mertuanya. “Mama, maaf baru bisa datang lagi," ucapnya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Arsen menatap Lily, lalu kembali menatap pusara wanita yang melahirkannya. “Aku semakin baik, dan terus bahagia. Semoga Mama bisa melihat kami dari atas sana.” Lily terharu mendengar ucapan Arsen. Suaminya itu tampak lebih tegar jika dibandingkan dengan saat pertama kali mereka datang. Saat itu Arsen menangis, seperti meluapkan emosi yang sudah ditahan lama. Hening kembali tercipta. Hanya suara angin melewati pepohonan di sekeliling pemakaman yang terdengar. Lily menyentuh lengan Arsen dan menggenggamnya erat. Arsen menghela napas, lalu berdoa. Audrey yang melihat papanya berdoa seketika meniru tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tingkah bocah itu membuat Lily tersenyum samar, meski matanya sudah berkaca-kaca. Setelah beberapa saat, Arsen mengajak

Lily berada di Mahesa seperti biasa. Dia sedang sibuk dengan tumpukan berkas di meja ketika mendengar suara ketukan dari pintu depan. “Masuk,” perintahnya. Begitu pintu ruangan terbuka, Riani masuk menghampiri meja Lily lalu menyerahkan berkas di hadapan Lily. “Bu, ini laporan penjualan satu minggu ini. Penjualan kemarin merosot lagi dari hari sebelumnya,” kata Riani. Lily mengambil berkas yang sekretarisnya itu berikan. Satu tangannya memijat pelan pelipis saat melihat grafik penurunan penjualan yang semakin merosot. Lily benar-benar bingung dan buntu ide menaikkan penjualan Mahesa. “Terima kasih, Ri,” ucap Lily pada akhirnya. Riani keluar dari ruangan Lily. Sedangkan Lily masih memandangi angka-angka yang tertera di berkas yang ada di meja. Kepalanya benar-benar pening, sampai-sampai Lily tak bisa berpikir dan fokus bekerja. Lily akhirnya memutuskan meninggalkan ruangannya dan berniat untuk pulang. Dia sudah berada di mobil yang melaju menuju rumah. Namun, saat

Alan mengepalkan tangan di sisi badan. “Kamu ….” Suara Alan tersekat di tenggorokan, antara marah dan bingung dengan sikap Ella. Alan mengepalkan tangannya lalu memukul udara dengan kuat sebelum membuang muka dari Ella. Setelah beberapa saat menunggu, mereka melihat Oddy terbaring di ranjang pesakitan yang sedang didorong keluar dari ruang tindakan. Kepala Oddy terbalut beban, selang infus terpasang di lengannya. Bocah kecil itu benar-benar tak berdaya dengan mata terpejam. “Kami akan membawanya ke ICU,” kata perawat. Alan menatap pada Oddy, lalu mengangguk pelan. Begitu perawat mendorong ranjang pesakitan menuju ICU, Alan menoleh pada Ella lagi. “Kita tunggu Mama di depan ruang ICU,” kata Alan. Ella menghela napas pelan, wajahnya malas tetapi tetap mengikuti perkataan Alan. Ella dan Alan menunggu di depan ruang ICU, tak beberapa lama kemudian Bibi Jess datang dengan wajah panik. “Bagaimana kondisi Oddy?” tanya Bibi Jess pada Alan. Baru saja Alan akan menjawab, Ella sudah l

Bibi Jess menatap pelayan itu dengan wajah ragu. Ia menarik napas panjang, lalu memandang ke arah Oddy yang masih terbaring lemah. “Kalau soal itu, aku tidak berani. Nona Lily dan Tuan Arsen sudah banyak membantu. Aku takut kalau permintaan itu dianggap berlebihan,” ucap Bibi Jess pelan. Pelayan itu menggeleng, wajahnya serius. “Tidak, Bi. Nona Lily sangat penyayang. Nona pasti tidak akan keberatan, apalagi demi anak kecil seperti Oddy. Nona bahkan pernah bilang kalau mansion itu bukan hanya rumahnya sendiri, tapi juga rumah para pelayan.” Mata Bibi Jess semakin berkaca-kaca. Ia menunduk, menggenggam tangan Oddy yang mungil. “Aku hanya ingin Oddy bahagia, dia masih terlalu kecil untuk menerima sikap orangtuanya." Pelayan itu tersenyum tipis. “Kalau begitu, biarkan aku yang menyampaikan ke Nona. Bibi jangan khawatir.” Saat mereka berbincang, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ella masuk kembali dengan wajah kesal, diikuti Alan yang tampak lebih tenang. Ella langsung bicara ketu

Arsen terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, seraya menimbang setiap kata yang akan keluar dari bibirnya. “Aku tahu, menjadi CEO memang tidak mudah," ucapnya pelan. Suaranya lembut, seakan takut menambah beban di hati Lily. “Tapi kamu sudah melakukan sesuatu yang luar biasa hari ini. Kalau bukan kamu yang menghadapi wanita itu, masalahnya akan jauh lebih besar." Lily memejamkan matanya kemudian menyandarkan kepala ke sandaran kursi mobil. “Aku lelah harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Aku lelah karena harus menanggung nama besar Mahesa. Jujur, aku hanya ingin hidup sederhana dan damai." Arsen menoleh sebentar, lalu menggenggam tangan Lily. "Apa kamu butuh bantuan? Katakan saja kalau kamu butuh bantuan." Lily menggeleng. Hatinya menghangat mendengar tawaran Arsen yang begitu sangat tulus. "Selama kamu masih berada di sampingku, aku yakin duniaku akan baik-baik saja," Lily mengambil tangan Arsen dan menyentuhkannya ke pipi. Mobil mereka masih melaju menembus j